02 part 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pukul tiga pagi, Renata terbangun karena kakaknya tidak sengaja menendang kaki kirinya cukup keras. Begitu dia terbangun rasa kantuk dan lelah yang dia derita sepanjang hari hilang tanpa bekas. Renata memandang kedua orang lainnya yang masih tertidur pulas dalam tenda. Mengangkat bahu lalu secara perlahan merangkak, Renata pun keluar dari tenda sebisa mungkin untuk tidak membangunkan Andewi dan Kinanti.

Tidak banyak dari para pendaki yang masih terjaga hingga selarut ini. Mungkin ada beberapa orang dari kelompok pendakian yang lain tengah asik bercanda satu sama lain. Saling bercengkrama menghabiskan malam yang tersisa sebelum akhirnya pagi datang.

Renata mengangkat wajahnya menghadap langit malam yang kala itu sedikit mendung. Bunyi para serangga malam saling bertautan menciptakan melodi unik saat itu. Karena terbuai oleh nuansa sunyi tersebut, Renata tidak sadar jika Panji telah duduk di sebelahnya.

Mereka berdua tetap diam tanpa bicara sedikit pun. Saling menikmati butiran embun yang mulai tercipta dari udara yang saat itu sudah basah. Mata mereka terpejam, mulut mungil Renata bersenandung sangat pelan menyanyikan lagu kesukaannya.

Angin nampak menari-nari di sekitar mereka berdua, lalu dia menyapa setiap kali hendak berpindah ke tempat yang lain. Ketenangan ini membuat waktu berjalan sangat cepat tanpa mereka sadari.

Sedikit cahaya jingga memasuki ruang atmosfer Renata dan Panji. Mengintip apa dan siapa saja yang akan menantikan dirinya untuk berdiri tegap, lalu membusungkan dada dengan penuh kepercayaan diri. Itu lah Sang Fajar, merentangkan tangannya sejauh dia bisa memeluk,  lalu memberikan semangat bagi
siapa saja yang menatapnya dengan positif.

“Nata.”

Panji berbisik pelan, masih dalam posisi duduknya di samping Renata.

Renata yang sedari tadi terbuai dalam lamunan, sedikit terhentak begitu mendengar bisikan dari Panji yang terdengar begitu dekat.

“A-Anom, sejak kapan kamu disini?”

“Tepat setelah kau keluar dari tenda,” jelas Panji yang kini memutar badannya menghadap Renata.
"Juga, suara yang indah."

“Tch!!”

Bfftt! Maaf-maaf,”

“Jangan tertawa!”

Panji sedikit menyimpulkan senyumnya ketika melihat ekspresi demi ekspresi yang ditunjukkan Renata. Gadis itu menggembungkan pipinya pertanda kesal, namun bagi Panji, itu tidaklah imut sama sekali. Mengingat bagaimana kepribadian Renata yang terkadang kejam dalam bertutur kata.

“Jika aku punya kendali pyrokinetic sudah kubakar kamu, Nom!”

Renata berdiri dan menunjukkan keseriusannya. Tawa Panji meledak, lalu semakin kencang melihat reaksi tersebut. Ide bodoh apa yang menghampiri gadis itu secara tiba-tiba. Namun, tanpa Panji ketahui dan sadari, perkataan Renata yang dia anggap ide bodoh itu akan membunuhnya suatu hari nanti.

“Padahal masih jam segini tapi otakmu sudah panas, hahaha.”

“Suka-suka aku, memangnya kamu siapa? Seenaknya menghinaku begitu.”

Secara tiba-tiba tangan kanan Panji menggenggam tangan kanan Renata yang saat itu berdiri.

“Perkenalkan, namaku Panji Anom!”

“Tch! Bego!”

Renata tersenyum kecil mencoba menahan agar tidak tertawa. Melihat itu membuat Panji lega, seakan masalah yang dia bawa saat ini terbang mengangkasa lalu menghilang.

“Tapi, api tak cocok denganmu. Jika saja memang ada fenomena seperti itu di dunia ini, kurasa es lebih pas untukmu.”

Panji menunjukkan senyum hangatnya kali ini. Jari-jari tangan kanannya kini sudah menari-nari di atas kepala Renata lalu mengacak-acak rambut lebat milik gadis itu.

Renata membeku, tidak sanggup harus berkata apa lagi. Dia tahu kalau Panji memperlakukan dirinya sehangat itu, maka ada sesuatu yang membuat pemuda itu gelisah. Jelas terlihat dari tangan kiri Panji yang bergetar hebat. Sama seperti saat pertama kali mereka berdua bertemu dulu.

Aku khawatir, kamu tau? Dari raut mukamu saat di parkiran motor tempo hari. Dari suara paraumu saat ku telepon malam harinya. Apa masalah yang kamu bawa saat ini? Kita berlibur, kan?

Renata menatap mata Panji dalam-dalam. Tidak ada ketenangan di mata itu, tidak ada tanda-tanda dia menikmati pendakian ini. Segera setelah Renata menampik tangan Panji yang masih mempermainkan rambutnya, pemuda itu berbalik beranjak kembali ke arah tenda.

Resleting pintu tenda terbuka lantas Rudi dengan mulut yang terbuka lebar bagai kuda nil, menguap, keluar dari dalam tenda. Diikuti oleh Meidi yang memukul ringan belakang kepala saudaranya itu.

“Anom!” teriak Renata pelan.

“Tenang saja, jangan khawatir. Aku tidak akan melupakan janji yang pernah aku buat.”

“Tapi—“ ucapan Renata terhenti ketika melihat Panji melambaikan tangannya tanpa menoleh ke belakang.

Celanamu sobek astaga!! Bodoh! Kenapa aku harus mengkhawatirkan orang bodoh seperti itu?!! Pantas saja dia minta jadi sweeper kemarin, ternyata bolong, haha!

Renata tak kuasa menahan tawanya lagi. Beberapa saat setelah Panji memasuki tenda, dia pun tertawa puas hingga air matanya keluar. Kembali dia atur pernapasannya yang memburu. Pandangannya kini meluas, menjangkau tiap sudut
yang dapat dia lihat. Seraya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Ditangkapnya angin yang saat itu melintas dengan santainya. Meraih tiap inchi dari ketenangan yang dihadirkan oleh sang angin.

Hingga tanpa sadar, waktu beranjak
semakin cepat. Renata memutuskan untuk memasak air guna membuat kopi kesukaannya.

Satu per satu kawannya mulai keluar dari tenda. Fajar yang tadi mengintip jingga, kini menguning kala dia tidak perlu lagi malu untuk berdiri. Berbagai aktifitas mereka lakukan menghabiskan waktu sebelum penanjakan sore nanti ke Kalimati.

Memang mereka tidak diburu oleh waktu karena mereka akan mendaki selama enam hari. Namun Rudi bersikeras untuk menuju ke Kalimati sore ini. Rudi tidak mau kehilangan kesempatan menangkap fenomena yang akan terjadi malam nanti. Salah
satu keajaiban langit yang jarang ditemui akan menampakkan ekornya.

Komet itu akan melintas, Rudi akan menangkap itu sebagai hadiah sebelum menaklukan Puncak Mahameru. Puncak yang menjulang tinggi dengan sombongnya menanti mereka semua yang mampu berhadapan satu lawan satu dengannya.

"Tunggu saja, Mahameru! Akan kubuat kau tunduk di bawah kakiku!"

Rudi berteriak keras tanpa sebab. Sebuah botol melayang dengan cepat dan berhasil tepat membentur belakang kepala Rudi.

"Berisik! Emang cuma lu doang yang semangat? Gua juga!!! AAAAA!!!"

Ian pun tidak ingin kalah. Mengikuti jejak Rudi, Meidi mengekor di belakang Ian.

"HAAAA!! MAHAMERU!!"

Bak! Buk! Bak!

Hantaman keras tangan Andewi berhasil mendarat telak di kepala mereka bertiga. Gara-gara tingkah laku aneh mereka, kelompoknya kini menjadi pusat perhatian. Rasa malu milik si kembar memang sudah lama hilang, tidak untuk Ian. Itu alasan mengapa Andewi merasa kesal jika ada di sekitar si kembar. Karena siapa saja pasti akan tersedot ke dalam aliran sesat mereka berdua. Penggala yang menyimak dari jauh hanya mampu menelan ludah. Bukan karena dia takut kepalan Andewi, bukan. Melainkan tatapan tajam Renata yang tanpa ekspresi begitu mengintimidasi Penggala.

"Oke! Ayo, kita cek apa aja yang kita butuhin sebelum naik ke Kalimati!" ajak Penggala sambil menepukkan tangannya, mencoba mengalihkan diri dari sudut pandang Renata.

Mereka segera mengecek perbekalan dan pasokan air. Tidak ingin rasanya jika sudah tiba di atas, namun air yang mereka miliki tersisa sedikit. Penggala dan Ian memutuskan untuk meninggalkan kawan-kawannya mengambil air di danau. Dalam perjalanan, mereka melihat di kejauhan danau sana seperti ada orang yang berdiri di atasnya. Hawa keberadaan wanita itu sedikit samar atau lebih tepatnya tembus pandang.

Ian menyikut perut Penggala sedikit keras. Penggala yang tidak begitu memperhatikan membalas Ian dengan jitakan di kepala. Sesaat setelah itu wanita di kejauhan danau
tersebut melayang terbang lalu menghilang. Melihat hal tersebut, Ian otomatis mundur perlahan lalu segera lari tunggang langgang diikuti Penggala yang baru sadar akan apa yang terjadi.

Sekembalinya Ian dan Penggala ke tenda mereka. Si kembar menatap mereka berdua dengan tatapan aneh. Bagaimana tidak, Ian dan Penggala kembali tanpa membawa air yang mereka janjikan. Ian yang ketakutan tidak mengatakan sepatah kata pun lalu memasuki tenda dan merebahkan diri di samping Panji yang tertidur pulas.

Penggala yang merasa bertanggung jawab memutuskan untuk kembali menuju danau mengambil botol mereka tadi ditemani oleh Hiroshi.
Masih diliputi rasa cemas, Penggala mengatakan apa yang dia lihat sebelumnya pada Hiroshi.

"Hiroshi, apa kau percaya dengan hantu?"

"Tidak, kenapa?"

"Ah, jadi begini, tadi ada wanita yang melayang di tengah danau sana."

"Mungkin itu hanya perasaanmu," balas Hiroshi santai, "Santai saja, hantu itu tidak ada."

Kata demi kata yang keluar sedikit membuat Hiroshi paham situasi
sebelumnya. Dengan langkah santai hiroshi mengabaikan hal tersebut dan segera membawa botol-botol air yang sudah terisi penuh. Penggala cepat bergegas begitu menerima botol tersebut, meninggalkan Hiroshi berdiri menatap pemandangan yang tersuguhkan tepat di hadapannya.

Hiroshi menatap danau itu penuh kekaguman. Dia tidak mengira jika perjalanannya membawa ke berbagai tempat indah yang tidak bisa dia dapatkan di negerinya. Sama seperti pendakian ini yang dijanjikan oleh Panji padanya. Hiroshi berpikir, mungkin memang tidak salah jika dia keluar dari negaranya untuk berkunjung berkeliling benua seperti ini. Tergambar jelas di wajahnya rasa suka cita yang teramat sangat. Atau setidaknya inilah hiburan yang dia dapatkan semenjak kematian istri dan calon anaknya.

Siang semakin berlalu. Kini mereka semua sudah siap untuk beranjak ke spot berikutnya sebelum akhirnya pendakian mereka yang sesungguhnya dimulai, Kalimati. Masih dengan posisi yang sama
seperti kemarin, mereka semua bergerak naik meninggalkan kawasan Ranu Kumbolo.

Panji yang memang sebagai sweeper melihat serta membereskan sisa sampah milik mereka sebelum menyusul temannya yang sudah pergi terlebih dahulu. Dipandangnya lekat-lekat punggung mereka yang berbaris rapi di depan Panji. Menurut mitos dalam tanjakan ini, jika mereka berhasil sampai di ujung tanjakan
tanpa menoleh ke belakang, maka urusan asmara mereka akan diberi kelancaran atau semakin dipersatukan. Bagi Panji mitos hanyalah mitos. Mau Panji percaya atau tidak, urusan asmara miliknya sudah usai. Terputus begitu saja tanpa mendapat jawaban yang jelas.

Panji tampak ragu dengan mitos tersebut, dan ingin segera membuktikannya saat itu juga. Begitu kepalanya menoleh ke belakang. Wanita yang tadi sempat digumamkan Ian dalam tenda, melambaikan tangannya ke arah Panji dari kejauhan. Rambut pirang sedikit kecoklatan yang menghiasi kepalanya ikut melambai karena
terpaan angin. Entah itu hanya ilusi atau memang dia ada di sana. Panji merasa hanya dirinya yang melihat wanita itu dengan jelas. Wanita itu menghilang ketika Panji kembali berpacu mengejar ketertinggalan menuju kawannya yang saat ini telah sampai di ujung tanjakan terlebih dahulu.

Pepohonan rimbun lantas menyambut kembali siapa saja yang berani menantang Mahameru. Perjalanan dari Ranu Kumbolo menuju pos Kalimati cukup membuat
para anggota perempuan kelelahan. Beberapa kali mereka merujuk untuk istirahat sejenak. Namun trek demi trek yang mereka lewati akan menguras banyak tenaga jika mereka sedikit demi sedikit berhenti. Ian, Rudi, dan Meidi yang mempunyai
stamina paling tinggi di antara semua anggota menyanggupi untuk membawa barang dari tas para perempuan yang sekiranya mampu mengurangi beban mereka.

Jarak yang mereka tempuh masih sekitar setengah perjalanan. Cemara dan pinus yang mereka lewati terus saja berbisik. Angin dingin sesekali menghempas mereka mendinginkan suasana. Panji yang terfokus pada obrolan teman-temannya di depan
secara tidak sengaja merasakan sesuatu yang aneh. Jika saja itu hanya firasat, Panji tidak akan sekhawatir itu. Tetapi yang Panji rasakan kala itu nyata. Panji berhenti sejenak dan memfokuskan pendengarannya secara maksimal. Tidak ada yang terjadi. Inilah kenapa Panji tidak begitu suka mendaki bersama kawannya atau pun mendaki gunung bersama kelompok yang baru terbentuk. Selalu ada sesuatu yang mengikuti mereka tanpa disadari.

Kalau bukan karena komet itu, sungguh, aku gak bakalan mau diajak mereka ke gunung lagi!

Panji mendengar Penggala meneriakinya, apakah ada sesuatu yang terjadi di belakang. Dia hanya menggeleng. Cukup dia saja yang tau, jangan biarkan pemikiran buruk mempengaruhi kondisi yang lain.

Positive Thinking, Nom! Jangan biarkan pikiranmu kosong. Ah! Benar juga. Perempuan pirang tadi entah kenapa mirip dengan Nina. Ah, kenapa harus kamu coba? Andaikan saja waktu bisa diulangi lagi. Setidaknya aku ingin meminta maaf  dengan benar.

Tanpa memperhatikan sekitar, Panji menabrak salah sebuah pohon yang tidak bersalah itu. Alih-alih ingin merehatkan pikiran, yang terjadi justru sebaliknya. Pikirannya semakin kacau dan semakin terbebani. Tidak ingin membuat yang lain semakin khawatir, Panji mempercepat langkah kakinya untuk yang kesekian kali.

Sesuai ekspektasi yang Rudi katakan saat di Ranu Kumbolo. Mereka sampai di Kalimati saat hari menjelang gelap. Cahaya oranye kemerahan kian tenggelam ditelan malam. Segera para laki-laki menyiapkan tenda sedang para perempuan membuat santapan untuk mereka semua.

Tiga puluh menit kemudian tenda siap berdiri dan minuman penghangat sudah tertata rapi di dekat api unggun yang mereka buat.
Terlepas dari kegelisahan yang dirasakan Panji. Andewi tanpa tahu menahu mendekati pemuda tersebut yang terbaring di samping tenda mereka. Dengan membawa segelas teh jahe panas, Andewi meletakkannya di samping Panji.

“Pan-ji A-nom-ku!!” bisik Andewi tepat di telinga Panji.

“AAAAAAA!” Panji berteriak ketakutan yang disambut jitakan dari Andewi.

“Jahat lah, Anom!” goda Andewi semakin menjadi. “Jadi, apa yang kalian bicarakan tadi pagi?”

Sembari mengatur napas. Pikiran Panji bergerak sangat lambat untuk menanggapi pertanyaan Andewi.

“Hah?”

“Aku tau, lho! Se-mu-a-nya. Termasuk celanamu yang bolong di belakang, hehe!”

Sudah pasti Panji semakin ketakutan setelah mendengar hal itu. Dia menduga seseorang telah berkhianat dan menyebarkan rahasia Panji tentang celana yang dia pakai saat ini.

“Ah~ Kenapa coba kami harus suka orang yang sama? Jadi susah begini, kan?!!”

Andewi menyentil ringan telinga Panji yang kian memerah. Panji tahu hal itu. Sangat tahu akan perasaan Andewi padanya. Itu hanya lah permainan, melambungkan hati seseorang sangat tinggi lantas dia hempas keras ke tanah hanya dengan berkata, bercanda! Hehe!

“Tinggalkan aku sendiri.” Panji berusaha melepaskan diri dari Andewi dengan bangkit dan pergi menjauh.

“Panji Anom selalu menghindariku, kenapa?”

“Bukan urusanmu, aku hanya ingin sendiri.”

Menggerutu, Andewi lalu menendang gelas di hadapannya dengan kesal.

"Kenapa? Apa ini karena kejadian waktu itu? Jawab, Nom! Hei, tunggu, jangan tinggalkan aku! Hei!"

Tidak ingin mendengar alasan lagi. Langkah Panji semakin menjauh dan berhenti di sekitar pepohonan. Rasa lelah juga kantuknya semakin menjadi-jadi. Setidaknya dia harus segera beristirahat dengan benar atau sesuatu yang buruk akan menimpa lutut kirinya yang terluka. Ya, luka itu terus terbayang di benak Panji. Ketika dia menoleh ke bagian belakang mobil, saat temannya tertawa lepas, saat itu pula lah terakhir kali Panji melihat tawa dari mereka, khususnya Nina.

Angin bertiup kencang. Panji tak lagi terjaga dikala mendapat hadiah semacam ini. Candaan kawan-kawannnya pun tak lagi sampai di telinga Panji. Ketenangan yang jarang dia dapatkan, kini terpampang jelas di hadapannya. Walau terkadang tekanan terus menghantam Panji, setidaknya dia masih bisa bersyukur untuk tetap hidup.

Tiga sampai empat jam Panji tertidur pulas tanpa gangguan. Hingga rerumputan di sekitarnya bergemerisik karena terseret langkah kaki yang membangunkan Panji. Sambil membawa teleskop pesanan, si kembar menendang ringan kaki Panji agar temannya itu lekas bangun. Begitu Panji sadar sepenuhnya, Rudi mengangkat dagunya ke atas memberi isyarat.

“Tidur mulu kayak koala, udah waktunya nih!”

Panji hanya menganggukkan kepala malas berdebat masih dengan muka ngantuknya.

“Mas, dipasang di mana ini? Deket tenda?” tanya Rudi pada kembarannya.

“Di tempat yang agak lapang aja,” Meidi melihat sekitar dan menunjuk area terbuka tak jauh dari tenda mereka. “Tuh, di situ tuh! Kayaknya pas di sana buat nempatin teleskopnya.”

“Kalian berdua berisik. Kalian bangunin yang lain aja, kesempatan langka ini,” keluh Panji mendorong si kembar menjauh.

Matanya yang saat itu menajam, menatap langit malam lekat-lekat. Tidak ada awan yang menghalangi. Jernih, benar-benar jernih. Bulan setengah lingkar terlihat begitu megah ditemani lautan bintang di bawah kakinya. Panji mencari letak rasi Orion, karena baginya Orion lah yang selalu menemani kala dia kesepian di tengah malam. Juga, bintang Orion lah yang mempertemukan Panji dengan Nina dulu. Andai dia melewatkan kejadian itu, mungkin Panji tidak akan pernah bertemu dengan Nina maupun Bu Sekar yang selalu baik padanya.

Panji menghampiri teman-temannya yang sudah berkumpul dekat api unggun. Ditemani teh jahe hangat, kepalanya sesekali menengadah ke langit. Satu per satu para perempuan baik dari kelompoknya atau dari kelompok pendaki lain saling menyerukan kekaguman mereka. Panji hanya tersenyum saat sudut mata kanannya menangkap pemandangan yang jarang dia temukan. Itu adalah Renata, yang tersenyum lebar dengan mata berbinar seakan semua resahnya hilang. Senyuman polos yang jarang Panji dapatkan mengingat betapa anehnya karakteristik Renata.

Lima menit kemudian, komet itu pun tiba. Putih, biru, kuning, tidak ada yang bisa mendefinisikan dengan pasti warna apa yang komet itu miliki. Setiap mata para manusia yang menengadahkan kepalanya ke langit, tidak kuasa untuk berkedip sedetik pun. Mereka tidak ingin melewatkan momen langka ini. Gerakannya yang cukup lamban menandai seakan-akan dia menikmati waktu yang ada.

Komet itu perlahan melintas, perlahan dan perlahan dan perlahan dan perlahan sekali lagi. Ekornya yang sombong mengibaskan hawa panas, menghangatkan siapa saja yang menatapnya dengan ganas.
Bintang-bintang yang sejak tadi berdiri dengan tegak kini melayangkan tubuhnya, terbang lalu melebur menghilang. Mulanya hanya satu, kemudian semakin komet itu melintasi para pendaki semakin banyak pula bintang yang berjatuhan, atau setidaknya anggapan itu lah yang melekat di benak para manusia.

Di saat Panji jatuh terjerat dalam keindahan komet tersebut. Seluruh tubuhnya menegang dan bergetar. Panji terkejut begitu ada yang aneh dengan pergerakan sang bintang berekor. Komet itu tidak lagi ada di jalur lintasan semula. Sebuah senyuman menelisik dari balik komet yang cahanyanya semakin bersinar. Dengan panik Panji menepuk bahu temannya untuk menyadarkan mereka. Naas, usaha tersebut sia-sia.
Teman-temannya terdiam, tidak ada gerakan sama sekali. Lebih tepatnya hanya Panji lah yang mampu bergerak bebas kala itu.

Sepersekian detik kemudian sang komet membelah dirinya menjadi beberapa bagian. Tiap pecahannya melayang ke segala penjuru, salah satunya menuju ke tempat Panji berdiri. Saking paniknya Panji tidak sanggup lagi bergerak dan hanya berdiri mematung. Dia pun tertawa pedih ketika benda itu menghantam dirinya dan beberapa temannya.

BOOOOMM!!!

Kepulan asap serta ledakan hebat memberi tekanan besar di sekitarnya. Pandangan Panji memutih, tubuhnya memanas hingga tidak bisa dia rasakan lagi seberapa tinggi suhunya saat ini. Yang terdengar di kedua telinganya hanyalah dengungan keras juga beberapa suara kepanikan meneriakkan nama Panji. Lantas bayangan perempuan pirang yang Panji temui di Ranu Kumbolo tadi tertawa terbahak-bahak. Sebelum kesadaran Panji menghilang, gadis itu mendekat, lalu berbisik dengan lembutnya.

“Good bye, Anom!!”

********** Paradox Spiral **********

Nb : chapter 2 selesai.
Dengan ini arc "Permulaan" berakhir.
Nantikan arc selanjutnya "Raja yang menghilang" hanya di Paradox Spiral.
Sampai ketemu lagi bulan depan,
Untuk kunjungannya, terima kasih.
Ciao~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro