[ 12 ] -- Selanjutnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Grey?"

Gadis bersurai putih keabu-abuan itu langsung memalingkan wajahnya, mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Lampu dapur seketika menyala terang, membuat siapa pun dapat melihat apa yang ada di situ.

"Apa?" Gadis itu menyahut dengan datar.

"Astaga, ini benar dirimu. Kamu mengejutkanku!" sentak pria yang baru menginjakkan kaki di area dapur.

"Grey berbuat apa hingga Arben terkejut?" tanyanya dengan begitu polos.

Pemuda itu menggelengkan kepala. "Seorang gadis berambut panjang, berdiri seorang diri di tengah kegelapan. Kamu pikir itu wajar?!" Ia melontarkan emosinya.

"Grey bisa melihat walau dapurnya gelap," akunya dengan polos. Kacamata bertengger di atas batang hidungnya. Tentu saja hal itu membuatnya dapat melihat walau keadaan sedang sangat gelap sekali pun.

"Ya, tapi kehadiranmu tetap saja membuatku terkejut." Lelaki itu menghembuskan napas berat.

Iris biru milik gadis tersebut mengintip dari balik kacamata beningnya yang memantulkan cahaya lampu. "Kelihatannya Arben tidak nyaman dengan kehadiran Grey, ya? Kalau begitu, Grey minta maaf."

Suara sintetisnya lagi-lagi terdengar lembut di telinga Arben. Ungkapan maaf dari gadis itu selalu sukses menenangkan perasaannya yang kerap berkecamuk kesal. Ia senang mendengarkan ucapannya yang datar, tetapi begitu polos.

"Aku hanya terkejut, bukan berarti tidak nyaman. Oh ya, omong-omong, apa yang kamu lakukan di sini?" Ia berjalan ke arah gadis itu berpijak.

Wanita itu memalingkan muka darinya, menatap kompor yang sedang menyala dengan ceret yang sudah mengepulkan uap dari mulut besinya. "Merebus air," jawabnya.

"Untuk apa?" tuturnya.

"Florence ingin dibuatkan coklat panas. Dia memintaku untuk membuatkannya."

Arben berdecak. "Gadis itu belum tidur?" Ia tidak menyangka kalau perempuan yang usianya masih lima belas tahun itu tak kunjung pergi tidur ketika malam sudah semakin larut.

Grey menggelengkan kepalanya. "Belum. Dia masih sibuk dengan laptopnya di kamar."

"Kenapa tidak kamu suruh agar dia membuat minumannya sendiri? Jika kamu terus saja melayaninya, dia bisa-bisa memiliki ketergantungan dan keinginan untuk terus dilayani." Arben ingin menentang perlakuan gadis itu.

"Grey tidak keberatan dimintai tolong oleh orang lain," imbuhnya tanpa beban.

"Bukan begitu. Namun, sesekali biarkan dia melakukan pekerjaannya sendiri. Selalu saja jika bukan kepadamu, dia pasti meminta Clara untuk menyiapkan kebutuhannya sendiri. Dia bisa tumbuh menjadi orang yang manja jika terus menerus dilayani."

Gadis itu terdiam mendengar penuturan Aeben. Iris birunya menyorot kosong ke arah ceret panas yang ada di atas kompor. "Baiklah, nanti akan Grey usahakan agar tidak selalu menuruti kemauan Florence."

Arben mengangguk. "Ya, memang harusnya seperti itu."

Gadis itu menuangkan air panas ke dalam cangkir, sedangkan Arben mulai mengambil ceret lainnya untuk memanaskan air.

Namun, tiba-tiba suara letusan senapan terdengar dari tempat mereka berdiri. Bunyi tembakan itu tidak hanya terdengar sekali, tetapi berkali-kali. Seolah target yang menjadi incarannya berpindah-pindah tempat, atau sangat banyak jumlahnya.

Arben mengurungkan niatnya untuk merebus air. Ia segera berlari ke arah sakelar lampu, kemudian mematikannya. Suara itu masih menggema, terdengar kemunculannya berasal dari luar bangunan yang kini sedang mereka tempati.

"Grey, ayo segera pergi temui yang lainnya!" ajak Arben ketika bunyi letusan peluru itu kian bersahut-sahutan di luar sana.

Gadis itu meletakkan ceret yang isinya sudah habis ia tuangkan ke dalam cangkir, kembali ke atas kompor. Ia kemudian memalingkan wajah, menatap Arben yang menunjukkan air muka khawatir. "Baiklah, Arben."

Arben segera melesat keluar dari dapur. Tempat pertama yang ditujunya tentu adalah kamar Adoff. Hal ini tidak biasanya terjadi. Tentu saja membuatnya sedikit bingung dan panik.

Ketika sudah sampai di depan kamar Adoff, ia hendak mengetuk pintu kamar yang tertutup rapat tersebut. Akan tetapi, sebelum kulitnya menyentuh daun pintu, ambang pintu itu sudah lebih dulu terbuka. Sosok pria bersurai pirang terlihat muncul dari balik benda yang berbentuk papan tersebut.

"Adoff, apa yang sedang terja–"

"Ambil senjatamu, Arben," selanya dengan cepat, "Ini bukan lelucon, ada musuh yang sedang datang kemari!"

Wajah pria beriris biru itu terlihat serius. Ia memang sedang tidak main-main.

∅∅∅

Seperti biasa, Clara keluar dari pondok sederhana itu. Ia memanjat dinding yang tidak begitu rata, membuatnya bisa mendapat celah untuk berpijak. Sebuah tas ransel bertengger di belakang punggungnya. Atap adalah tempat ternyaman untuk bermalam baginya.

Ia duduk di atas atap yang miring, kemudian mulai melepaskan tas ransel dari punggungnya. Gadis itu mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah benda yang merupakan senjata api.

Sebuah kacamata satu lensa berwarna hijau zamrud menutupi mata sebelah kanannya. Itu adalah kacamata inframerah penglihatan malam, membantunya dapat mengetahui keadaan sekitar walaupun begitu gelap. Baginya, perangkat tersebut sangatlah berarti, mengingat keahliannya sebagai penembak jitu harus didukung dengan indera penglihatan yang bagus pula.

Gadis itu menyukai tempat tinggi, membuatnya lebih merasa bebas. Ia juga lebih senang menyendiri, membiarkan dirinya hanyut dalam keheningan.

Akan tetapi, sebuah suara gemeresak tiba-tiba mengusik pendengarannya. Ia langsung menatap rimbunan pepohonan yang berdiri menjulang di area tersebut. Detik berikutnya, ia mampu menangkap beberapa orang yang mengenakan helm di kepala sedang berjalan mengendap di daerah itu.

Clara segera mengangkat tangan kanannya, membuat lengan panjang pakaiannya melorot hingga pergelangan tangannya terlihat. Ia mengenakan deker tangan, membuat hanya jari-jarinya saja yang tidak tertutup kain gelap.

Dalam sekejap setelah ia mengangkat tangan kanannya, beberapa orang yang tadi sedang berjalan mengendap-endap itu tubuhnya langsung terbelah jadi dua. Antara dada dan perut bawah mereka terpotong dengan sempurna. Membuat tubuh malang itu tumbang, dan bentuknya tidak lagi sempurna.

Siapa yang menyangka kalau di balik deker tangan yang dikenakannya, tersimpan sebuah benda terkutuk yang begitu mematikan?

Gulungan benang baja yang begitu tipis, tetapi sangat kuat. Ia dapat mengendalikan benang itu agar bergerak sesuai keinginannya. Menjadikannya senjata ampuh yang sangat efektif. Selain bisa digunakan dalam menyerang secara langsung, benda tersebut juga bisa diurai untuk membuat sebuah jebakan mematikan.

Gadis itu masih menjaga agar pandangannya tetap lurus menatap beberapa tubuh yang sudah terbelah dua tersebut. Ia berpikir, PEP tidak akan sebodoh itu untuk membiarkan diri mereka terbunuh.

Namun, seketika bola mata Clara membelalak lebar. Ia kurang fokus untuk dapat menangkap aura seseorang, yang bentuknya lebih mirip menyerupai binatang. Tidak seperti anggota PEP pada umumnya yang mengenakan helm gelap, sosok itu justru membiarkan wajahnya terlihat oleh lawannya.

Seorang gadis yang memiliki rambut pendek di bawah telinga, bergerak layaknya binatang yang berjalan dengan empat kaki. Wanita itu merangkak di antara dahan pepohonan, seolah dirinya adalah macan tutul yang bisa dengan lihai memanjat. Seringai mengerikan terpancar di wajahnya yang terkesan gila, menatap Clara dengan sorot buasnya.

Clara dengan cepat kembali mengatur benangnya agar menerjang sosok gadis bertingkah binatang itu. Akan tetapi, sosok itu menghindari serangannya dengan lihai. Membuat benangnya melilit di sebuah batang pohon terdekat.

Melihat ada celah, gadis bertingkah binatang itu langsung berlari dengan empat kaki, menggunakan media benang tipis miliknya sebagai perantara untuk menuju langsung ke arahnya.

Clara langsung mengambil senapan, kemudian menembakkan peluru ke arah gadis tersebut sebagai bentuk perlawanan, karena mustahil menarik benang miliknya kembali yang kini digunakan sebagai tempat berpijak oleh wanita bersikap binatang itu.

Akan tetapi, gadis itu malah menghindari tembakannya dengan cara terjun bebas ke atas tanah. Mendarat dengan kedua tangan serta kaki sebagai tumpuan. Ia menggeram, layaknya binatang buas yang kelaparan. Menatap Clara yang masih mencengkram erat senapannya, dengan moncong senjata api yang mengarah ke kepalanya.

Clara kembali menarik pelatuk senapannya. Namun, gerakan gesit dari wanita itu sama cepatnya dengan peluru yang ia lontarkan. Ia terus menembak, sedangkan gadis itu selalu berhasil menghindari serangannya.

Ini bukan perkara baik. Pasalnya, gadis tersebut mulai meloncat ke atap yang sama dengan Clara, kemudian menerkamnya.

∅∅∅





Notes :

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian sebagai pembaca di sini. Silahkan tekan bintang (🌟) yang ada di bawah situ, ya. Kritik serta saran juga sangat dipersilahkan. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro