BAB 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang pria dengan kumis hitam memenuhi atas bibirnya di antara hidung. Kepalanya mengganguk-angguk ketika melihat beberapa potret yang Gevariel tunjukkan padanya. Seorang perempuan yang sudah lama diintai sedang melakukan transaksi narkoba dengan seorang pria yang memang akhir-akhir ini juga tim mereka cari.

"Apa dia juga tinggal di lingkungan itu?" tanyanya. Tubuh pria itu memang agak gemuk. Namun, jangan salah disangka, banyak penjahat yang sudah terciduk oleh gesit tubuhnya.

Gevariel mengangguk, sembari meraih kembali ponsel miliknya. "Benar, komandan," jawabnya, "setelah saya cari tau, pria ini namanya Ramli, dia menyewa unit di lantai empat. Sementara saya dan Arsilia bertetangga di lantai lima, akhir-akhir ini kami banyak berkomunikasi secara langsung," lanjutnya.

Sebenarnya ada banyak informasi yang Gevariel bersama timnya kumpulkan. Akan tetapi, komandan yang memimpin tim mereka belum memberikan perintah agar segera melakukan pencidukan ketika bukti sudah sangat kuat.

"Dengan R?"

Kepalanya menggeleng pelan, "dengan R, saya baru pertama kali melihatnya hari ini. Kemungkinan pria itu mengganti orang sebelumnya yang menghilang secara tiba-tiba." Gevariel mengingat beberapa waktu lalu, saat Arsilia sering bertemu dengan seorang pemuda, pekiraannya dua puluh empat tahun yang menjadi perantara jual beli sabu.

Namun, tiga minggu terakhir jejak si pemuda tak terendus. Bagai hilang ditelan bumi, anggotanya yang bertugas memantau gerak-gerik pemuda itu bahkan tidak lagi melihatnya keluar dari rumah yang berada di kawasan Taman Sari.

"Ini adalah posisi terakhir dia," ujar seseroang, mengulurkan beberapa foto yang sudah dicetak, "ini pemuda yang banyak melakukan transaksi sebelum R," jelasnya, seraya mengelap sudut wajah berkeringat dengan ujung handuk di leher.

Pria berkumis menerimanya, meneliti satu persatu orang dalam gambar. Hal yang sama dilakukan Gevariel, ia meraih satu lembar foto untuk melihat pemuda yang sepertinya sedang berjalan. Meski foto diambil dari sudut belakang, Gevariel merasakan keputusasaan yang memenuhi wajah si pemuda.

"Di mana terakhir melihatnya?"

"Sebelum dia hilang, setelah memasuki rumah. Dia tidak pernah terlihat lagi."

***

Perasaannya agak sedikit lega, begitu pria yang mengetuk pintu unit Gevariel adalah temannya yang sudah menolong atas kasus Viola sendiri. William Tirta. Viola mempersilakan Tirta untuk masuk ke dalam. Pria itu mencari keberadaan si kekasih palsu berniat untuk membawa kembali mobil dan menyerahkan motornya, Tirta memberitahu kalau motornya yang sedang di bengkel sudah selesai diservis.

Pria yang memiliki darah campuran Tionghoa itu duduk di sofa lusuh. Bukan satu atau dua kali ia datang ke sini. Tentu saja, sebagai teman lama, Tirta tahu kalau Gevariel adalah seorang intel. Tapi, untuk keberadaan Viola dengan rambut dan baju berantakan sungguh membuatnya agak curiga.

Seorang intel biasanya menyembunyikan identitas, dari siapa pun, bahkan keluarga sendiri. Banyak anggota kepolisian yang tidak menahu siapa saja anggota reserse kriminal polri. Hal tersebut disengaja, agar yang berkhianat bisa ketahuan kedoknya. Terlebih, dari dalam instansi pun sering kali ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kehadiran Viola di unit rusun yang sengaja disewa oleh temannya membuat Tirta bertanya-tanya. Kalau begitu, perempuan ini tahu kalau Gevariel adalah seorang polisi rahasia karena kalau tidak, mana mungkin Gevariel bisa setenang itu mengintai target utama.

"Kalian kenal lama?" tanya Tirta, ketika Viola datang dari kamar mandi.

"Dari kecil."

Perempuan itu segera duduk bersila di atas karpet, bersandar pada dinding, untuk berhadapan langsung dengan teman dari kekasih palsunya itu. Meski sempat tidur dalam satu kasur yang sama, Viola terkadang masih menyangkal perasaannya sendiri. Ia yakin, kalau apa yang dilakukan Gevariel malam itu adalah sebuah upaya agar dirinya tidak terus-menerus menggigil.

Terkadang Viola merasa malu pada dirinya sendiri bila sudah dihadapkan dengan sikap Gevariel yang membuat hatinya berdebar, sampai Viola tak kuat menahan salah tingkah sampai jingkrak seperti tadi. Untung saja, Tirta datang menamparnya kembali pada realita.

"Lo udah pacaran berapa lama sama Gev?" tanya Tirta, penasaran, dan sarat penuh selidik. Seumur berteman dengan Gevariel, tidak pernah sekali pun Tirta mendengar temannya itu dekat dengan perempuan bernama Viola.

Makanya, ketika Gevariel memboyong Viola ke kantor Bareskrim, Tirta agak terkejut. Namun, karena untuk keprofesionalitasannya, Tirta mencoba agar tak merecoki Gevariel dengan banyak pertanyaan. Lalu, benar saja. Sampai hari ini Tirta juga belum meminta penjelasan pada Gevariel karena kesibukan keduanya.

Pertanyaan dari Tirta membuat perempuan itu agak bingung, satu tangannya mengelus leher bagian belakang. "Uhm, dua minggu?" jawabnya ragu. "Enggak yakin, Pak."

"Bang," timpal Tirta, "kita lagi di luar kantor, lo bisa panggil gue Bang Tirta aja." Viola segera mengangguk setuju, panggilan itu lebih baik dibanding harus memanggilnya bapak karena wajahnya masih terlihat muda.

Alis Tirta semakin menyatu, ia ragu dengan status perempuan itu sebagai pacar Gevariel. Benar pacarnya atau tidak? Masa tidak ada kabar burung yang terdengar, tiba-tiba Gevariel sudah punya pacar, bahkan berani dibawa ke tempatnya.

"Lo beneran pacaran sama Gev?" tanya Tirta, menyuarakan perasaan tidak yakinnya. "Kok gue nggak yakin," ujarnya lagi dengan tangan bersidekap di dada, sambil bersandar pada kursi. "Mencurigkan," bisik pria itu.

"Bener kok!" jawab Viola yakin, meski matanya berulang kali menghindari sorot tajam Tirta.

Pria itu menarik tubuhnya membungkuk, sementara sikunya bertumpua pada paha, dengan lengan melipat. "Pasal 378 KUH Pidana--"

"Jangan ngancam!" sergah Viola sebelum Tirta menyelesaikan ucapannya. "Kebohongan apa pun yang gue dan Gevariel jalani itu tidak merugikan siapa pun, termasuk lo." Tanpa disadari Viola sudah membongkar rahasianya dengan Gevariel, perempuan itu refleks menutup mukut MB terkejut.

Mendengar penuturan perempuan itu, Tirta menarik alisnya ke atas, lalu disusul dengan dengusan geli. "Jadi, hubungan kalian palsu?" tanyanya dengan nada meledek.

Viola benci dengan mulutnya yang tidak bisa diajak kompromi. Tawa Tirta menggelegar di unit kecil itu, ia kembali bersandar, dengan kepala menengadah pada plafon. Dalam hatinya, Viola merutuki kegatalan bibirnya yang tak bisa sejenak tak bergerak.

"Astaga." Tirta mengembuskan napas, tidak habis pikir dengan Viola yang sangat menyembunyikan status palsunya itu. "Malu banget sampai lo sembunyiin gitu?" Tirta masih sibuk meledek di tengah tawanya.

"Please." Kedua tangan Viola menangkup, matanya menyendu, meminta harapan. "Jangan kasih tau Gevariel kalau gue ngasih tau lo tentang ini."

Senyum miring andalannya Tirta tunjukan, ia memejamkan mata sejenak untuk berpikir. "Yah, gampang aja," ujarnya, membuat senyum Viola terbit lagi. "Asal ada syaratnya."

Wajahnya berubah masam, Viola bosan berhadapan dengan orang-orang yang meminta syarat bila dirinya meminta sebuah bantuan. Belum sempat protes, bunyi tak sedap terdengar berasal dari perutnya. Belum sempat sarapan dari pagi, membuat tubuhnya berekasi minta diisi.

"Traktir gue makan."

***

Mulut Viola terbuka lebar, matanya sesekali berkedip dengan takjub melihat napsu makan Tirta yang tidak menjaga image-nya di hari pertama perempuan itu berinteraksi hanya berdua dengannya.

Jangankan untuk ikut makan, tangannya pun tak sanggup untuk mengangkat sendok aluminium yang berada dalam genggaman. Viola terlampau heran dengan tingkah pria itu.

"Lo nggak makan tiga hari?" sindir Viola, sebenarnya cukup ilfeel dengan Tirta yang dari cara makannya saja terlihat lama tidak bertemu nasi.

"Nasi, sambal ati kentang, perkedel, ayam goreng, sambal." Tirta mengabsen menu di atas piringnya dengan mulut penuh perpaduan makanan yang disebut. "Gue jarang banget makan begini, paling mentok juga mi cup," ungkapnya kembali menunduk, menekuni hidangan.

Napsu makan Viola seketika hilang di suapan ketiga. Ia sungguh tak sanggup makan dengan orang yang tata cara makannya sangat serampangan seperti Tirta. Tangannya melepas sendok, beralih meraih telinga gelas besar berisi es teh manis. Dalam tiga kali tegukan, Viola menghabiskan setengah isinya.

"Emangnya sesibuk itu, sampai lo nggak sempet makan? Padahal, sekarang kan nggak ribet. Lapar tinggal pesen aja dan tunggu." Viola menyeka mulutnya dengan tisu yang sudah dilipat. "Lo jangan mempersulit diri sampai kesiksa begitu, dong."

"Bukan nggak sempet." Tirta menimpali lagi dengan mulut yang melemparkan butiran nasi. Viola merenggut, jijik juga takut. "Gue pegang hape aja jarang," lanjutnya, terlihat butir nasi yang menempel di ujung dagu.

Selembar tisu diambilnya, dengan cekatan mengusap ujung dagu pemuda itu, seperti seorang ibu yang gemas mengelap hidung anaknya yang terus mengeluarkan ingus. "Lo bisa nggak, makannya pelan?" Pertanyaan itu semacam titah, Tirta mengangguk kali ini benar-benar makan dengan perlawan.

Aneh, pikir Viola. Bagaimana pria berantakan ini bisa diterima di kepolisian ketika makannya saja seperti orang kelaparan begini. Ia mengerti, bila sebagai polisi yang banyak mengayomi masyarakat, tidak ada kata libur di tanggal merah sekali pun. Biasanya, hari Minggu pula pasti ada apel pagi yang musti dihadiri.

***

"Lo masih kerja di perusahaan jelek itu?"

Keduanya sudah selesai makan di warteg, Viola sedikit butuh jalan-jalan sehingga keduanya melangkah perlahan. Satu tangannya menjinjing keresek berisi kue pancong hangat, berniat kue itu untuk diberinya pada Gevariel sepulang nanti..

Kepalanya menggeleng pelan, "enggan, gue resign," jawab Viola dengan senyum sumir.

"Bagus itu, jangan mau bertahan di tempat sampah kayak gitu. Gue liat track record perusahaannya jelek banget, udah paling cocok lo leave aja. Tinggalin. Berapa lama lo kerja di sana?" Tirta terus saja menyerocos, tanpa sadar perempuan yang daritadi ada di sampingnya berhenti melangkah ketika melewati taman.

"Viola." Langkah Tirta kembali mundur, menyadari kalau perempuan itu sedang menaruh perhatian pada sebuah objek di balik pohon cengkeh. "Dia siapa?" bisiknya, ketika dilihatnya seorang perempuan dengan pria sedang berbincang.

Jemari telunjuknya ditaruh di depan mulut, Viola meminta agar Tirta diam. "Sini," ujarnya pelan, lalu menyembunyikan tubuh di antara pohon cengkeh seraya menguping.

"Satu paketnya berapa?"

"Lima ratus ribu."

"Mahal amat!"

"Ini udah paling murah, kalau nggak mau, ya nggak apa-apa."

Terdengar decakan sebal dari si pria. Viola tentu kenal kalau perempuan itu adalah Arsilia. Namun, untuk si pria, ia kurang mengetahuinya. Pria itu berbeda dengan yang kemarin.

"Siapa sih, Vi? Kenapa kita harus sembunyi?" bisikan tepat di ceruk lehernya membuat perempuan itu terkejut dari lamunan sampai termundur dan--krek--tidak sengaja menginjak ranting kering, menimbulkan suara.

"Ka--kamu! Udah aku bilang kalau aku nggak mau lagi berhubungan sama kamu! Aku udah punya pacar!"

Raut kebingungan terpatri di wajah Tirta, mulutnya menganga tak bisa mencerna apa yang dimaksud Viola ketika mengucapkan kalimat tersebut. Kekurangpekaannya tentu membuat Viola gemas, membuat matanya melotot sembari menginjak kaki Tirta memberi kode untuk bersandiwara.

"Aww--as, aku nggak akan nyerah!" ucapnya, mengangguk dengan yakin.

"Kalian siapa?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro