BAB 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gevariel sangat bersyukur ketika demam yang menerpa Viola tidak berkelanjutan, sehingga ia bisa dengan tenang meninggalkan perempuan tersebut di unitnya. Dua kali dalam satu minggu, Gevariel biasanya akan pulang ke apartemennya. Entah untuk menaruh baju kotor di laundry dan mencari baju ganti yang lain, atau mengambil pakaian dinasnya untuk menghadiri apel pagi di hari khusus.

Selasa pagi ini adalah jadwal apel yang rutin diselenggarakan. Pintu lemari kayu dibukanya, seragam berwarna cokelat muda itu menggantung dengan rapi, tidak sia-sia membayar jasa laundry untuk mencuci juga menyetrikanya. Hanya melilitkan handuk di pinggang, tubuh atasnya masih tampak basah, terlebih rambutnya yang meneteskan bulir air dari shower ketika mandi tadi. Belum sempat ia memakai pakaiannya, ponsel di atas kasur berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari seseorang yang akhir-akhir ini jarang meneleponnya.

"Halo, Ma." Ada senyum kecil ketika sapaannya dibalas perempuan di seberang sana. "Apa kabar? Udah lama nggak telepon El."

"Mama sibuk," jawab si mama disusul kekehan geli, "kan sekarang punya bayi lagi, semenjak Kakakmu lahiran kedua kalinya Mama jadi double sibuk. Ngurusin cucu pertama sama cucu kedua, pokoknya jarang deh, Mama pegang hape."

Mendengarnya Gevariel hanya mendengus, walau pada dasarnya pria itu ikut senang dengan kebahagiaan yang dirasakan ibunya itu. Sebelum keponakan-keponakannya itu lahir, mamanya sering menelepon bahkan hampir setiap jam. Mengadu kalau kesepian di rumah, sementara dua anaknya jauh dari jangkauan. Tentu saja hal tersebut mengganggu, terlebih mamanya yang tak tahu waktu. Terkadang Gevariel mendapatkan teguran dari pimpinan karena tidak fokus bertugas.

Tia, nama sang mama yang sudah melahirkannya berceloteh tentang anak kedua kakaknya yang sangat aktif bicara. Gevariel mendengarkan, sesekali menanggapi bila Tia diam sejenak menarik napas.

"Mama pengen punya cucu ketiga," ujar Tia penuh harap.

Gevariel yang masih setia menguping meletakkan ponsel di atas kasur, memasang mode loud speaker agar suara mamanya terdengar jelas sembari ia mematut diri di depan kaca merapikan kancing seragam. "Ya, minta Kakak lagi, lah," balas Gevariel tanpa beban.

Terdengar decakan dari ponselnya, Tia melenguh keras. "Masa Kakak lagi, kamu dong!" serunya gemas, dengan ketidakpekaan anaknya sendiri. Tia heran, sama mama sendiri saja Gevariel tidak peka, apalagi dengan perempuan lain yang memiliki minat padanya.

"Mama ada-ada aja." Gevariel sudah siap dengan seragamnya, kembali meraih ponsel. "Masa aku mau ngelahirin, keluar dari mana?" Tangannya menjawil ransel yang sudah diisi baju ganti yang lebih bersih, dengan beberapa tambahan pakaian untuk orang yang menunggunya di rusun.

"Bukan gitu, loh!" Tia memekik, menimbulkan tawa girang dari si pelaku yang kini sedang memasang sepatu kulit PDL di sofa yang menghadap TV LCD. "Dari istri kamu nanti, mau cewek atau cowok Mama terima kok, asalkan jadi anak yang baik."

"Iya, Ma."

"Jadi, kapan?" Perempuan yang semakin tua semakin tidak sabaran itu kembali bertanya. "Mama pengen ketemu calon menantu, tahun ini bawa ke rumah ya? Atau Mama yang mampir ke sana?"

Satu simpul kuat di sepatu kanannya, Gevariel selesai memakai PDL lengkap beserta topinya yang tersimpan di dalam tas. Ia berdecak menanggapi permintaan Tia. "Apa sih, Ma. Aku belum ada--"

"El, kamu udah dua lapan, loh. Masa mau jomlo terus? Emang nggak bosen? Mama liat, anak tetangga yang TNI aja udah nikah kemarin, istrinya artis, loh. Kamu nggak kepengen apa?"

"Punya istri artis?" tanya Gevariel iseng.

"Ah, kamu. Mama serius! Sudah saatnya kamu kenalin cewek ke keluarga, masa ke rumah mau bawa Tirta lagi? Udah bosen Mama liat muka dia lagi. Punya pacar 'kan kamu?"

Pertanyaan dari Tia membuat langkah Gevariel terhenti tepat satu kaki di depan pintu keluar apartemen. Pacar? Gevariel punya pacar? Apa perempuan yang menunggunya di rusun dapat dikategorikan sebagai seorang pacar, meski bohongan?

***

"Serius Tante Tia bilang gitu?"

Meski tak dapat dilihat Viola karena perempuan itu berjalan di depannya, Gevariel tetap mengangguk dengan bibir mengerucut terlihat lucu.

"Iya, katanya minimal akhir tahun harus bawa cewek buat dikenalin di keluarga," jelas Gevariel, mengimbangi langkah Viola yang terlihat ringat berjalan di tempat becek seperti pasar tradisional ini.

Bukan tanpa niat dan alasan keduanya berada di sini. Sesuai yang Gevariel dengar kemarin dari seorang pria saat memasuki rumah Arsilia diam-diam. Mereka sedang mencari toko pakan burung yang ada di pasar, untuk menemukan jejak yang Arsilia dan rekannya mungkin saja tinggalkan.

Kaki jenjang Viola berhenti di pertigaan jalan, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, melihat ada banyak toko pakan burung berjajar. "Bang, di sini banyak toko pakan burung, yang mana?" tanyanya bingung.

Gevariel ikut mensejajarkan tubuhnya dengan perempuan tersebut, ia juga ikut melirik ke sekitar, pada jajaran toko pakan burung yang hampir memenuhi jajaran bagian ini. Suaras desis kesalnya terdengar, bagaimana ia mencari jejak yang Arsilia tinggalkan? batinnya.

"Gimana kalau lo ke kiri, gue ke kanan," usul Viola seraya dagunya menunjuk ke arah yang dituju. "Tapi, gue nggak tau sebenarnya apa yang harus kita cari."

"Cari aja, toko yang di sampingnya ada gang kecil," ucap Gevariel, "kita ketemu lagi di sini lima belas menit dari sekarang, ayo." Pria itu melangkah duluan ke arah yang sudah ditentukan. Viola mengangguk, kaki rampingnya berjalan ke arah berlawanan.

Ada toko pakan burung yang hanya terhalang beberapa toko lainnya, seperti toko jual beli ayam, toko sayuran mentah, toko pakan jenis hewan. Namun, baik Gevariel atau Viola tidak menemukan satu pun toko yang Gevariel maksud. Toko dengan gang kecil, mereka tidak menemukannya. Kaki Viola sudah dipenuhi lumpur dari beceknya jalanan yang berlubang, perempuan itu sudah kembali berjalan ke titik awal. Dari jauh, dapat dilihatnya Gevariel berjalan dengan raut bingung. Tangan Viola terangkat, ingin melambai. Namun, urung ketika melihat seorang perempuan keluar dari sebuah toko yang berhadapan langsung dengan jalan yang lurus, tempat keduanya muncul.

Itu Arsilia.

Gevariel yang kebetulan juga tak sengaja melihat itu bergegas mempercepat langkah, hal yang sama dilakukan Viola hingga mereka berhenti di titik awal. Keduanya menoleh pada sebuah ruko pakan burung. Memang tidak ada gang yang Gevariel sebut, hanya saja ada pintu teralis yang sepertinya menuju lantai dua.

"Di sini," gumam Gevariel, "gue yakin tempatnya buat transaksi ada di sini," ucapnya, lalu menoleh pada Viola yang sudah hilang di hadapannya.

Pandangannya segera menyebar, ia panik wanita itu tiba-tiba sudah jauh. Bagaimana tubuh kecil itu sudah membaur di antara kerumunan orang di pasar. Meski agak sulit, Gevariel harus menyusul karena tidak mengetahui apa rencananya.

***

Ketika Gevariel menekuni bentuk ruko itu, Viola salah fokus dari jauh dengan Arsilia yang mengobrol dengan seorang pria yang terasa familier diingatannya. Merasa ada yang janggal, Viola tak mau kehilangan jejak. Maka dari itu, ia segera berjalan untuk mengikuti dua orang itu diam-diam.

Ternyata keduanya memasuki pasar bagian dalam. Menjelang sore, banyak toko sudah tutup sehingga jalan terasa langgang dan juga sepi. Tubuhnya bersembunyi di antara kayu yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Arsilia dan pria itu yang tengah berbincang di toko yang sudah tutup di belakang toko di mana ia sembunyi.

"Jam tiga pagi gue ke sini, lo gak ada." Terdengar suara pria itu merutuk dengan tangan yang sedang memantik api untuk menyalakan rokok.

Arsilia terlihat bingung, tangannya merogoh tas rajut belanja mencari sesuatu. "Lo nggak bilang janji jam segitu, biasa juga jam segini kita janji," ucap Arsilia lalu menyerahkan dua bungkus plastik berisikan bubuk putih.

Mata Viola melotot melihat bungkusan itu segera merogoh ponsel di saku celananya. Dengan posisi Arsilia yang masih mengulurkan tangan dan pria itu meraih lembaran uang dan memberikannya, Viola menekan tombol putih di layar, merekam adegan dalam beberapa potret. Bodohnya, lampu ponsel tidak mati yang tentu saja menarik perhatian kedua sejoli.

"Woy! Siapa lo?!"

Viola yang kaget sendiri segera mundur, tubuhnya merapat pada pintu yang tiba-tiba saja terbuka. Toko ini pintunya tidak dikunci. Tanpa pikir panjang, Viola segera masuk ke dalam sana. Bau busuk memenuhi rongga hidung, mati-matian Viola menahan aromanya. Dari sela-sela pintu yang memiliki celah, Viola dapat melihat pria itu melangkah diikuti Arsilia, mungkin mencari orang yang baru saja memotretnya.

Rasa gugup juga takut ketahuan menggelayuti, Viola kalut bukan main. Terlebih ketika Arsilia berhenti dulu di depan toko itu, memerhatikan bagian pintunya, hampir bertatapan dengan Viola yang sedang mengintip. Viola meminimalisir gerakan, bahkan menahan napas. Untung saja, pria tadi kembali pada Arsilia dan menarik wanita itu pergi. Viola kembali bernapas dengan lega. Hampir saja ketahuan.

***

"Ini bukti yang lo temuin?"

"Iya, cuma itu karena gue nggak sadar flash nyala." Jawab Viola dari dalam kamar mandi, mencuci kakinya yang penuh lumpur.

Gevariel menggeleng seraya tersenyum senang dengan bukti yang sempat perempuan itu foto. "Ini aja udah bagus dan udah jadi bukti kuat, kita udah tau pola transaksinya gimana."

Keluar dari kamar mandi, Viola mengangguk setuju dengan ucapan Gevariel duduk di samping pria itu sambil menatap ponselnya.

"Ngomong-ngomong, keluarga lo nggak nelepon?" tanya Gevariel, mengingat ponsel perempuan itu selalu aktif tapi tidak pernah mendapat panggilan dari siapa pun. Setidaknya yang menanyakan keberadaannya.

"Gue aktifin mode pesawat, jadi nggak bakal ada yang bisa nelepon."

Ya, perempuan itu masih perlu waktu agar dirinya bisa tenang kembali ke rumah. Gevariel tak lagi melanjutkan, hanya mengangguk singkat. "Fotonya udah dikirim pakai bluetooth, makasih La," ucapnya, lalu berdiri dan mengambil kunci mobil. "Gue ada rapat gabungan di markas, kemungkinan balik nanti malam. Jaga rumah ya." Tangan pria itu terulur untuk mengelus lembut puncak kepala Viola.

Yang dielus hanya tersenyum singkat, berusaha menetralkan pipi yang memanas. Efek usapan lenbut di kepalanya merambat ke perut membuat geli seperti dikelitiki. Melihat wajah salah tingkah itu, Gevariel terkekeh sendiri berlalu keluar dari pintu.

"Hati-hati, ya." Viola mengekor, mengantarnya sampai ke depan unit.

"Iya, pacarku."

"Ih, apa sih." Tangan Viola mendorong bahu Gevariel yang tertawa karena candaannya sendiri. "Pergi lo!" usirnya.

Usai benar-benar pamit, Viola menutup pintu sembari bersandar merasakan debaran di jantungnya yang sedikit membuat mulas. Perempuan itu berlari dan rebahan di atas kursi, menendang-nendang udara, persis remaja yang kasmaran.

Ketukan di pintu menginterupsi bahagianya. Gevariel mungkin kembali lagi karena lupa sesutau yang tertinggal, batin Viola. Begitu ia segera membuka pintu, bukan pria itu yang didapatinya. Tapi, pria lain yang sudah berdiri di depan pintu dengan raut juga terkejut sama sepertinya.

***

didi's note:

diders! jangan lupa vote Partner in Prime biar jadi juara favorit romance yaaaaa, linknya aku simpan di bio, yang g-forms. Kalau nggak sabar baca bab-nya, yuk ke KK Deamordi yang bab-nya udah jauuh banget!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro