1. Awal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Tama bertahanlah!!"

Baha langsung menggapai tubuh Tama yang terkulai di tanah tak berdaya. Dengan perlahan, Baha mengangkat tubuhnya yang penuh luka, lalu menangis sekeras-kerasnya. Luka yang dialami Tama sangatlah parah dan fatal, tetapi Baha dibuat terkejut tatkala tangan Tama mencoba menggapai wajahnya, kemudian menyeka air matanya dengan penuh kasih sayang dan kelembutan.

Baha merasa sangat nyaman dengan sentuhan itu, diapun mengalihkan pandangannya, "Tama... Jangan bergerak!"

Baha sudah kehabisan akal, dia tahu bahwa semua sudah terlambat. Dengan penuh rasa bersalah dan menyesal dengan apa yang telah terjadi, dia mencoba mencari cara untuk membuat adiknya bisa bertahan lebih lama, namun.

"Ka.....kak, a...ku..." Baha hanya memejamkan matanya, ketika Tama berbicara.

"Tama. Jangan bicara lagi, lukamu akan semakin parah."

"Ka...kak, aku.... senang...... sekali..... Bisa menjadi..... adikmu." Tama mengatakan itu dengan suara terengah-engah dan kata-kata yang diucapkan penuh dengan rasa sakit.

"Tama, jangan tinggalkan kakak." Baha tidak sanggup kehilangan Tama, karena dialah satu-satunya alasan Baha hidup. Membayangkan hari-hari tanpa kehadirannya, membuat hatinya hancur.

"Ka....kak. a....ku...*GROOOAARRRR* men...."

Sebelum menyelesaikan kata-katanya, suara beruang terdengar tidak jauh dari tempat mereka berada.

Baha segera berlari sambil membawa Tama menjauhi suara itu, tidak dia sangka bahwa beruang itu akan kembali secepat ini. Dengan sekuat tenaga, dia berencana membawa adiknya yang sekarat ke pondok untuk segera dirawat. Tama sudah tidak gemetar seperti tadi, kemungkinan dia sedang pingsan saat ini. Itulah yang Baha pikir.

Dengan mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa, Baha menuruni lereng gunung itu secepat mungkin. Sebab tanah licin yang diakibatkan oleh hujan semalam membuat Baha kehilangan keseimbangan, kemudian tergelincir dan jatuh berguling ke bawah.

Baha menabrak batang pohon dengan keras, itu membuatnya berhasil berhenti terguling. Tetapi hal itu membuat kakinya terkilir, dan lebih buruknya lagi…

"Tama! Bertahanlah..."

Tama kembali mengejang, tangan kecilnya mencengkeram erat dadanya. Baha dapat menyadari rasa sakit di alami oleh Tama sangatlah perih, dia bahkan tidak sanggup lagi melihat Tama begitu menderita menahan rasa sakit itu.

"Uhukk...."

Darah kental keluar dari mulut Tama

"Tidak!!"

Baha mengetahui organ dalam Tama telah rusak, dalam kondisinya sekarang, mustahil bagi Tama untuk bisa selamat.

*GROOAAARRR*

Melihat beruang yang semakin mendekatinya membuat Baha hanya bisa pasrah, melihat tidak ada secercah harapan, dia hanya bisa mendekap Tama dengan erat, yang dalam kondisi mengerang kesakitan tanpa suara.

"Aku berharap dapat dipertemukan denganmu kembali di dunia sana …."

Tiba-tiba, tanah di sekitar Baha tertutupi oleh sebuah pola rumit yang mengeluarkan cahaya putih kebiruan, cahaya tersebut menelan Baha dan Tama dengan cepat.

Alhasil, beruang yang menerjang mereka berdua itu menabrak pohon dengan keras. Ia berguling kesakitan dengan hidung berdarah.

* * *

Matahari pagi memancarkan sinarnya ke permukaan bumi, kehidupan malam berganti menjadi siang. Di sebuah pondok di pinggir hutan dekat dengan kaki gunung, hiduplah kakak beradik yang saling menyayangi.

Sang kakak bernama Baha, sementara sang adik bernama Tama.

Mereka hidup berdua dengan tenang, setiap hari sang kakak akan berburu hewan liar untuk dimakan bersama dengan adiknya. Umur Baha menginjak enam belas tahun, sementara sang adik masih berusia sembilan tahun.

Bertahan hidup di alam liar bukanlah perkara mudah, apalagi saat masa-masa awal ketika orang tua mereka pergi dan tak pernah kembali. Baha sebagai kakak memiliki kewajiban untuk menjaga adik perempuannya dengan segenap tenaga.

Perkara makin sulit mengingat Tama menderita kebutaan sejak ia dilahirkan, Baha tidak bisa pergi keluar lama-lama. Menjaga adiknya adalah prioritas utama, dia sangat menyayangi adiknya dengan tulus.

“Kakak bangun! Sudah pagi lho.” Tama mengguncangkan tubuh Baha yang masih meringkuk di balik selimut.

Sang kakak yang masih mengantuk, bangkit dengan enggan, seluruh tubuhnya masih pegal-pegal karena terlalu semangat berburu kemarin.

“Sudah kakak bilang jangan memaksakan diri untuk membangunkan kakak, nanti kalau kamu menabrak meja gimana, gimana kalau kamu sampai terbentur dinding. Kakak nggak mau kamu terluka.”

Tama yang mendengar kekhawatiran kakaknya hanya bisa memonyongkan bibirnya, kakaknya terlalu overprotektif kepadanya akhir-akhir ini.

“Kakak akan buatan sarapan dulu ya, Tama tunggu di ruang makan oke?”

“Nggak mau! Tama mau bantuin kakak, pokoknya mau bantuin!”

Tama berhasil mendesak Baha, bagaimana bisa dia menolak jika adik kesayangannya memohon dengan cara yang imut seperti itu. Mereka berdua menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Menu hari ini adalah telur orak-arik, telur berhasil didapatkannya ketika dia secara tidak sengaja menemukan sarang ayam hutan di dekat sungai saat berburu kemarin.

Tama diminta Baha untuk menyiapkan piring, sementara Baha fokus memasak hidangannya. Asupan karbohidrat akan dipenuhi dengan kentang yang mereka tanam di sekitar pekarangan rumah.

Baha tersenyum melihat wajah bahagia Tama menunggu hidangan itu selesai dimasak, saat-saat itu adalah waktu terbaik yang mereka berdua habiskan bersama

* * *

Ugh!

Kilas balik tentang kejadian di mana dia dengan adiknya memasak terlintas di pikirannya, kepalanya terasa sangat pusing tatkala mencoba bangkit dari posisi tidurnya.

Tempat yang serba putih, di sinilah dia berada. Sebuah lokasi yang tidak familiar dengan latar belakang berwarna putih, lantai dan langit putih, semuanya putih.

Di tempat ini, Baha tidak sendiri. Ratusan, tidak, ada ribuan orang berkumpul di tempat ini. Raut wajah mereka kebingungan dan panik, situasi yang begitu aneh dan membingungkan, wajar jika orang-orang menjadi tidak tenang.

Baha mengingat lagi kejadian yang barusan terjadi, sebelum dia berada di tempat serba putih ini.

Waktu masih pagi hari, ketika dirinya dan Tama tengah mencari ilalang untuk memperbaiki atap pondok yang tertimpa dahan pohon karena hujan lebat pada malam harinya.

Dia tidak pernah menduga bahwa hari itu akan menjadi sangat mencekam dan mengerikan, kejadian yang tidak terduga terjadi. Tama yang tengah membantunya mencarikan ilalang menghilang dari pengawasannya.

Panik dan resah bercampur menjadi satu, firasat buruk yang dia rasakan sebelumnya menjadi kenyataan.

Beberapa menit dia butuhkan untuk menemukan Tama, setelah bertemu dengan adiknya. Dia sudah berada di ambang kematian, tubuh mungilnya diserang seekor beruang yang menuruni gunung.

Darah berceceran di mana-mana, kulitnya robek di berbagai tempat, napasnya kecil dengan erangan kesakitan. Mengingat semua kejadian itu membuat degup jantungnya tiga kali lebih berpacu, keringat dingin mengalir, dengan napas yang terengah-engah.

Pupil matanya berkontraksi tatkala melihat sosok yang familiar berada di sampingnya, tertidur dengan nyenyak. Pakaiannya yang sobek menampilkan kulit putih halus tanpa cela, wajahnya tidurnya sangat damai dan tenang. Seakan-akan kejadian sebelumnya tidak pernah terjadi.

Masih ada noda darah membekas di pakaiannya, menandakan bahwa kejadian sebelumnya nyata dan pernah terjadi. Yang membuat Baha bingung adalah luka-luka yang adiknya derita setelah diserang beruang lenyap tak bersisa, kulit adiknya masih mulus tanpa bekas luka.

Tidaklah mengapa, yang penting adiknya masih sehat dan selamat!

Baha menatap lembut Tama, sembari mengelus perlahan rambut cokelatnya. Dia bersumpah akan membahagiakan adik satu-satunya ini, dia berjanji akan terus bersama, tidak akan pernah terpisahkan.

Di dunia putih itu, muncul siluet yang mengeluarkan cahaya yang sangat terang seperti matahari, semua pasang mata memandangnya, tidak terkecuali Baha.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro