Curhat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Writer by LalaAlexi

Pintu rumah terbuka lalu tertutup dengan kasar. Rora yang sedang menonton tv pun sampai kaget.

"Ren ...?" Rora bingung ketika melihat Ren berjalan ke arahnya dengan wajah yang cemberut.

Tidak perlu menunggu respons Rora lebih lanjut, Ren langsung memeluk Rora dari samping.

"Aku kesel sama Jiro," gumam Ren dalam pelukan.

Rora yang mendengar pun langsung bertanya balik. "Kenapa? Apa dia memakan coklatmu di sekolah?"

Ren menggeleng. "Dia mau mencium bibirku lagi. Di lorong kelas yang masih ramai pula. Aku kesel!"

Tentu Rora kaget dengan penuturan Ren barusan.

"Aku lebih suka kepergok Rora nee, Ichiro nii-chan, sama Saburo daripada menamparnya kayak gitu," lanjut Ren dengan sedikit mengeratkan pelukannya.

"Kamu tampar Jiro lagi? Ini yang kedua kalinya, kan?" tanya Rora.

Ren hanya mengangguk.

"Dasar anak muda," gumam Rora sambil mengelus kepala Ren.

Tiba-tiba Ren mengangkat kepalanya.

"Aku mau kasi tau Rora nee kenapa aku nggak mau dicium di sini." Ren menunjuk bibirnya dengan malas.

"Kenapa emangnya? Aku juga aslinya penasaran sama yang satu ini sejak pertama kalinya kamu menapar Jiro." Rora memerbaiki posisi duduknya agar nyaman mendengar cerita Ren.

Sebelum memulai, Ren menyenderkan punggungnya dan menatap tv yang masih menanyangkan sebuah acara dengan sendu.

"Rora nee tau, kan, orang tuaku cerai gara-gara cewek itu? Pas pertama kalinya kami pindah ke rumah cewek itu, aku melihat mereka berciuman tepat di depan aku, Ken nii, dan Zen nii. Mereka ciuman di depan rumah. Tentu saja aku yang masih lima belas tahun merasa jijik dan kesal saat itu.

Bagiku, kalau ciuman itu tidak dapat memuaskan pasangan, maka mereka akan mencari yang lain, yang bisa memuaskan ciuman tersebut. Aku sempat berpikir kalau okaa-san dulu tidak bisa memuaskan otou-san, makanya otou-san mencari cewek lain. Dan aku takut kalau Jiro nantinya akan mencari cewek yang lain kalau ciumanku tidak seperti apa yang dia bayangkan."

Rora terdiam sejenak sambil menghela napas.

"Ren, jangan samakan Jiro dengan ayahmu. He is different. He is not your father. Aku yakin Jiro tidak Akan seperti itu padamu. Dia menerimamu apa adanya. Dia sayang padamu sepenuh hati, aku yakin. Aku juga berpikir, pasti ayah dan ibumu dulu bercerai atas alasan mereka masing-masing."

Rora menghela napas, "Mungkin saja, cewek itu terlalu napsu-an dan asal cium ayahmu tidak lihat tempat. Kalau misal Jiro melakukan hal itu padamu, tidak segan-segan aku akan menghukumnya."

Senyuman sedikit terukir di bibir Ren, namun dalam hitungan detik hilang begitu saja.

"Tapi, kata obaa-chan, nasib itu turunan. Jadi, aku takut kalau nasib okaa-san akan diturunkan ke aku. Makanya aku takut ...."

Rora menghela napas lalu tersenyum kecil.

"Hei, itu kan kata bibimu. Belum tentu nasib itu turunan dari orang tua--kecuali sifat atau kepribadian. Nasibmu sudah di tentukan, Ren. Tidak ada yang tahu kan setelah ini atau besok apa yang akan terjadi pada mu, kan?

Jadi, jangan terlalu terpaku oleh kata-kata bibimu, Ren. Percayalah, nasibmu akan berbeda dari ibumu. Perjalananmu masih panjang. Jadi, jangan bepikir yang tidak-tidak," jelas Rora pada Ren akhirnya.

"Rora nee," ucap Ren sambil menahan tangis.

"Kenapa nangis? Aku salah ngomong, ya?" tanya Rora sambil memeluk Ren.

Ren menggeleng pelan. "Nggak. Aku terharu Rora nee bilang begitu. Tersentuh kokoro ini."

Tawa terdengar di sekitar mereka berdua saat itu. Dalam hati, Ren bersyukur bisa bertemu dengan Rora dan tinggal serumah dengannya.

"Tapi, jangan kasi tau ke siapa-siapa tentang masalah ini. Apalagi ke Jiro, oke?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro