03 Part 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tau begini aku gak akan pernah percaya pada kedua wanita aneh itu.

Pemuda itu hanya menggumam pasrah. Kedua tangannya terikat pada tali yang dikaitkan ke tiang tinggi di pusat alun-alun kota. Para warga berbondong-bondong memadati lingkar luar alun-alun. Sebagian dari mereka ada yang tertawa riang, penasaran, bahkan sampai melontarkan kata-kata kotor yang ditujukan pada pemuda itu.

Barisan penjaga kadipaten mulai bergerak menarikan sebuah tarian pemujaan. Gerakan yang kaku mungkin akan membuatmu tertawa jika melihatnya. Tapi tetap saja, mereka semua menari dengan serius bersamaan dengan sambutan suara dari para warga.

"Eksekusi pengkhianat itu!"

"Jangan tunjukkan belas kasih pada Hanum dan kelompoknya!"

"Penggal kepalanya sekarang!! Aku sudah tidak sabar lagi!"

"Puja Adipati Kartayasa yang agung!"

"Hancurkan Majapahit! Hancurkan para pengikut Dewa! Adipati Kartayasa akan menuntun kita semua pada kemenangan."

"Turunkan pajak yang melambung tinggi!" 

Seketika pria yang berteriak tentang pajak menjadi bulan-bulanan para warga dan ikut dalam pengeksekusian Hanum palsu.

Pemuda itu yang mereka kira si pengkhianat Hanum hanya mampu menghela napas panjang. Semua usaha yang dia lakukan telah usai tanpa ada hasil. Kini kakinya tak lagi menapak pada tanah. Badannya terangkat tinggi, mungkin jarak antara tanah dengan kakinya hampir 50 sentimeter. Perundingannya dengan Swastika dan Aster tidak berakhir baik. Yang ada malah kedua wanita tersebut hampir saling membunuh satu sama lain meski dalam penjara. Untung saja pemuda itu menarik dirinya jauh-jauh dari pertikaian mereka. Jika tidak, mungkin dia akan terbunuh sebelum eksekusi hari ini berlangsung.

Tiga puluh menit kemudian setelah tarian para penjaga kadipaten. Seseorang yang mereka elu-elukan, yang mereka agung-agungkan tiba. Perawakannya yang tinggi besar berhasil memberikan pengaruh yang luar biasa pada para warga. Dengan sebuah gada di tangan kanannya, dia menghentakkan tanah hingga membuat tali pada tiang yang mengikat pemuda itu bergetar. Adipati Kartayasa mengangkat gadanya tinggi-tinggi, gemuruh para warga kini tak lagi terdengar. 

"Hari ini, aku Kartayasa yang hebat akan membungkam para pengkhianat itu! Tentu saja dengan kematian Hanum sang pemimpin mereka!!!" 

Suara Kartayasa yang berat menggelegar memecah keheningan itu. Disambut dengan gemuruh warga yang tak terbendung lagi. Sebuah gong besar di tengah alun-alun kian dipukul dan memberikan pertanda bahwa eksekusi akan segera dimulai.

"Apa kau punya kalimat terakhir sebelum kepalamu terpenggal?" tanya Kartayasa pada Hanum palsu dengan nada mencemooh.

"Hah?! Yah, aku mulai paham sekarang. Ya, benar. Tapi sebelum aku mengatakan kalimat terakhirku, bolehkah aku bertanya satu hal padamu?" Si Hanum palsu terkekeh pelan namun tak berlangsung lama begitu sebuah lesutan cambuk dari algojo mengenai betis kanannya.

Kartayasa mengangkat tangan kirinya ke hadapan algojo itu dengan isyarat untuk membiarkan pemuda tersebut mengucapkan keinginannya.

"Baiklah, jika itu memang keinginan terakhirmu."

"Apa tujuanmu?" tanya Hanum palsu mendelikkan matanya tanpa rasa takut.

"Bukankah sudah jelas? Menggulingkan Majapahit yang saat ini tengah dilanda kekacauan internal, lalu aku akan menjadi penguasa yang selanjutnya."

"Haha! Penguasa katamu? Jangan bermimpi!" ledek pemuda itu lalu meludah tepat ke arah kepala Kartayasa.

Sekali lagi kaki kanannya mendapat cambukan dari algojo. Meski celana yang dia kenakan saat itu cukup tebal, karena cambukan yang kuat berhasil merobeknya hingga memperlihatkan bekas memar merah pada betis kanan pemuda itu.

"Tertawalah sepuasmu! Aku, Kartayasa yang agung tidak akan termakan oleh kalimatmu untuk yang kedua kalinya."

"Dua kali? Hahaha!" pemuda itu tertawa lebar sembari menahan rasa sakit ketika kakinya yang lain mulai digempur oleh cambuk. "HEI! KALIAN SEMUA! Sudikah kalian dipimpin oleh orang seperti ini? Jika itu aku, akan ku tenggelamkan orang seperti itu!"

Brukk....

Tali yang mengikat si Hanum palsu terpotong tepat pada bagian pangkal katrol, mengakibatkan dia jatuh tersungkur karena belum siap untuk bereaksi. Lantas Kartayasa menendang kepala pemuda itu sebanyak dua kali. Belum puas, dia pun menginjakkan kakinya di kepala Hanum palsu. 

Sorak sorai terpecah. Gong eksekusi kembali dipukul. Ekspresi Kartayasa menyala senang, senyum bengisnya terurai, mata kirinya menyala saat gada besar miliknya terangkat tinggi-tinggi. Diayunkan sekuat gravitasi menarik jatuh energi yang dia lesatkan tepat ke kepala pemuda tersebut. Hingga keheningan menyelimuti alun-alun kota. Tidak ada satu pun makhluk yang berani membuka mulutnya, meski rasa ingin menguap datang melanda dengan gembira.

***

"Bos! Bangun!"

"Apa sih? Ganggu orang tidur aja," celoteh penjaga berbadan gempal yang tengah rebahan di depan pintu penjara.

"Ada yang aneh, Bos! Itu di ruang penjara khusus. Bergetar-getar tanahnya pas aku lewat tadi."

"Ah, halusinasi aja itu. Makanya kalau kerja yang bener jangan kebanyakan tidur!"

"Yang tukang tidur kan Bos? Kenapa jadi aku yang kena?"

Mendengar itu pun si penjaga gempal mendekati pintu menuju ruangan penjara khusus. Tidak ada kejadian aneh yang berasa. Berbalik badan, dia pun melemparkan kursi di dekatnya dengan keras pada anak buahnya.

"Gak ada apa-apa! Ah, halusinasi kok siang-siang gini!" amuknya tak lagi terbendung. 

"Tadi getar-getar gitu. Masa iya aku halusinasi?" 

"Udah sana, pindah area jaga sana! Di sini biar aku yang atasi."

Belum ada semenit dia berbicara. Pintu di belakangnya meledak. Sontak para tahanan berlarian keluar dari dalam penjara. Tentu dengan gerakan yang lihai, Aster memimpin kelompok tahanan untuk melucuti pakaian para penjaga dan menusukkan pisau pada jantung mereka. Bercampur dengan bau minyak peledak, keluarlah anak kecil berusia sepuluh tahun itu sembari tertawa.

"Terima kasih, Mbak Aster! Aku bisa main petasan lagi, ahahahaha!"

"Sesukamu saja bocah ingusan. Yang terpenting cepat keluar dan sembunyi sebelum Kartayasa mengendus kita semua," perintah Aster begitu selesai menggorok leher si penjaga gempal dengan parang yang dibawa oleh penjaga tersebut.

"Cepat! Cepat! Cepat! Keluar dan sembunyi! Jangan ada yang ketahuan melarikan diri terang-terangan! Jika mataku ini mendengar ada yang tertangkap lagi, aku tak akan segan datang melalui mimpi burukmu!" lanjut wanita itu menyalak pada para tahanan yang berjalan lambat.

"Fufu, seperti biasa kau memang yang terburuk, Ter," bisik Swastika menepuk pundak Aster yang menegang.

"AST---bajing kau!"

"Fufu, terima kasih atas pujiannya."

Sial, aku lupa kalau dia ini rada sinting

Aster hanya menggelengkan kepalanya. Langkahnya kembali bergerak mengikuti aliran angin yang terus membawanya menuju titik pertemuan. Di sana sudah berdiri enam orang dengan jubah coklat menunggu perintah darinya. 

Setelah urusan kecil itu terselesaikan. Dia lesatkan anak panah yang diberikan oleh temannya barusan ke penjaga yang masih gigih mengejar para tahanan. Dua, tiga, empat anak panah terus melayang menghujani mereka. Meski armor yang mereka pakai tampak kokoh. Aster yang memang ahli memanah bisa dengan mudahnya mengincar titik vital dari pakaian mereka. 

Namun perhitungan Aster sedikit meleset ketika seorang algojo yang tingkatannya melebihi pasukan tempur pribadi Adipati Kartayasa, menunjukkan batang hidungnya di kejauhan. 

"Gawat! Kalau ada dia bisa makan waktu lama. Swas, berapa lama waktu yang kau punya?" tanya Aster sedikit panik. 

Swastika menggumam sedikit lama lalu menguap. Dia tersenyum simpul yang disambut tatapan jijik dari Aster.

"Entahlah, fufu."

"Berhenti bercanda!! Urgh, sungguh menyebalkan bicara denganmu."

"Fufu, aku tersanjung."

"Itu bukan pujian!!!"

Sebuah kapak melayang dan hampir mengenai kaki kanan Aster. Dengan gesit Aster bergerak sendiri meninggalkan teman gilanya. Swastika hanya tersenyum lalu berlari mengarah ke hutan yang sedikit gelap meski matahari masih berdiri di atas mereka dengan sombongnya. Begitu bayangan Swastika benar-benar menghilang. Aster kembali menggila karena efek obat buatan Swastika yang selalu dia simpan untuk keadaan genting.

Matanya membiru dingin. Adrenalinnya meninggi, sebab itu lah dia tak lagi memiliki rasa takut saat ini. Meski napasnya sedikit memburu cepat, konsentrasinya benar-benar stabil. 

Sepuluh meter, lima meter, jarak antara mereka berdua semakin dekat. Sang Algojo telah melepaskan pedang dari sarung di paha kirinya. Pedang sepanjang 80 sentimeter itu tampak ingin segera menyantap darah Aster. 

Tersenyum, Aster pun menghentikan langkahnya spontan hingga ia jatuh terguling ke depan. Sang Algojo merasa mendapat kesempatan emas lalu menyilangkan bilah pedangnya menebas kaki wanita itu. Sesuai seperti apa yang dia inginkan, Aster menarik kakinya ke bawah lalu menghentakkan badan mendorong tubuhnya sembari menjejakkan tendangannya tepat pada kemaluan lawannya. Si algojo pun jatuh sembari memegangi kemaluannya kesakitan.

"Hei, mau tau bagaimana rasanya ketika kepalamu terpenggal?" tanya Aster meyakinkan.

Tangan wanita itu meraih pedang yang tergeletak jatuh tak jauh darinya. Sedikit menimang massa pedang tersebut. Tanpa belas kasih, dia tusukkan pedang itu ke tenggorokan sang algojo. 

"Ah, maaf! Tapi aku tidak suka memenggal kepala kecuali kepala ayam. Jadi, selamat menikmati sisa waktumu."

Aster melihat kawasan sekitar yang mulai ricuh karena ulah para tahanan yang mendapatkan kebebasannya. Dia tidak peduli apa yang mereka ingin lakukan. Dengan berakhirnya tugas yang dia peroleh, membebaskan para tahanan penjara khusus, sudah membuat hatinya lega. Baginya, perintah Prabu Hanum adalah hal utama melebihi dirinya sendiri.

Gong eksekusi terdengar nyaring mencapai kawasan penjara. Perbedaan jarak yang cukup membuatnya kelelahan untuk berlari, membuktikan bahwa kuasa gong itu benar-benar absolut. Setiap sudut kota bahkan pemukiman kumuh di ujung luar perbatasan, ketika mendengar suara gong ini dibunyikan, maka mereka akan terdiam menunggu kapan waktu untuk bersenang-senang. 

Efek obat dari Swastika datang tanpa pandang bulu. Ditahan sekuat mungkin darahnya yang mendidih bergejolak. Setidaknya dia tidak ingin mengamuk sebelum mencapai alun-alun kota. Terkadang dia jatuh tanpa sebab mana kala melompati atap demi atap dari setiap rumah yang terlewati. Jika, dia berjalan di tanah sudah pasti akan ketahuan oleh prajurit kadipaten yang mengawasi area sekitar alun-alun. 

"Sedikit lagi," gumamnya menahan hawa panas dari dalam tubuhnya.

Sengaja dia lesatkan sebuah anak panah sembarang arah agar tetap terjaga. Namun tanpa dia sadari saat posisinya tidak begitu jauh dari alun-alun. Salah satu anak panahnya menyerempet tali yang mengikat Hanum palsu. Akibatnya pemuda itu jatuh tersungkur dan menerima tendangan kuat dari Adipati Kartayasa. Melihat hal itu, Aster menepuk kepalanya kencang. 

"Bodoh!" 

Matanya menajam, direntangkannya busur panah lalu dia coba bidik mata kiri Adipati Kartayasa sebisa mungkin. Napasnya yang habis terburu kembali teratur. Dia tidak ingin anak panahnya meleset atau Prabu Hanum akan benar-benar membuang dirinya. Menunggu waktu yang tepat, begitu pria tambun itu berhenti tertawa dan hendak menghantamkan gada miliknya. Aster melepaskan anak panahnya sesuai perhitungan matang-matang. Benar saja, embusan angin membantu dorongan anak panah tersebut sehingga menambah efek penetrasi yang ada lalu menancap pada mata kiri Kartayasa.

"Kuserahkan sisanya padamu, Swas! Aku ingin mengamuk sebentar sebelum berangkat ke utara besok. Menjemput calon raja kita yang sebenarnya."

********** Paradox Spiral **********

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro