Chapter 17

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hen." Orang yang dipanggil Jani menatap ke arah gadis yang tengah memikirkan banyak hal di kepala kecilnya. 

"Lu pernah cemburu? Cuman cemburunya tuh beda, bukan emosi melainkan kayak udah capek. Capek sama perasaan saat ini." 

Mendengar keluh kesah Jani membuat Mahen heran. Tidak mungkin Jani lelah dengan perasaannya terhadap Naren tanpa alasan, pasti ada penyebabnya. Selama ini perasaannya kepada Jani selalu ia kesampingkan, karena ia tahu hati Jani hanya tertuju kepada Naren, begitu pula sebaiknya.

"Naren kayaknya suka sama cewek lain deh. Akhir-akhir ini nama dia naik daun bukan hanya sebagai siswa berprestasi, tapi karena lagi dekat sama cewek. Mana ceweknya cantik ditambah pintar lagi, gimana gua enggak kalah saing Hen?" 

"Cuman rumor kali, jangan percaya sama rumor kayak gitu. Lebih baik tanya langsung Naren aja, daripada salah paham terus kalian berantem, nanti gua juga yang repot."

Jani menatap Mahen dengan ragu, ia ragu mengungkapkan kesalahannya sendiri. Dengan gusar ia mengacak-acak rambutnya. "Anggapan lu itu rumor, gua yang bikin rumor itu makin naik daun, Hen." 

Mahen terlihat kebingungan membuat Jani tersadar ia keceplosan. Mahen tidak mengetahui bila Jani mengikuti ekstrakurikuler jurnalistik dan Jani yang membantu rumor tersebut naik daun.

"Gua enggak paham sama kalimat lu barusan, emang lu berperan apa? Ceweknya yang waktu itu datang ke rumah?"

"Iya, yang waktu itu ngebuat Naren pulang malam juga." Jani sengaja tak menjawab pertanyaan pertama Mahen, ia belum menemukan jawaban yang tepat agar Mahen tak semakin curiga.

"Saran gua mending lu omongin dulu. Sekarang lebih baik kita belajar buat persiapan UTS, sekolah lu bentar lagi UTS, 'kan?"

"Iya. Ngomong-ngomong nanti malam gua nginep, ya."

Mahen tak pernah mempermasalahkan kehadiran Jani di rumah ini, ia malah senang kehadiran Jani di rumah ini membuat Mahen dapat mengenal gadis itu melebihi Naren.

"Tante pesawat jam berapa?" 

"Lupa. Kebanyakan pikiran gua. Seingat gua dari tadi pagi udah berangkat." 

Suara langkah kaki yang menaiki anak tangga satu per satu membuat Jani dan Mahen mengalihkan pandangan mereka. Sosok Naren mereka temukan, sepasang matanya menyelidik menatap ingin tahu apa yang terjadi di antara Jani dan Mahen.

"Baru sampai?" tanya Mahen basa-basi.

"Lu berdua lagi ngapain? Kalau bahas sesuatu yang enggak penting bisa ngungsi dulu enggak di rumah Jani? Gua sama Aqila mau cari referensi di sini," usir Naren secara frontal.

"Enggak bisa di kafe depan kompleks aja?" tanya Jani tak mau keluar dari rumah Mahen dan Naren barang selangkah saja hanya untuk membiarkan Naren dan Aqila berdekatan dengan alasan mencari referensi. Asal Naren tahu, alasan itu terdengar omong kosong di telinganya.

Nanti kalau cari referensi di kafe sampai malam lu ngamuk. Balas dendamnya lewat siaran. 

"Enggak." Naren piawai belajar dari pengalaman, ia tak mau jatuh di lubang yang sama. Cukup sekali, tak lagi ada pengalaman buruk yang sama kan terulang kembali.

"Aqila di mana?" tanya Jani berniat menuruti kemauan Naren Terasa berat bagi Jani, namun ia mesti sadar diri. Rumah ini bukan rumahnya.

"Masih di kafe depan kompleks." Naren sengaja menyuruh Aqila untuk bertemu di kafe depan kompleks, membeli kopi dan beberapa potong kue sebagai teman mencari referensi untuk kepentingan lomba.

"Ayo Hen, kita ngungsi di rumah gua dulu!" ajak Jani menggandeng tangan Mahen. 

Aksi kecilnya itu mampu membuat Naren kebakaran jenggot di tempat. "Enggak usah gandengan, kayak mau nyebrang aja," sindir Naren memelototi tangan Jani dan Mahen yang masih saling bertaut.

"Suka-suka gua. Siapa lu, siapa gua, hah?!" Sebentar lagi akan terjadi peperangan, Mahen segera mengamankan Jani dengan menarik tangan gadis itu untuk menuruni anak tangga.

"Pegang janji gua, Hen. Mulai hari ini gua enggak akan dekat-dekat Naren! Darah tinggi gua ngelihatnya." Ia menghentak-hentakkan kakinya di atas aspal untuk menumpahkan kekesalannya terhadap Naren. 

***

Malam minggu bagi remaja normal akan diisi dengan kegiatan nongkrong di kafe atau menonton film di bioskop bersama orang-orang terkasih, baik pasangan maupun sahabat. Berbeda dengan Jani, ia duduk di kursi belajar sembari memahami makna dari soal uraian bahasa Indonesia, mata pelajaran pertama yang akan diujikan esok hari.

Sudah hampir tengah malam, pintu kamar Jani diketuk dari luar. Fokus Jani teralihkan sementara, ia menatap kehadiran ayahnya yang datang dengan membawa segelas susu hangat dan beberapa keping biskuit untuk menemaninya belajar. 

"Mata pelajaran apa saja untuk hari pertama?"

"Bahasa Indonesia sama matematika." Dua mata pelajaran sulit diujikan pada hari yang sama dan diletakkan di hari pertama, tentu membuat Jani ketar-ketir. Tak hanya Jani, murid-murid SMA Nusa Pelita pasti kelabakan.

"Matematika udah belajar?" 

Jani mengangguk. Matematika selalu ia persiapkan dari jauh-jauh hari, karena cara belajar Jani dalam memahami matematika bukan dengan menghafal rumus, melainkan dengan membiasakan diri mengerjakan soal-soal matematika.

"Bagus. Kalau gitu ayah tinggal, ya? Jangan tidur terlalu larut. Semangat anak Ayah!" Jika sikap ayah seperti ini tanpa ada tuntutan nilai di baliknya, pasti Jani akan bahagia. 

"Terima kasih Ayah untuk susu, biskuit, dan supportnya."

Setelah ayah keluar, ia merasa sepi. Sebentar lagi setiap malamnya ia hanya akan ditemani langit malam dan hawa dingin yang menyelimuti tubuhnya. "Sudah jadi makanan hari-hari, kenapa harus merasa sedih?" Jani menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pemikiran yang akan membuat fokusnya semakin teralihkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro