Portrait of Dream

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Partner Project: Aishipit  dan Raylanvas
Kode Warna Ring: Nomor 01
Genre: Fantasi
Periode: September 2024

🍀🍀☘️

Part 2 ditulis oleh: Aishipit

Gemerlap dari cahaya kamera yang mengabadikan kecantikanku merupakan pemandangan yang terbiasa kusaksikan selama bertahun-tahun lamanya.

Sejak aku lahir, sejak aku berdiri di depan banyak orang, mereka mencintai kecantikan dan keindahan dari parasku yang tidak dapat ditemukan di mana pun.

Aku tidak keberatan.

Aku senang mereka mengambil fotoku.

Bukankah itu tujuanku untuk dilahirkan?

"Lihat, yang ini indah sekali," ujar seorang wanita yang mengenakan kardigan hijau. Tangannya melilit tangan seorang pria di samping, memandangiku selama beberapa saat.

Sang pria mengangguk, lalu mencium puncak kepala sang wanita. "Kurasa, kamu lebih indah."

Sang wanita tersenyum, tertawa kecil sembari memukul pelan sang wanita, lalu mereka berlenggang pergi dari hadapanku tanpa mengambil foto. Sebenarnya, hal seperti ini sering terjadi. Banyak orang yang hanya berdiri di hadapanku, menatap lama, kemudian pergi.

Kebanyakan, mereka semua pasangan yang kelihatannya bahagia.

Kebanyakan, wanita yang para pria gandeng kelihatan cantik dan ramah. Mereka seolah ... memiliki kebebasan untuk berekspresi, tidak sepertiku yang harus memasang ekspresi yang sama; tersenyum tipis dan menatap lurus ke depan.

Lampu galeri meredup, membuat pandangan ruangan di hadapanku menjadi remang-remang. Pengunjung yang masih melihat-lihat diimbau oleh para penjaga untuk keluar dari galeri karena telah jam telah menunjukkan waktu untuk tutup.

Sepi.

Setiap jam dinding menunjukkan angka 10, sementara jarum panjang menunjukkan angka 6, galeri ditutup dan lampunya dimatikan, menyisakan lampu-lampu pajangan agar kami tetap diterangi oleh cahayanya yang terang.

Tidak pernah selama bertahun-tahun lamanya aku lahir, pikiran asing hinggap dan menyampaikan bahwa menjadi lukisan merupakan hal yang sulit dan menguras kebahagiaan.

Aku terlahir dari goresan-goresan ajaib kuas sang pelukis tanpa nama. Setiap warna, setiap cat, setiap tarikan kuas pada kanvasku yang minimalis merupakan tumpahan imajinasinya yang serupa corak pelangi; begitu banyak warna dan bentuk.

Dinamainya aku 'Evangeline', seorang wanita dari banyak bunga tidurnya yang terus menerus menampakkan diri, selalu berdiri tidak jauh darinya sembari tersenyum tipis dengan sebuah cangkir di tangan, di mana pun dalam mimpi ia berada.

Dilukislah parasku dengan latar abstrak penuh warna, membuat filosofi seolah aku adalah perwujudan dari imajinasi-imajinasinya yang lain. Sementara itu, aku sendiri dilukis seolah manusia asli; tanpa keabstrakan, tanpa warna nyentrik, seakan seorang model duduk untuk Pelukis Tanpa Nama cetak pada kanvas.

"Evangeline; The Embodiment of Women's Beauty."

Itulah judulku; mahakaryanya yang terakhir.

Butuh sepuluh tahun sebelum aku akhirnya masuk ke sebuah acara lelang dan dibeli oleh galeri ini untuk dipajang. Tidak seperti mahakarya-mahakaryanya yang lain, Penulis Tanpa Nama enggan menjualku hingga napasnya yang terakhir.

Sekelebat, aku mengingat bagaimana ia mengelap bingkaiku yang dibelinya dengan begitu banyak uang---ia menyampaikan demikian. Lalu, dipajangnya aku di atas perapian rumah sehingga setiap ia terduduk di sana untuk bersantai, akulah pemandangan yang akan dilihatnya untuk kali pertama.

Setiap malam, aku dapat mendengar Pelukis Tanpa Nama menggumamkan sebuah ... mantra, dari balik napasnya yang begitu tenang, tanpa suara.

"Engkau yang abadi, kembalilah kepadaku."

Hanya itu yang kuingat dari gumaman-gumamannya. Mungkin karena telah berlalu hampir sembilan tahun lamanya. Namun, entah mengapa, aku merasa, gumaman-gumaman Penulis Tanpa Nama adalah ucapan yang begitu hangat. Seolah ... rumah.

Tempatku pulang.

Tempat asalku.

Aku melirik ke kanan dan ke kiri, menyapu pandang pada galeri guna memastikan tidak ada seorang pun memandangi jajaran lukisan yang terpajang di dinding putih ini. Setelah merasa cukup aman, aku pun perlahan mundur dan mengunjungi dunia di balik permukaan kanvas yang para manusia saksikan saat galeri dibuka.

Di balik kanvas, satu-satunya tempat yang tidak dapat dilihat dan tidak nampak untuk manusia terbentuk sedemikian rupa untuk aku, si lukisan yang terpenjara di dalam kanvas berbingkai.

Aku rasa, tidak seharusnya sebuah lukisan dapat bergerak apalagi memiliki kesadaran, bahwa bergerak dan hidupnya aku merupakan anomali. Namun, aku merasa ini adalah hal yang normal.

Tempat ini terlihat seolah pelangi memuntahkan warna-warnanya secara asal. Kian lama, corak tersebut semakin terlihat terdistorsi. Akhirnya, berubah menjadi hitam dan hanya menyisakan guratan-guratan putih.

Guratan-guratan putih ini dapat menyambungkanku dengan lukisan-lukisan yang dipajang di samping bingkaiku. Tempat favorit untuk kukunjungi merupakan Peternakan Si Tua Williams yang terpajang di samping kanan bingkai kanvasku.

Maka, ke sanalah aku pergi.

Tangan kananku terentang ke depan, meraba guratan putih paling besar yang ada pada dinding. Ketika tangan ini menyentuh permukaan kasar tersebut, garis putih itu memancarkan cahaya redup.

Cahaya-cahaya itu bergerak dengan anggun, melengkung dan meninggalkan ekor sinar sehingga membentuk suatu mulut pintu di hadapanku. Setelah cahaya itu menghilang secara bertahap, pada mulut pintu, nampaklah pemandangan peternakan yang tidak lagi asing.

Kaki kananku melangkah, berpijak pada rerumputan yang terlukis dengan abstrak. Walau demikian, tidak ada dari benda yang tersebar di lukisan ini yang terasa tajam maupun menyakitkan. Semuanya terasa begitu hangat dan lembut, seolah belaian Pelukis Tanpa Nama ketika membersihkanku.

Tidak jauh dari tempatku berdiri, sebuah kabin berdiri dengan kokoh, sewarna dengan kayu-kayu dari pohon-pohon yang mengelilingi dunia lukisan ini.

Pada halaman kabin, aku mendapati Si Tua Williams terduduk pada kursi goyangnya. Dia merupakan lukisan yang tidak pernah meninggalkan pos, tetap terdiam pada tempat asal walau galeri telah tutup, tidak seperti lukisan-lukisan lainnya. Mungkin, karena pelukisnya membuat dia menjadi seorang pria tua, Williams memiliki kebijakan layaknya seorang pria tua.

"Eva," sapanya ketika aku telah mendekat. Kuberikan senyuman tipisku dan terduduk pada kursi kosong yang ada di samping kursi goyangnya.

"Williams," sapaku balik. "Tidakkah kamu bosan dengan agenda duduk-dudukmu saja?"

Williams tertawa. "Kamu dan para lukisan muda lainnya memang tidak pernah berhenti menggelitik perutku."

"Ayolah," aku terkekeh, "tidakkah kamu penasaran dengan dunia lukisan yang lain?"

Si Tua Williams kembali tertawa, kali ini lebih pelan dari yang sebelumnya. Digelengkan kepalanya pelan, sembari menggoyang-goyangkan kursi yang tengah diduduki. "Dunia lukisan itu sama saja, Evangeline."

"Sama saja?" beoku.

"Setiap dunia lukisan, walau pelukis, cat, gaya, bahkan kanvasnya berbeda, itu sama. Semua yang ada di sini merupakan bentuk dari buah pikir seorang manusia yang menyayangi dan menjunjung tinggi imajinasi."

Si Tua Williams meraih rokok yang terlukis di atas meja kecil di hadapan kami, lalu menyesapnya tanpa menggunakan korek yang ada di meja yang sama. Dia melambai-lambaikan rokok tersebut sembari menatapku dengan senyuman miring dari balik kumis dan jenggotnya yang lebat.

"Ingatkah kamu akan seorang pengunjung galeri yang sembrono, enam minggu lalu?"

Aku mengangguk.

"Apa yang dia lakukan sehingga kita para pelukis menganggapnya sembrono?"

"Merokok di dalam galeri," jawabku langsung. Sosok pria muda yang menggunakan jaket kulit hitam itu nampak jelas pada ingatanku. Dua jemari pada tangan kanannya mengapit sebuah rokok yang telah ia nyalakan menggunakan pemantik.

Aku melirik Williams lalu beralih pada rokok yang ada di tangannya.

Dia tidak menyalakan rokok tersebut dan rokoknya sudah menyala.

"Berbeda, bukan?" tanyanya sembari menyimpan kembali benda berasap itu. "Cara kerja dunia kita dan dunia mereka itu berbeda."

"Tapi, bukankah artinya kita bisa melakukan apa yang tidak bisa mereka lakukan? Kita lukisan; imajinasi. Semua di sini bisa kita manipulasi dengan kehendak kita," tuturku.

Williams menggelengkan kepala pelan. Dia menatap keluar kanvas, entah sedang melihat pilar atau pintu galeri yang terlihat dari posisi bingkainya digantung. "Kita hanya dibatasi oleh imajinasi pelukis kita."

"Mengapa kamu bisa menyimpulkan hal seperti itu?" tanyaku.

Si Tua Williams mengedikkan bahu. "Bisakah kamu tersenyum lebar sepertiku?"

Dengan pertanyaan itu, Si Tua Williams melakukan aksi yang ia tanyakan. Aku tertawa, berpikir bahwa pertanyaannya cukup lugu. Tentu saja aku---

Tidak bisa.

Aku hanya bisa tersenyum tipis.

"Tidak bisa," ucap Si Tua Williams. "Karena pelukismu berpikir bahwa hanya itulah yang bisa kamu lakukan. Kita ini terbatas, Eva; hanya lukisan di balik bingkai."

Terkadang, jika aku mengunjungi tempat Si Tua Williams, kami akan berbincang tentang bagaimana peternakan bekerja atau seperti apa sikap masing-masing dari hewan yang ada di peternakan. Selain itu, kami akan berbincang tentang manusia-manusia yang berlalu-lalang di depan bingkai kami.

Akan tetapi, malam ini percakapan kami tidak seperti biasanya. Mungkin, karena aku mengungkit perihal dunia lukisan. Entahlah. Yang pasti, malam ini, percakapannya terdengar terlalu berat untuk otakku yang terbuat dari cat air.

Setiap percakapan tentang peternakan dan jawaban Si Tua Williams itu hanyalah bagaimana pelukisnya memahami cara kerja peternakan.

Setiap percakapan tentang sikap tiap ternak dan jawaban Si Tua Williams itu hanyalah bagaimana pelukisnya memahami cara kerja peternakan.

Caraku berbicara merupakan bagaimana Pelukis Tanpa Nama membayangkan aku berbicara.

Semua tentang kami para lukisan merupakan rekayasa belaka; bergerak dan beraksi sebagaimana pelukis kami berkehendak dan membayangkan kami melakukannya.

Kedua tanganku meremas rok panjang yang terlukis pada tubuhku.

Wanita yang menggaet lengan pria beberapa waktu lalu itu ... sama sepertiku, wanita. Aku juga memiliki tangan, kaki, kepala, rambut, serta wajah.

Mengapa kami tidak sama?

Mengapa aku harus terikat dengan imajinasi Pelukis Tanpa Nama?

Mengapa aku seorang lukisan?

☘️☘️☘️

Part 2 ditulis oleh: Raylanvas

Setelah banyak percakapan dengan Si Tua Williams aku merenungi kembali eksistensi diriku. Biasanya aku memang sering melakukan ini, tapi kali ini aku berpikir jauh lebih dalam dari biasanya.

Aku tidak menyukai keterbatasanku sebagai lukisan. Terkurung dalam penjara berbingkai dan hanya bisa mengunjungi dunia lukisan lain.

Ada banyak manusia yang datang ke galeri ini, mengabadikan keindahan kami, dan berkomentar baik-baik pada lukisan seperti kami. Memang rasanya menyenangkan, tapi melihat kebebasan manusia rasanya menyakitkan.

Mereka bisa tersenyum lebar, sangat ekspresif, bisa mencari pengetahuan sendiri, bahkan bisa 'melukis' sesuatu. Itu adalah kebebasan yang tidak aku miliki sebagai seorang lukisan. Apa yang aku lakukan di dunia kanvas berwarna ini sangat terbatas.

Rasa iri yang dalam ini tidak hanya pada manusia, tapi juga lukisan-lukisan lainnya.

Pelukis mereka memiliki nama, tapi tidak dengan pelukisku.

Sejujurnya aku merindukan kehadirannya. Aku memang tidak menyukai kondisiku yang terbatasi imajinasi Pelukis Tanpa Nama, tapi aku ingat seberapa sayangnya dia kepadaku. Dia selalu menjagaku dan merawatku, bahkan tidak berniat menjualku sampai disaat terakhir. Setidaknya, bukankah akan lebih baik pelukis sebaik itu dikenang oleh masyarakat?

"Jarret. Menurutmu kenapa pelukisku tidak mencantumkan namanya di plat nama bawah lukisan?"

Di tengah malam saat galeri sedang sepi, aku mengunjungi dunia lukisan yang lain. Kali ini aku tidak mengunjungi Si Tua Williams, melainkan Jarret Si Pelukis. Jarret adalah lukisan yang terletak agak jauh dari tempatku. Dia memiliki wujud lukisan seorang lelaki yang memegang kuas dan wadah cat warna, berposisi sedang melukis suatu pemandangan.

Jarret adalah lukisan yang unik. Secara singkat dia merupakan lukisan tentang pelukis yang sedang melukis sebuah lukisan.

Aku tertarik dengan imajinasi dari pelukisku. Jarret yang digambarkan sebagai pelukis oleh pelukisnya sendiri sepertinya adalah lukisan yang tepat untuk ditanyai hal seperti ini.

"Eva, itu pertanyaan yang menarik. Setiap pelukis memiliki motifnya masing-masing dalam melukis. Tidak semuanya serius dalam melukis, tapi mereka yang serius sampai mencintai kegiatan melukis pasti memiliki idealismenya masing-masing."

"Idealisme?"

"Benar. Idealisme. Coba lihatlah semua lukisan yang ada di galeri ini. Kita semua adalah hasil dari imajinasi para pelukis yang idealis."

Jarret menjelaskan bahwa keberadaan lukisan-lukisan di sini sangatlah bernilai. Mereka dilukis dengan kerja keras yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jerih payah untuk membuat 'seni' yang sesungguhnya membuatku dan Jarret berada di tempat ini.

"Dari idealisme tersebut keberadaan kita menjadi jauh lebih bernilai dari lukisan-lukisan biasa. Idealisme mengandung emosi yang kuat pada diri pelukis. Tadi kau bertanya mengapa Penulis Tanpa Nama tidak mencantumkan nama aslinya pada plat nama? Eva, coba ingat-ingat kembali momen-momen disaat pelukismu menunjukkan sisi emosionalnya. Mungkin itu bisa menjadi jawaban atas pertanyaanmu."

Aku merenungi pertanyaan Jarret. Entah kenapa emosi kerinduan yang besar seketika memenuhiku hingga membuatku ingin sekali menitikkan air mata. Namun, aku hanya bisa tersenyum tipis. Wajahku tetap terlihat anggun dan cantik, menunjukkan sisi menawan yang tidak pernah luntur.

Mengenai kenangan bersama Pelukis Tanpa Nama, aku kebingungan memilih momen yang paling berkesan karena ada begitu banyak momen yang menyentuh hati. Memilih salah satu terlalu sulit.

Meski begitu aku tetap merenunginya. Menyalami ingatan yang dipenuhi hari-hariku bersama Penulis Tanpa Nama. Ada banyak hal yang ia lakukan demi menjaga dan merawatku, lukisan yang dianggap sangat indah ini.

Rutinitas yang dia lakukan sebenarnya tidak terlalu bervariasi. Dia melakukan hal yang begitu-begitu saja setiap harinya. Makan, minum, mandi, tidur, bekerja, dan melukis.

Aku ingat dia banyak melukis sesuatu. Lukisan yang kuanggap sama bagusnya dengan diriku. Tapi dari sorot matanya ketika menatap lukisan-lukisan lain menunjukkan bagaimana perasaannya setelah selesai melukis. Kesal, kecewa, sedih, dan lumayan senang. Semua emosi yang beragam. Hanya satu emosi yang berbeda, yaitu kekaguman dan kepuasaan luar biasa setelah selesai melukis 'Evangeline; The Embodiment of Women's Beauty'.

Itu menunjukkan bahwa diriku adalah lukisan yang berbeda dibanding lukisan-lukisan lain yang pernah dia buat.

Setelah menyelami ingatanku sendiri, akhirnya aku sampai pada ingatan dimana pelukisku duduk tenang di sofa depan perapian rumah. Matanya terlihat sayup, tapi ekspresinya terlihat damai sekali. Karena dipajang di atas perapian, aku bisa melihatnya dengan jelas. Peristiwa ini terjadi beberapa hari setelah aku lahir.

Aku masih ingat kata-kata yang dia ucapkan hari itu.

"Eva. Kamu adalah karya terbaik yang pernah aku buat. Setelah berjuang sekian lama akhirnya aku bisa melukis sosokmu yang indah ini. Aku mengasah kemampuan menulisku selama bertahun-tahun hingga tanpa sadar rambutku memutih sedikit demi sedikit."

Dia berbicara sendiri seolah lukisan di depannya bisa mendengarkannya. Sepertinya itu adalah caranya untuk bisa tetap bahagia meskipun tinggal di rumah sendirian.

Sayang sekali aku tidak bisa membalasnya. Aku hanya bisa diam dan memperhatikan pelukisku.

"Eva. Aku tidak ingin menjualmu pada siapapun. Aku ingin kau bersamaku setidaknya sampai aku menghembuskan nafas terakhir."

Dia terbatuk di tengah penjelasan.

"Kamu bukanlah lukisan biasa. Aku melukismu dengan segenap hati. Kau tau apa yang lucu? Aku menjadikan istriku sendiri sebagai model untukmu. Dia sudah mati sejak aku berusia tiga puluh tahun. Pernikahan kami hanya berlangsung sebentar dan kami tidak sempat memiliki anak. Sayangnya dia tiada lebih dulu dariku, dan aku masih belum bisa melupakannya sampai sekarang."

Dia tertawa pelan. Menghibur diri sendiri di ruangan yang sepi ini. Dia tidak ingin kesedihan membuatnya berlarut pada kenangan manis yang menyakitkan. Dari sikapnya, Pelukis Tanpa Nama sepertinya benar-benar menganggapku memiliki kesadaran.

Aku cukup terkejut ternyata istrinya menjadi model untuk lukisanku. Melihat seberapa bagusnya wujudku tidak salah lagi sebagai pelukis dia sangat berbakat dan sangat menyayangi istrinya sampai wujud sang istri tertanam kuat di imajinasinya.

"Aku sudah melukismu ratusan kali. Tapi tidak ada yang mirip dengan istriku. Hanya kamu satu-satunya yang memiliki paras yang mirip dengan istriku.

"Aku benar-benar budak cinta. Laki-laki yang kesepian. Meski terkesan mengenaskan, aku bangga pada apa yang aku lakukan. Jerih payahku akhirnya berhasil. Setelah sekian lama, aku bisa melihat wajah istriku sendiri."

Saat mengatakan itu, dia memandangi wajahku jauh lebih perhatian dari sebelumnya. Rasanya seperti ada kasih sayang di dalamnya.

"Semua lukisan sama saja. Mereka ada perwujudan dari imajinasi pelukis. Aku menganggap lukisan-lukisan yang aku buat selama ini seperti itu. Namun, kau berbeda, Eva. Kamu bukan sekedar perwujudan dari imajinasi, tapi juga perwujudan kasih sayangku pada istriku."

"Di dunia para pelukis, aku tidak membutuhkan nama. Aku tidak perlu dikenang oleh orang-orang. Aku hanya ingin membuat karya yang semirip mungkin dengan istriku. Dengan begitu aku bisa mencurahkan imajinasiku sepenuhnya tanpa tergoda oleh uang maupun popularitas. Imajinasi yang bebas. Sehingga bisa melahirkan lukisan yang penuh cinta. Itulah idealisme-ku."

Mata Pelukis Tanpa Nama semakin sayup. Dia tidak kuat untuk menahan rasa kantuknya lagi. Akhirnya, setelah beberapa saat pria tua itupun tertidur di sofanya.

Dari kenanganku itu, aku bisa tau betapa besar rasa cintanya pada sebuah lukisan. Itu membuatku menjadi lukisan istimewa yang tidak seperti lukisan kebanyakan.

"Jarret. Aku sudah tau jawabannya."

Senyumanku yang tadinya tipis, kini mengembang hingga wajahku semakin cerah. Ekspresi bahagia yang untuk pertama kalinya aku tunjukkan. Aku tidak peduli lagi dengan kondisiku yang berbeda dengan manusia maupun keterbatasanku sebagai lukisan. Semua kegelisahan yang ada padaku akhir-akhir ini telah menghilang karena aku sudah menerimanya sepenuh hati.

"Pelukisku jauh lebih mencintaiku dibanding dunia melukis itu sendiri."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro