9. Kiara: Pasca Kemarin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku terus mengulang kalimat Mas Deka tadi malam. Rasanya kepalaku akan meledak hanya karena membayangkan perdebatan perkara enteng. Belum pernah sebelumnya kusaksikan Mas Deka sampai berteriak seperti itu.

Sudah pasti yang paling mengherankan bagiku adalah kata-katanya yang seolah-olah menegaskan bahwa aku harus tunduk sebagai seorang istri.

Oh, tolong ingatkan padanya bahwa kami tidak pernah menyetujui pernikahan ini. Kami duduk di hadapan saksi dan penghulu pun karena tidak mau harga diri keluarga tercoreng atas pandangan orang-orang. Padahal kalau ada kesempatan dan tetangga tidak asal mengecap begini-begitu, aku dan Mas Deka mungkin tidak akan terlibat lebih jauh lagi.

"Lo kenapa, Ki? Muka lo kayak kurang tidur, ngantuk, ya?" Mbak Erin datang dari arah parkiran, menghampiriku yang duduk di anak tangga teras perpustakaan.

"Iya, Mbak. Tidur gue nggak nyenyak, semalem banyak nyamuk."

For your information aja, semalam aku tidur di ruang belajar. Rasanya gengsi sekaligus kesal untuk kembali ke kamar Mas Deka. Lelaki itu juga tidak ada inisiatif sama sekali untuk menyuruhku tidur di kamarnya. Lagi-lagi aku harus sering menyadarkan diri bahwa apa yang aku harapkan darinya? Tidak ada.

"Ya, ampun! Kasihan banget lo, Ki. Jadi, gimana? Lo mau langsung masuk atau kita istirahat dulu?"

"Masuk aja, yuk! Keburu siang dan jam istirahat."

Mbak Erin hanya mengangguk dan menuntun langkahku menuju perpustakaan. Akhir-akhir ini karena sibuk mengurus proposal, aku dan Mbak Erin kian dekat. Justru teman-teman sekelasku malah terasa makin jauh. Banyak yang menanyakan kabar dan mengajak bertemu, tetapi hanya sebagian dari mereka yang mengiakan. Janji bertemu pun hanya sebatas janji.

"Oh ya, Mbak. Soal acara tunangan sepupu lo di Bogor. Sori, kayaknya gue nggak bisa ikut, deh."

"Yah, kenapa? Gue udah pinjam mobil sama temen, loh."

Aku meringis mendengar kekecewaannya. Sudah effort tinggi sampai pinjam mobil, aku malah mangkir. Semua gara-gara Mas Deka! Andai saja aku bukan istrinya, pasti akan kuabaikan cowok itu.

Akan tetapi, melihat kemarahannya semalam membuatku berpikir sejak bangun tidur sampai detik ini. Berpikir bahwa aku memang salah telah membohongi dan membentaknya. Percayalah, aku juga tidak mengerti kenapa mendadak aku merasa sangat bersalah.

Padahal, jika masih menganut aturan main kami yang tidak tertulis itu, harus kuabaikan saja dia walau sebesar apa pun kemarahannya. Fakta yang menjengkelkan, aku tidak bisa abai begitu saja.

"Kiara? Ya Alloh, malah diem ditanyain."

"Sori, Mbak. Mas Raja ngajakin ke rumah teman kerjanya. Istri temannya itu baru-baru ini melahirkan, jadi gue harus ikut buat bantu Mbak Nadira jagain Ayana. Keluarga gue sama keluarga temen Mas Raja juga akrab banget, jadi nggak enak buat nolak."

"Gitu, ya?" Perempuan bergingsul itu tampak berpikir dan syukurlah, anggukan kecil darinya membuatku sedikit lega.

Kami memutuskan untuk melanjutkan rencana hari itu. Seharian ini aku pasti akan berkutat lagi di hadapan laptop dan tumpukan buku, bersama Mbak Erin yang semangatnya tertular kepadaku.

Jika Mbak Erin bisa begitu semangat dalam mengerjakan tugasnya, mengapa aku tidak? Itulah yang selalu kubisikkan pada diri sendiri. Aku bisa! Pasti.

Kami mendapat tempat duduk yang cukup strategis. Tepat di depan kaca besar yang langsung menghadap ke arah tempat parkir area perpustakaan. Setelah mencari beberapa buku dan mendapatkannya, kami segera duduk untuk mengetik tugas masing-masing.

"Ki, lihat tuh!"

Bisikan Mbak Erin sekaligus telunjuknya mengarahkan pandanganku ke kaca lebar di hadapan kami. Dari tempat dudukku, terlihat Mas Deka baru saja tiba dan tengah memarkirkan motornya. Dia tidak sendiri, ada Jane yang duduk di belakang.

Mereka tampak berbicara singkat sebelum Jane menjauh menuju gedung psikologi. Decakan Mbak Erin mengalihkan fokusku dari Mas Deka yang berjalan mendekat ke arah gedung perpustakaan.

"Bener, Ki. Kayaknya mereka balikan."

"Ya, mungkin aja."

"Bukan mungkin," Mbak Erin berucap seraya menggeser bangkunya. Ini kenapa kami jadi bergosip di perpustakaan? Ya, ampun. "Tapi, bener. Bukan mungkin lagi."

"Biarin aja kali, Mbak."

"Ya, juga. Kenapa kita yang ngurusin dia, ya?"

Bukan aku, tapi Mbak Erin kali.

Pembicaraan selesai karena aku memilih tidak menanggapi lagi. Pikiranku sudah terlalu penuh, jadi untuk apa kutambahkan lagi dengan memikirkan urusan orang lain?

Sesekali waktu kubuka ponsel dan berselancar di internet untuk mencari beberapa referensi. Sementara Mbak Erin sudah hampir tiga kali izin ke kamar mandi. Aku melakukan peregangan kecil tatkala tangan dan punggung terasa kebas. Tiba-tiba kepalaku diserang pening.

"Astaga," gumamku sambil meraba hidung. Hangat. Setitik cairan merah keluar dari indra pembau dan itu membuatku sedikit panik mencari tisu. "Sial, ketinggalan segala!"

Aku ingat, sisa tisu yang selalu kubawa ternyata tidak sempat masuk ke dalam tas dan pasti masih teronggok di atas meja ruang belajar.

"Ki, hidung lo berdarah!" Mbak Erin tiba-tiba datang dan sedikit memekik, menghadirkan reaksi beberapa mahasiswa di dekat kami.

"Mbak, ada tisu nggak?"

"Bentar, gue cariin." Dia buru-buru meraih tas ranselnya dan merogoh barang-barang yang ada di dalamnya hanya untuk mencari tisu. Syukurlah, ketemu!

"Thanks, Mbak."

"Lo kenapa bisa mimisan gini, Ki? Sakit, ya? Kita ke puskesmas aja, yuk! Gue takut lo semaput di sini. Nanti siapa yang bakal bopong lo?"

Aku hampir meledakkan tawa karena nadanya yang super panik. "Gue nggak apa-apa. Gue ke toilet dulu."

"Lo sering mimisan begini?"

"Nggak, baru kali ini. Mungkin karena kelelahan."

Mbak Erin berdecak sambil memberiku sisa tisu. "Bisa aja, tapi kelelahan belum tentu bisa jadi penyebab utamanya, Ki. Lo periksa aja ke dokter."

Tuhan! Aku saja tidak pernah berpikir untuk melakukan hal sejauh itu. Mungkin karena akhir-akhir ini terlalu memforsir diri, aku jadi kelelahan. Syukur-syukur tidak ada penyakit yang serius.

Tanpa ingin lagi melanjutkan pembicaraan dengan Mbak Erin yang bisa saja berbuntut panjang karena rasa paniknya, aku segera berlalu keluar menuju kamar mandi di dekat musala perpustakaan.

Begit keluar, kutemukan Mas Deka sedang duduk bersama teman-temannya di kursi panjang depan musala. Kedua mata kami berserobok, aku langsung meleongos masuk ke kamar mandi.

"Kenapa bisa begini, sih?" Aku menggerutu saat tiba di sana sambil menyaksikan pantulan diriku di cermin besar yang tersedia.

Bersusah payah membersihkan hidung dari darah, hingga kering dan tidak ada lagi yang keluar. Kurasa sudah cukup dan ketika kakiku hendak melangkah keluar, mendadak rasa malas menghampiriku karena akan melihat Mas Deka di luar.

Padahal kami hanya akan berpapasan, tetapi rasanya setelah kejadian kemarin, aku berharap esoknya pernikahan kami hanyalah mimpi buruk. Sehingga aku bisa terbangun dan bebas dari mimpi itu.

"Nggak apa-apa, Ki. Ayo!"

Begitu keluar, ternyata Mas Deka masih di sana. Sendirian. Alamak! Rasa percaya diriku langsung menciut. Ia menatapku sesaat sebelum berdiri dan datang mendekat.

"Lo sakit, Ki?"

Nada bicaranya sudah kembali. Agak menyebalkan, berbeda dengan tadi malam yang berteriak sampai bikin aku kaget di tempat.

"Nggak."

"Lo balik jam berapa nanti? Biar sekalian gue tungguin."

"Nggak perlu. Gue bisa balik sendiri."

Debas napas Mas Deka merayap menerpa gendang telingaku. Ia diam sesaat sambil memijat pelipisnya. Aku masih saja ada di sana, padahal kakiku sudah gatal ingin menghampiri Mbak Erin.

"Gue nggak mau kena ceramah Mama lagi. Jadi, lo balik bareng gue hari ini. Kalau lo mau, sekalian ke puskesmas aja."

"Nggak usah."

"Astaga, Bocil!" Ia mengerang. Persis seperti Mas Deka yang lagi kesal ke aku. Apalagi kalau sudah sampai memanggilku Bocil segala. "Nurut aja bisa nggak, sih?"

Sebelum aku sempat menjawab, terlihat Mbak Erin keluar dari ruang perpustakaan. Wajah paniknya masih setia terlihat saat berlari tergopoh menghampiri kami.

Ia serta-merta memberikan barang-barangku. "Kita belum kelar, Mbak."

"Entar aja, Ki. Kasihan lo, kayaknya sakit banget sampai mimisan. Lo istirahat dulu, deh. Baru kita lanjutin lagi."

"Tuh, kan! Lo sakit," Mas Deka berseru penuh kemenangan.

"Gue baik-baik aja. Tapi, ya udahlah, kalau gitu gue balik duluan."

"Eh, bentar!" Mbak Erin menahan langkahku yang hendak menyampirkan tas ransel. Mbak Erin ini kadang-kadang random banget. Namun, kerandomannya kali ini membuatku sedikit panik. "Kayaknya gue pernah lihat cicin lo, deh. Tapi, di mana? Mirip punya siapa, ya."

Astaga! Gue buru-buru mengepalkan tangan dan melihat Mas Deka sama tegangnya. Mbak Erin tampak berpikir, lalu menatap Mas Deka yang langsung membuang wajah.

"Bukannya lo, Bang?" tuding Mbak Erin.

"E-enak aja. Mana? Nih, jari gue polosan."

Syukurlah. Mas Deka tidak mengenakan cincinnya hari itu. Tanpa ingin menambah rasa curiga Mbak Erin, aku segera membawanya kabur dari sana. Walaupun Mbak Erin menatap kami penuh selidik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro