[ 10 ] -- Sedap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama waktu makan malam berlangsung, Arben seolah tidak bisa mengabaikan keberadaan gadis bersurai putih keabu-abuan tersebut. Ia tidak berkata apa-apa, hanya saja pandangannya melekat, ingin terus menatap wanita datar itu.

Keadaan Adoff sudah semakin membaik, ia diperbolehkan untuk bergabung di meja bundar ketika makan malam saat itu. Sedangkan Niger, pria tersebut rupanya sudah berani memaksakan dirinya untuk ikut ke atas. Menghindari ruang sempit yang ada di bawah tanah sana.

Ikan bakar adalah menu spesial bagi mereka. Tentu saja, sebab sehari-hari mereka hanya diberi santapan berupa bubur kacang. Lebih jarang lagi hal yang mereka temui, terjadi di malam ini. Arnt yang biasanya hanya sibuk di bangunan bawah tanah, kini ikut naik ke atas. Menyantap makan malam bersama mereka.

Tempat santai itu menjadi lebih ramai daripada biasanya. Mereka berbicara tentang kejadian di hari itu yang sudah dilalui. Bahkan, hal seremeh apa pun bisa menjadi bahan pembicaraan bagi para remaja tersebut.

Namun, tidak hal itu tidak berlaku bagi seorang gadis bernama Grey. Ia hanya duduk di tempat yang jauh dari kebisingan. Pergi menyendiri, menyantap makan malamnya di tempat yang bahkan bukan berada di area ruang santai tersebut.

Seolah gadis itu sangat menghindari mereka, entah apa alasannya.

"Ada apa, Arben? Sejak tadi kamu hanya memandangi ruang depan," tegur Adoff yang duduk di sebelahnya.

Hal itu sontak membuat Arben tersadar dari larutan pikirannya. Ia menatap pria yang masih mengenakan ikat kepala, perban kain yang berwarna putih susu. "Tidak ada apa-apa," balasnya.

Adoff mengerlingkan pandangan, ia mengulaskan secarik senyum di wajah baharinya. "Aku dengar dari Ella. Pagi tadi, kamu dan Grey jalan bersama, 'kan?" bisik pemuda itu padanya.

"Ya, lalu?" sergah Arben cepat.

"Ruangan itu adalah tempat Grey berada saat ini. Sedari tadi kamu terus memandanginya. Jadi, kupikir kamu mulai tertarik padanya," kekeh Adoff.

Arben terdiam. Pikirannya melayang ke saat siang tadi, ketika insiden yang tidak diinginkan datang menimpa mereka berdua. Ia merasa apa yang diucapkan Adoff benar adanya. Akan tetapi, ia tidak menanggapinya.

"Ya," celetuk Adoff setelah menyadari bahwa lelaki yang diajak bicara itu hanya membungkam mulutnya sendiri. "Aku tidak salah, 'kan? Oh, jelas, aku sama sekali tidak salah menyimpulkan hal itu." Ia kembali menjawab pertanyaannya sendiri.

Arben menghela napas. Pemuda itu memang benar. Ia tahu itu. "Apa salahnya tertarik pada hal yang misterius?" lontarnya balik. Ia menganggap apa yang dirasakannya hanyalah sebuah rasa penasaran, tidak lebih. Gadis itu menarik perhatiannya karena kemisteriusannya. Setidaknya ia merasa seperti itu.

Adoff menarik sudut bibirnya semakin lebar. "Asal kamu tahu saja ya, Arben, privasi wanita itu tidak pantas untuk diketahui oleh pria. Terlebih, untuk orang aneh seperti Grey. Kupikir, kamu tidak akan bisa mengetahui latar belakangnya, jika bukan dia sendiri yang menceritakannya."

Pria bersurai coklat itu mendelik. "Kamu tahu tentang dia?" lirihnya pada lelaki yang duduk persis di sebelah kanannya.

Adoff menganggukkan kepala. "Yah, walau hanya sedikit, sih," sambung pemuda berambut pirang tersebut. "Sangat sedikit," ulangnya menegaskan.

"Katakan saja, itu tidak masalah," pinta Arben. Gadis itu benar-benar telah mencuri perhatiannya. Membuatnya tidak lagi bisa fokus seperti biasanya.

Adoff menghela napas. Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya, mengambil botol berisi anggur yang terletak di tengah meja. Ia menuangkan isi dari botol tersebut ke dalam gelasnya. "Jarang sekali kamu membiarkan kami minum, Arnt." Ia melontarkan sebuah kalimat pada pria bersurai perak yang tengah duduk di luar area meja bundar.

Pria yang merasa namanya disebut oleh seseorang, langsung mengalihkan pandangan ke arahnya. "Anggap saja perayaan kesembuhanmu, Adoff." Arnt membalas dengan dingin.

Adoff menggerakkan kepala. "Itu tidak seperti dirimu yang biasanya." Pemuda itu tidak mau mengalah. "Jangan pernah berpikir, kamu mampu membodohiku hanya dengan pesta kecil seperti ini," desisnya.

Pria itu mulai memperlihatkan senyum tipis di wajahnya. "Tidak apa-apa, Adoff. Nikmati saja malam ini, aku sudah mendapatkan ijin. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Alpha kecil." Arnt kembali membuka mulut.

Adoff mendengkus kasar. "Huh, baiklah." Ia tidak lagi membantah.

Pria bersurai pirang itu mulai keluar dari area bangku yang melingkar. Ia berjalan di tatanan marmer yang cukup renggang, menghindari kedua gadis yang sudah mulai hilang akal akibat terlalu banyak minum.

Benar, siapa lagi kalau bukan Florence kecil yang memiliki hobi minum, dan juga Fane, yang sebenarnya gadis berambut hitam tersebut memiliki daya tahan pada bahan-bahan seperti itu cukup kuat. Namun, kali ini dirinya terlihat mabuk tak terkendali.

"Oh ya, Alpha, kupikir aku akan pergi ke pusat besok. Kamu sudah bisa melaksanakan pekerjaanmu seperti biasa, 'kan?" ungkapan Arnt seketika menghentikan langkahnya.

Adoff kembali memalingkan wajahnya ke arah pria bersurai keperakan tersebut. "Kenapa kamu begitu terburu-buru, Arnt?" sanggahnya halus.

"Ayolah, kupikir kamu bisa diajak kerja sama, Adoff." Arnt seolah tidak menyukai pertanyaannya barusan. "Sudah banyak benda terkutuk yang dikumpulkan di dalam sini. Aku harus segera menyetorkannya pada pusat. Kita tidak bisa menyimpannya terlalu lama. Kuharap kamu masih mengingat peraturan seperti itu," jelasnya.

Adoff tentu saja sangat mengerti akan hal itu. Ia tidak bisa menahan jika memang Arnt akan pergi besok, dan hanya bisa tersenyum tipis ke arahnya. "Iya, aku ingat. Namun, setidaknya bawakan oleh-oleh untuk kami, ya," ringis lelaki itu.

"Aku tidak janji," balas Arnt.

Adoff segera melempar pandangan ke arah Arben yang masih duduk di atas bangku melingkar. Gelas yang terisi penuh dengan anggur masih tergenggam erat di dalam telapak tangannya.

"Arben, mari pergi," ajaknya.

Pria beriris hitam itu berkedut. "Ke mana?"

"Mengamati berlian gelap," kekehnya.

Jawaban tersebut membuat Arben makin tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"

Adoff menghela napas. "Sudahlah, ayo ikut saja." Ia mulai sedikit mengenggak anggur yang ada di dalam gelas tersebut.

Arben akhirnya ikut berdiri. Ia mengikuti langkah pemuda yang sudah lebih dahulu berjalan di depannya. Mereka mulai memasuki ruang depan yang gelap, karena lampu tidak dibiarkan menyala di area tersebut.

Adoff menghentikan kiprah, begitu pula dengan dirinya. Mereka terdiam di dalam lingkup kegelapan, walau tidak sepenuhnya benar-benar buta.

"Grey, kamu ada di sini, 'kan?" lontar Adoff tiba-tiba. Hal itu membuat Arben seketika terkejut mendengarnya.

"Adoff mencari Grey?" Sebuah suara yang berasal dari sudut ruangan itu membalas pertanyaan yang dilontarkan pria beriris biru terang tersebut.

Suara yang dikeluarkan oleh wanita itu terdengar datar, bahkan bisa dikategorikan seperti bunyi sintetis. Akan tetapi, mengapa suara tersebut terdengar begitu lembut di dalam indera pendengaran milik Arben? Seolah itu adalah salah satu hal indah yang pernah dinikmatinya.

"Bukan aku, tetapi Arben," timpal Adoff.

Seketika kedua pendar mata Arben membulat sempurna. Ia terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh temannya itu. "E-eh???"

∅∅∅

Notes :

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca di sini. Silahkan tekan bintang (🌟) yang ada di bawah situ, ya. Kritik serta saran juga sangat dipersilahkan. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro