10. Deka: Si Bocil Demam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Ada proyek besar, Ka." Suara Rega membuat gue urung mengenakan helm. Sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi, dia menatap gue dengan sorot berbinar. "Besok gue kasih tau. Lo jangan lupa ke sini!"

Sebelum gue menjawab, Rega sudah lebih dahulu menempelkan ponsel di telinganya lagi. Sosoknya yang kurus dengan rambut jabrik lantas nyelonong memasuki area bengkel. Gue memutuskan untuk melanjutkan langkah, pulang.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Berjam-jam yang lalu, gue menyibukkan diri di bengkel Rega. Membantu apa pun yang gue bisa. Ketertarikan gue pada mesin-mesin kendaraan itu mungkin enggak sebesar Rega sampai punya proyek segala. Namun, gue tetap belajar dan Rega rela mempekerjakan gue di sana. Kadang-kadang membantu dia mengurus keluhan-keluhan pelanggan pada kuda besi mereka.

Papa pernah bilang kalau beliau bisa saja mencarikan pekerjaan yang lebih bagus, mengingat relasinya yang banyak. Akan tetapi, kalau belum lulus, gue menolak tawaran itu. Sebab lebih suka bekerja bersama teman-teman.

Gue tiba di rumah sekitar jam sebelas kurang. Mungkin kalau Papa atau Mama masih terjaga, gue pasti bakal diomelin sampai besok. Agaknya malam ini gue diselimuti keberuntungan. Rumah mereka sudah sepi, hanya ada sinar lampu neon di teras.

"Eh, astagfirullah!" Gue berjengit mundur tatkala menatap sosok yang berdiri di depan dispenser sambil meneguk air di gelas yang transparan. "Lo belum tidur?"

"Menurut lo?" Suara Kiara masih terdengar enggak bersahabat sejak perdebatan kami kemarin.

"Udah malem, Ki. Lo lebih baik tidur, jangan begadang! Itu juga kalau lo nggak mau sakit lagi."

"Gue nggak sakit." Kiara malah berjalan melengos di depan gue menuju ruang belajar.

Baiklah. Mungkin karena dia masih kukuh juga pada aturan main kami yang enggak tertulis itu, gue pun enggak mau meladeninya lagi. Kebetulan gue juga lagi capek. Lebih baik gue diam untuk menghindar dari perdebatan ... misalnya.

Jarum jam menunjukkan pukul sebelas lebih saat gue keluar dari kamar mandi untuk membersihkan diri. Hawa dingin memeluk tubuh gue erat-erat, melesak masuk lewat serat kaus hitam yang gue kenakan.

Sebelum beranjak ke ranjang, gue kepikiran Kiara. Malam setelah kami berdebat, gue merasa sangat gengsi mengajaknya tidur di kamar. Itulah kebodohan gue. Paling enggak harusnya gue punya sedikit belas kasihan dan sebagai lelaki sejati harusnya gue membiarkan Kiara tidur dengan nyaman. Alih-alih bertindak seperti lelaki sejati, gue malah membiarkan dia tertidur di sana.

Gue melangkah ke arah pintu. Ah, sial! Lagi-lagi gengsi merasuki benak gue. Teringat juga bagaimana reaksi Kiara sejak kami berdebat. Dia pasti masih jengkel banget sama gue.

"Ah, terserahlah!"

Gue mengacak rambut sesaat dan kembali ke tempat tidur. Kiara seolah memintanya sendiri-maksud gue menjaga jarak dan memperingati gue kalau seharusnya kami enggak saling memperhatikan. Walaupun itu gue tangkap dari sikapnya yang ketus.

-Suami Satu Bimbingan-

Tidur gue enggak senyenyak kemarin. Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Kerongkongan gue juga rasanya kering banget. Dengan sisa tenaga yang gue punya, gue pun melangkahkan kaki dengan sempoyongan menuju dapur.

Langkah gue terhenti tatkala melihat bias lampu dari arah ruang belajar. Kiara masih terjaga? Pelan-pelan gue mendekat melupakan rasa haus yang menyerang. Gue mengintip sedikit dan menemukan Kiara masih duduk mengerjapkan mata sambil menatap layar laptop.

Sesekali ia mengucek matanya yang dilindungi kacamata. Ia menguap beberapa kali dan menepuk kulit saat nyamuk memberikan serangan. Ya, Tuhan! Gue enggak habis pikir dia bakal begadang seperti ini. Tiba-tiba gue merasa kasihan sekaligus marah padanya. Kasihan karena tekanan Om Malik, Kiara harus memaksakan diri. Juga marah karena abai pada kondisinya.

Gue urung untuk mendekati Kiara. Dengan sok jentelman menunggu dia ruang tamu. Mata gue kembali diserang kantuk sambil sesekali membekap mulut karena menguap. Gue menunggu cukup lama. Entah berapa menit sampai pantat gue rasanya kebas.

Dengan langkah gontai, gue kembali mengecek keadaan Kiara. Sedikit enggak, gue merasa lega karena dia akhirnya sudah tertidur dengan posisi tangan sebagai bantal. Kepalanya miring ke kanan terjatuh di atas tangan, tidur dengan posisi duduk di depan laptop yang masih menyala. Dengan hati-hati gue mendekati Bocil itu.

"Ki?" Gue mengguncang bahunya agar dia terbangun. Kali ini ... Deka! Walaupun lo kalian enggak dekat, paling enggak lo punya hati nurani sebagai cowok.

Meski gue mengguncangkan bahu Kiara berkali-kali, tetap enggak ada pergeraka.

"Lo berat nggak, ya, kalau gue gendong?" tanya gue dan dibalas sapuan angin dari balik celah kusen. Sambil mematikan laptop, gue beralih memandang Kiara.

Inisiatif yang keren, wahai Mahardika Sadajiwa! Sekarang gue benar-benar bertindak seperti lelaki sejati. Walaupun sebenarnya gue enggak mau melakukannya, tetapi tetap saja ada rasa enggak tega melihat Kiara tidur menahan sengatan nyamuk di ruang belajar.

Ternyata tubuh Kiara enggak seberat yang gue pikir. Ringan. Apa karena berat badannya menurun? Entah. Saat hendak melangkah, gue barus sadar ketika enggak sengaja menyentuh keningnya, panas. Cewek ini demam. Gue buru-buru membawa Kiara ke kamar dan meletakkannya di ranjang. Kini ia berbaring meringkuk sambil menggumam acak.

"Apa gue kata? Lo itu sakit. Keras kepala, sih."

Gue meraba kening Kiara dan memang sangat panas. Namun, ketika gue memegang kakinya, dingin. Mendadak otak gue enggak bisa berpikir cepat. Hanya memandang Kiara yang masih meringkuk dan merapatkan tubuhnya setelah gue menarik selimut untuknya.

"Mas, tolong ambilin minum."

Suaranya yang serak dan parau membuat gue hampir meloncat dari tempat tidur. Dia terbangun? Sejak kapan? Apa dia sadar kalau gue membopongnya? Gue mengenyahkan pertanyaan-pertanyaan itu dan berlari ke dapur untuk mengambilkan air.

Ketika gue kembali, Kiara udah bangkit dan bersandar di tembok. Giginya bergemeletuk menahan dingin dini hari. Gue menyodorkan segelas air dan memandangnya prihatin.

"Puskesmas buka jam segini, kita pergi aja sekarang," kata gue memberi usulan.

Kiara malah menggeleng. "Gue cuma demam aja. Besok pasti reda."

"Nggak-nggak, lo jangan ngeyel, Ki. Gimana kalau demam lo makin parah?"

"Gue udah pernah kayak gini, Mas. Besok juga pasti reda. Tapi, biasanya ...." Dia menatap gue dengan sorot layu. "Mama bakal bantu ngompres pakai air hangat."

Gue mengerjap sesaat. Apa artinya gue harus melakukan itu juga? Kalau saja bukan hanya ada kami berdua di sana, gue pasti enggak akan mau repot. Masalahnya, ini anak orang! Anak tetangga gue. Jelasnya ... istri gue. Di mana hati nuranimu sebagai seorang suami, Deka? Suara Mbak Nadira bergaung di balik tempurung kepala gue.

"Lo bantuin gue bikin air angetnya aja, Mas. Bisa nggak?"

"Ya udah, lo tunggu di sini."

Jarang-jarang gue mau terjaga sampai tengah malam begini. Saat teman-teman seperjuangan mengajak nongkrong sampai Subuh, gue malah menolak dan memilih pulang untuk mengistirahatkan diri. Sekarang justru gue harus terjaga karena Kiara.

Setelah selesai mengurus air hangat, gue kembali ke kamar membawa baskom sedang. Juga mengambil handuk kecil di lemari untuk mengompres Kiara.

"Sana, baring!" titah gue. Titah yang hanya dibalas tatapan heran dari matanya yang lemah dan sendu. "Gue bantu kompres."

"Nggak usah, Mas. Lo tidur aja."

"Lo masih kesel sama gue? Lo lagi sakit, Ki. Biar gue yang bantuin lo."

Kiara memilih enggak bersuara dan mengikuti apa yang gue perintahkan. Dia berbaring menarik selimut sampai ke dagunya. Untung dulu saat masih kecil gue pernah dikompres oleh Mama. Sehingga bisa meniru apa yang dia lakukan.

Handuk kecil itu gue peras sampai agak sedikit lembab. Lalu, meletakkannya di atas dahi Kiara setelah menyingkirkan poni tipisnya.

"Gue emang kesel sama lo, Mas." Suaranya terdengar lirih dan sangat lemah. "Tapi, gue juga ngerasa bersalah."

"Gue yang salah, lo yang bener. Udah."

Dia membuka mata dan menatap gue yang sesekali membolak-balik handuk di dahinya. Tatapan kami bertemu sekian detik sebelum dia memutusnya.

"Nggak. Gue ngerasa bersalah karena udah ngebentak lo." Kiara kembali memejam, tetapi perkataannya masih berlanjut. "Maaf, ya. Dan terima kasih lo udah bantu gue malam ini."

Untuk sesaat gue menatap wajahnya yang sedikit pucat. Bulu mata lentik Kiara bergerak-gerak sesaat setelah ia memejam dan enggak bersuara lagi. Itu kali pertama gue mendengar dia berbicara dengan tulus. Demi apa, Mahardika Sadajiwa ini tersenyum tipis karenanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro