13. Kiara: Hari Ini ACC

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mempercepat langkah menaiki anak tangga gedung fakultas FEB. Tujuanku adalah lantai dua, tepat di mana program studi manajemen berada. Hari itu harusnya aku datang setelah Zuhur, mengingat janji temu dengan Pak Hamdan berlangsung nanti jam setengah dua siang. Akan tetapi, aku tidak mau ketinggalan momen ini. Momen di mana salah satu teman kelasku melangsungkan seminar proposal hari ini.

Beberapa waktu lalu aku tidak sempat hadir di acara seminar proposal mahasiswa lain karena terlalu sibuk mengurus proposal. Sekarang momen ini tidak boleh terlewat. Untung saja anak tangga tidak terlalu banyak, sehingga aku tidak terlalu ngos-ngosan setelah melewatinya.

Tepat di salah satu ruangan sudah terlihat beberapa mahasiswa lain yang akan hadir di acara seminar. Aku buru-buru melangkah untuk mencari kursi kosong. Sosok Hilda langsung melambai begitu aku masuk. Hilda akan seminar hari itu. Ia adalah salah satu teman kelasku yang beruntung bisa seminar proposal terlebih dahulu di antara angkatan kami.

"Semangat!" Aku berseru tanpa suara, tetapi Hilda langsung tersenyum sambil mengangguk mantap.

Sesuai jadwal yang tertera pada pengumuman, seminar berlangsung pada jam sembilan pagi. Hilda tampak menyembunyikan kegugupannya dan seolah kegugupan itu mengalir pelan-pelan kepadaku. Aku ikut larut dalam kegugupan Hilda.

Terlebih saat serangkaian acara itu mulai mendekati sesi kritik dan saran, serta lemparan demi lemparan pertanyaan dari dosen penguji. Hilda tampak bisa mengatasi semua pertanyaan. Jawabannya selalu mantap dan membuat dosen penguji tidak mengulang lagi pertanyaan yang sama.

"Bisa nggak, ya, gue kayak Hilda?" Aku bergumam di antara dialog Hilda dan tiga dosen di depan.

Semua menyimak dengan penuh ketegangan, tetapi tidak berlangsung lama karena pada akhirnya menjelang acara rampung, semua bertepuk tangan atas keberhasilan Hilda dalam menyajikan seminar proposalnya.

Ruangan yang tadinya senyap, kini mulai ramai setelah dosen penguji dan dua dosen pembimbing Hilda langsung keluar begitu selesai pembacaan berita acara. Aku segera berlari menenteng kertas plastik hitam berisi buket bunga yang kubawa dari tadi.

"Hilda! Aduh, gue sampai nggak nyangka lihat pengumuman di grup. Gue pikir bukan Hilda yang ini tahu." Aku dan Hilda memang cukup akrab, itulah kenapa aku tidak mau ketinggalan momen ini. "Selamat, ya! Semoga penelitianmu lancar."

"Ah, Kiaaa." Hilda memelukku sesaat, lalu menerima buket bunga yang kubawakan. Seperti biasa, dia selalu memanggil dengan panggilan kesayangannya. Kata dia biar lebih simpel karena nama Kiara terlalu panjang. Padahal cuma lim huruf doang. "Kia, aku doain juga segera nyusul, ya. Kalau ingat-ingat orang tua sama kejar target, pasti nggak bakal malas buat dikerjain. Soalnya aku gitu, sih." Dia menyengir dan aku hanya bisa ikut tersenyum sesaat.

Kalau sampai Papa tahu ada temanku yang sudah duluan seminar proposal, bisa-bisa aku ditagih terus menerus. Masalahnya kondisiku sedang tidak fit beberapa hari ini dan semoga saja Papa maklum.

Ini bukan saatnya aku bersantai. Ya, aku tahu. Baiklah, paling tidak karena seminar proposal Hilda, semangatku sedikit tersentil untuk kembali menggarap proposal. Apalagi hari ini Pak Hamdan mengajak bertemu.

"Progres Kia udah sejauh mana? Pasti udah di acc, nih."

"Belum. Gue sempat sakit kemarin, hari ini mau ketemu Pak Hamdan. Senangnya karena udah sampai metode penelitian. Untung jauh-jauh hari gue udah bikin instrumennya."

"Udah jauh itu. Nanti kabarin aku kalau Kia udah seminar, ya."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum membalas perkataannya. Benar, progresku sudah lumayan jauh dan aku tidak bisa terus-terusan santai. Target yang Papa buat juga sudah makin dekat. Rasanya aku tidak sabar untuk berdiri di hadapan dosen penguji untuk menyajikan isi proposalku.

-Suami Satu Bimbingan-

"Jadi, saya harus tanda tangan di mana ini?" tanya Pak Hamdan setelah sekian menit membolak-balik lembar proposal penelitianku.

"Tanda tangan? Maksudnya, Pak?"

"Kamu nggak mau saya acc ini?"

Mataku langsung berbinar mendengarnya. Saking tidak percaya, aku sampai melirik Mas Deka yang duduk di samping kananku. Dia hanya mengulas senyum kecil dan aku langsung mencari halaman persetujuan di lembaran itu sebelum Pak Hamdan berubah pikiran.

Masalahnya aku masih sedikit heran, kenapa bisa? Padahal aku belum sempat konsul lagi karena sakit. Sebenarnya aku senang, tetapi entah kenapa ada hal lain yang menggangguku. Pak Hamdan juga membubuhkan tanda-tangan di halaman persetujuan pembimbing milik Mas Deka. Itu artinya dalam waktu dekat kami sudah bisa mulai bimbingan dengan Bu Nani.

"Kalian berdua bisa langsung ke Bu Nani setelah ini. Ya, kabari saya juga sesekali tentang progresnya. Juga kabari kalau udah mulai seminar."

"T-tapi, Pak. Saya mau tanya, boleh?"

Pak Hamdan tampak mempersilakan dari gerakan tangannya.

"Saya sempat nggak bimbingan, tapi kenapa sudah di acc, ya? Instrumen saya juga ...."

"Ya Allah, Ki. Yang penting kan udah di acc," Mas Deka menceletuk dan aku melirik sewot ke arahnya.

"Kamu nggak baca proposal dan instrumenmu lagi, Saudara Kiara?"

Kini kedua netraku melirik lembaran proposal penelitianku yang masih tergeletak di atas meja. Seingatku tadi pagi aku langsung memasukkannya ke dalam tas tanpa memeriksa terlebih dahulu. Tentu saja karena buru-buru dan tidak mau terlambat untuk acara seminar proposal Hilda.

Kembali kuarahkan netra pada Pak Hamdan yang menatap heran. Lalu, aku menggeleng dan takutnya itu akan membuat Pak Hamdan berkomentar panjang lebar. Akan tetapi, tidak.

"Draf proposalmu sebelumnya sudah saya cek. Deka yang bawa ke saya karena katanya kamu lagi sakit dan titip ke dia. Ya, saya maklum karena kamu memiliki semangat yang bagus dalam mengerjakan tugas akhir ini."

Berkat penjelasan Pak Hamdan, aku langsung melirik Mas Deka. Kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti ini? Apa memang benar pintu hatinya lagi terbuka lebar? Jadi, selama aku sakit, aku tidak tahu banyak hal yang dia lakukan.

Oh, aku pernah sekali waktu memergoki dia sedang begadang. Namun, waktu itu aku masih sakit sampai tidak punya tenaga buat menegur. Mas Deka duduk di meja belajarnya sambil menekuri laptop. Yah, aku kira dia bakal mengerjakan proposalnya.

Sadar akan tatapanku yang tidak lepas darinya, Mas Deka langsung memalingkan wajah ke arah Pak Hamdan. Sementara aku cuma bisa bengong di tempat.

"Pokoknya, saya hanya ingin kalian segera wisuda. Terutama Saudara Deka," lanjut Pak Hamdan, "saya sarankan untuk turun ke lapangan buat pra penelitian. Sambil jalan-jalan aja, kalian ini kan tempat penelitiannya berdekatan."

"Bisa, Pak." Mas Deka buru-buru beranjak dan memasukkan proposal kami ke dalam totebag milikku. "Kalau begitu, kami akan menghubungi Bapak lagi nanti. Terima kasih atas waktunya."

Jika Pak Hamdan tidak berdeham singkat, aku mungkin tidak akan bangkit dari tempat karena masih tidak menyangka dengan pertolongan Mas Deka. Sudah kubilang kalau dia itu memang agak sulit ditebak.

Tubuhku langsung disapa hawa panas setelah keluar dari ruangan berpendingin. Beberapa mahasiswa terlihat ramai di depan ruangan untuk menunggu kelas. Aku pernah ada di posisi itu. Rasanya waktu berlalu kian cepat sampai bisa ada di posisi ini. Oleh sebab itu aku tidak harus membuang-buang waktu lagi, saatnya untuk membuktikan kepada Papa bahwa aku bisa lulus sesuai dengan targetnya.

Ingatanku tentang masa-masa menjadi mahasiswa baru pun meluap saat melihat punggung lebar Mas Deka. Aku berlari mengejar langkah lebarnya yang kini menuruni anak tangga. Dia hanya melirik singkat saat aku berjalan di sisinya. Aku tidak tahu harus memulai dari mana obrolan yang sebenarnya sudah kusiapkan di balik batok kepala.

"Lo udah makan siang?" tanya Mas Deka yang membuatku agak lega. Akhirnya dia yang memulai obrolan.

"Udah. Tadi sebelum zuhur, sih. Kebetulan ketemu Mbak Erin dan diajak makan. Setelah itu dia pergi ke pusat riset buat ketemu dosbingnya."

"Terus sekarang lo mau ke mana? Balik?"

Rencananya setelah bertemu Pak Hamdan, aku memang ingin pulang. Tidur sebentar dan setelahnya mengerjakan hasil revisi. Namun, karena hari ini ada kabar baik proposalku telah di-acc dan Mas Deka sudah berbaik hati membantu, aku jadi berinisiatif untuk berterima kasih kepadanya.

Walaupun aku tidak meminta, tetapi Mas Deka telah membuat proposalku akhirnya disetujui oleh Pak Hamdan. Mungkin jika Mas Deka tidak membantuku, hanya proposalnya yang akan ditanda-tangani hari ini.

"Lo gimana? Udah makan?" Terkesan sok peduli banget dan aku merasa sangat ... sangat kikuk.

"Belum, tapi kalau mau balik, ya kita balik."

"Ya udah, ayo gue traktir! Itung-itung sebagai tanda terima kasih karena udah bantuin gue." Aku buru-buru melangkah sebelum Mas Deka protes, apalagi sejak tadi ia terlihat menatap heran ke arahku. Heh, ya ampun kenapa jadi canggung banget, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro