12. Deka: Tertampar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumah Rafli sebenarnya ada di Jakarta, tetapi istrinya melahirkan di Bogor, rumah keluarga kedua orang tua Rafli. Sebenarnya gue setengah terpaksa buat ikut sama Mas Raja dan Mbak Nadira karena sejak beberapa jam lalu jalanan cukup macet.

Kami tiba di sana sekitar jam dua belas siang. Mas Andra-rekan kerja Mas Raja-yang menyambut kami. Ada Rafli dan beberapa keluarga yang lain juga. Gue enggak begitu akrab sama Rafli karena sebelumnya juga enggak saling kenal.

Tahu dia juga dari cerita-cerita Mas Raja sesekali waktu. Gue dengar dia menikah muda saat masih kuliah dan mengurus skripsinya. Bedanya dengan gue dan Kiara adalah Rafli dan sang istri menikah atas dasar rasa cinta.

"Oh, Deka ipar lo, Mas?" tanya Rafli saat kami duduk santai di teras rumah. Sementara Mbak Nadira bergabung dengan mama Rafli dan Mbak Bia-istrinya-di dalam sana.

"Iya. Suami adik gue yang sempat jadi cinta monyet lo."

Rafli tergelak mendengar perkataan Mas Raja. Dari sana gue tahu kalau Mas Raja yang lempeng abis, ternyata jago juga bikin orang ketawa. Padahal gue membayangkan kalau Mas Raja ngejokes, pasti raut mukanya tetap datar dan bikin joke-nya jadi garing. Ternyata gue salah besar.

Tangan Mas Raja menepuk-nepuk pundak gue. Seolah memperlihatkan; ini loh adik ipar gue! Adik ipar yang udah bikin malu dua keluarga sekaligus di hadapan warga. Yaelah!

"Ka, dulu waktu masih jadi tetangga, Kiara sering main sama Rafli. Waktu SD kalau nggak salah, sebelum keluarga gue pindah, ya?" tanya Mas Raja.

"Iya dan gue nggak nyangka Kiara udah nikah aja, Mas. Bukannya dia harusnya masih kuliah, ya?"

"Yah, sama kayak lo dan Bia."

Gue pengin banget nyaut kalau berbeda sekali. Ya, maksud gue adalah kami menikah atas dasar desakan kedua keluarga besar. Namun, gue hanya bisa senyam-senyum saat Rafli mengangguk paham.

"Masih untung lo nggak ngerawat bayi, Ka. Dulu gue sama Bia sempat ngerawat ponakan." Rafli geleng-geleng mengenang masa yang telah lewat. "Biarpun bukan anak sendiri, tapi capeknya nggak ketulungan. Bia, sih, yang lebih capek ketimbang gue. Lo juga pasti ngerasain, kan, Mas?"

Mas Raja mengangguk setuju. Dua bapak-bapak yang sedang mengadu curhatan dan gue terjebak di antara mereka. Untung Mas Andra enggak bergabung bersama kami di sini. Bisa-bisa pembicaraan kami makin jauh. Alhasil karena malas menyelami obrolan mereka terlalu jauh, gue cuma menyimak seadanya sambil mengisap rokok.

-Suami Satu Bimbingan-

Kiara merasa sudah baikan dan tetap ngotot ingin menemani gue pergi ke supermarket terdekat. Alasannya karena tidak mau berdebat lagi masalah belanja. Kami pun bertolak ke daerah Kemang. Jalanan sedikit macet, tetapi untungnya kami tidak terlalu lama di jalan.

Kami tiba di tempat tujuan setelah hampir sepuluh menit berkendara. Menjelang malam pengunjung mulai ramai berdatangan. Lampu-lampu hias di sekitar jalan sudah mulai menyala dan suara ajian-ajian mulai mengudara di cakrawala.

Hari itu gue membawa mobil Papa karena enggak mungkin memakai motor. Kondisi Kiara juga membuat gue sedikit cemas. Walaupun dia mengaku sudah membaik, tetapi gue tetap enggak mau mengambil resiko.

"Lo udah catet apa yang mau dibeli, kan?" tanya gue begitu kami tiba di dalam.

Kiara hanya mengangguk dan meninggalkan gue. Kakinya dengan lincah mencari barang-barang yang tertera pada catatan kecil di tangannya. Barang-barang yang isinya keperluan dapur. Kiara seolah sudah hafal tata letak di tempat ini.

Gue cuma mengekor sambil mendorong troli. Ke mana pun kaki Kiara melangkah, ke sanalah gue terarah. Dia berhenti, gue ikut berhenti. Persis seperti apa yang dilakukan Papa dulu saat menemani Mama belanja dan gue akan mengamati mereka di atas troli. Dulu gue suka banget ikut belanja dan naik ke atas troli dan didorong oleh Papa.

"Mas, lo suka kopi yang merk ini apa ini?" Dia menenteng dua kopi sachet yang berbeda merk.

"Gue biasanya yang ini, sih." Tepat di tangan kirinya ada produk kopi dengan logo kapal yang didominasi merah pekat.

Satu barang masuk ke troli, begitupun seterusnya. Sampai akhirnya troli kami terisi dengan berbagai barang. Kami berkeliling sekitar setengah jam karena Kiara yang terlalu pemilih. Bahkan daftar belanjaan yang ada di tangannya hanya sedikit yang terbeli.

Mungkin karena merasa sudah cukup lelah berkeliling, ia memutuskan untuk menyudahi acara belanja kami petang itu. Kami membayar belanjaan dan segera keluar dari supermarket. Gue berjalan di belakang sambil menenteng belanjaan, sementara Kiara sibuk menghitung pengeluaran kami.

"Mas, lo mau makan di sini apa di rumah?"

"Emangnya di rumah ada makanan?" sindir gue. Lagi-lagi agak kesal karena suatu fakta, Kiara enggak bisa memasak.

"Nggak usah nyindir kali. Gue lagi belajar masak sama Mbak Nadira, nih."

"Masuk, gih! Kita cari makan dulu."

Gue dan Kiara sepakat makan di luar mumpung masih di sini. Kampung Kemang Food Court menjadi pilihan Kiara karena katanya dahulu sering nongkrong di sana sama teman-temannya saat masih sekolah.

Area luas itu tampak ramai, penuh oleh berbagai orang yang berkunjung. Sepertinya dari berbagai komunitas yang menepi untuk menghabiskan waktu setelah bekerja seharian. Tempat yang berlatar bangunan gedung pencakar langit itu menjadi salah satu pilihan bagi sebagian aktivis kota.

Gue dan Kiara duduk di area tengah dengan kursi-kursi rotan yang juga dihuni banyak pengunjung. Setiap sudut area seolah seperti a romantic corner buat pasangan-pasangan yang datang ke sana.

"Lo mau makan apa?" tanya gue mengganggu fokus Kiara yang sedang meneliti keadaan sekitar.

"Nasi goreng aja, minumnya flavour ice tea yang varian peach, ya."

Syukurlah tidak ada drama jawaban terserah yang biasanya menjadi jawaban legend seorang cewek. Gue bergerak ke arah tenant yang dimaksud Kiara. Selang beberapa detik, gue kembali dengan makanan kami.

Sebelumnya gue dan Kiara tidak pernah duduk makan berdua seperti saat ini. Sesuatu yang baru banget buat gue. Dulu saat masih kecil boro-boro makan bareng, Kiara saja enggak pernah mau main bareng sama gue. Ya, soalnya mainan dia, kan, barbie. Masa iya gue juga harus ikutan main barbie segala.

Beda cerita kalau langit udah mulai gelap dan hujan membasahi kota. Kiara sendiri yang akan antusias mencari gue ke rumah buat diajak mandi hujan. Dahulu banget, sewaktu gue masih kecil, masih TK kalau tidak salah. Sebelum keluarga Kiara akhirnya pindah karena tugas Om Malik. Lalu, beberapa bulan kemudian mereka kembali lagi ke komplek perumahan kami.

Saat itu gue dan Kiara sudah bukan anak kecil lagi. Kami sudah remaja, walaupun begitu tetap saja kami tidak akur. Bahkan ketika hujan turun pun, Kiara dan gue bukan anak kecil lagi yang bisa mandi hujan sambil lari-larian di jalanan depan rumah. Beranjak remaja semuanya terasa berbeda.

"Mas, lo ngasih nomor gue ke Mas Arga, ya?"'

Pertanyaan Kiara menyudahi lamunan gue tentang masa kecil kami. Tepat di hadapan gue, layar ponsel Kiara menyala memperlihatkan ruang obrolannya dengan nomor asing yang mengaku sebagai Arga.

"Nggak, tuh."

"Terus dia dapet nomor gue dari mana?"

"Mana gue tahu," jawab gue sambil menyendok nasi goreng yang masih hangat. "Lagian lo kenapa, sih? Kalau lo nggak suka sama dia bisa temenan kali. Sejak kapan kuliah itu buat belajar doang? Nambah relasi, lah, kalau misal lo nggak suka sama dia."

"Kalau dia ngarep sama gue gimana?"

Hampir saja nasi goreng di mulut gue keluar karena ucapannya yang super percaya diri. "Pede gila lo. Arga cakep kali, banyak yang suka. Modelan lo jauh banget dari cewek-cewek yang naksir dia."

"Toh, buktinya dia suka sama gue. Apalah arti cewek cakep dan hits." Dia dengan jemawa mengibaskan rambut. "Lagian bukan itu yang bikin gue khawatir, Mas. Kalau Mas Arga tahu gue punya suami gimana? Kan, kasihan dia. Walaupun kita nikahnya karena terpaksa, tetap aja kita sah di mata hukum dan agama. Gue nggak mau sok bijak, tapi kata Mama gue harus hormat sama lo."

Gue sedikit tertampar karena nyatanya, gue sering jalan sama Jane belakangan ini. Juga melanggar aturan yang kami buat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro