21. Kiara: Obrolan Bareng Jane

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Perasaanku sedikit lebih lega melihat Mas Deka beberapa hari ini selalu rajin ikut bimbingan. Semoga saja dia beneran serius dan tidak terkesan semangat di awal saja. Bu Nani juga sebenarnya tidak memberikan banyak perbaikan pada naskah kami. Namun, aku dan Mas Deka tetap rutin datang bimbingan sesuai dengan jadwal yang telah diberikan oleh Bu Nani.

Pagi ini pun demikian. Aku dan Mas Deka baru saja tiba di gedung fakultas. Walau sesekali disapa teman-temannya, Mas Deka tetap melanjutkan langkah untuk bimbingan. Bagaimana aku tidak merasa senang? Sepertinya aku harus menceritakan hal ini pada Mama Ira.

"Hm, Mas ... kenapa lo nggak ikut teman-teman lo? Kayaknya bakal seru rame-rame begitu," kataku sambil melihat gerombolan teman Mas Deka yang sudah berlalu dari hadapan kami. Ada Mas Arga juga dan sepertinya lelaki itu menangkap kedekatanku dan Mas Deka beberapa hari ini.

"Mang boleh?"

"Terserah lo, lah. Mereka temen-temen lo."

"Dengar, ya, Cil. Kalau nongkrong sama temen bisa kapan aja. Tapi, kalau bimbingan gini? Lagian ini lebih berfaedah dan demi kelulusan gue."

Aku mengekeh pelan mendengar penuturannya. "Lo nggak mau jadi donatur kampus terus, kan? Atau bisa-bisa kalau kelamaan lo ditendang dari sini."

"Nah, itu lo tau." Mas Deka meraih tas berisi stopmap milik kami. "Yuk!"

Aku melangkah bareng Mas Deka memasuki lift yang akan mengantarkan kami menuju lantai prodi manajemen. Sementara ruangan sempit itu bergerak, aku sesekali mengamati profil Mas Deka. Tingginya yang tidak main-main membuatku harus mendongak penuh.

Acapkali aku merasa kalau situasi ini sangat unreal. Tetangga masa kecilku malah menjadi orang yang menemani hidupku sekarang. Hidup di bawah satu atap yang sama dan terikat karena akad pernikahan. Kadang-kadang ketika aku berusaha memikirkannya lagi, semua terasa demikian lucu.

Orang yang tidak pernah aku harapkan sama sekali, justru kini malah menjadi seseorang yang selalu menyapa penglihatanku dua kali dua puluh empat jam. Bohong kalau aku cepat terbiasa, sekali waktu saat terbangun pagi hari, aku masih kaget karena Mas Deka yang terlelap di sisi kiri kasur. Baru sekian detik kemudian aku ingat kalau dia ternyata sudah sah menjadi suamiku. Kalau saat masih kecil dulu, aku mungkin tidak akan kaget karena faktanya Mas Deka sering ketiduran di rumah karena bermain dengan Mas Sadam.

Namun, sekarang sudah berbeda cerita. Kami beranjak dewasa dan sempat tidak akrab. Jauh berbeda dengan masa kecil kami. Makanya sampai detik ini aku masih sering kagok melihat Mas Deka setiap kali bangun tidur. Tidak cuma itu, Mas Deka sering pamer aurat membuatku istigfar berkali-kali. Kadang-kadang cuma pakai baju singlet doang, bikin aku geleng-geleng kepala. Pernah sekali dia bertelanjang dada keluar dari kamar mandi. Bagaimana aku tidak kaget?!

"Udah sah, jadi nggak usah sok kaget begitu." Dia berkomentar demikian kala itu dan aku pun mulai terbiasa kalau Mas Deka tertidur tanpa baju dengan alasan gerah.

Lamunanku terhenti saat kami tiba di ruang dosen. Karena sistem bimbingan Bu Nani adalah satu persatu, jadi Mas Deka membiarkan aku masuk duluan. Sementara dia menunggu di bangku panjang depan ruangan dosen.

"Awas kalau lo kabur!" Aku memperingatkan.

"Ya, enggaklah."

"Mana tau tergoda sama temen-temen lo dan berubah pikiran," kataku sembari menyiapkan beberapa berkas untuk dibawa menghadap Bu Nani. "Ingat, Mas. Ini demi kebaikan dan orang tua lo."

"Iyeee, gue paham, Cil. Gih, sana masuk! Jangan bikin Bu Nani menunggu."

Aku segera bergegas dan meninggalkan Mas Deka yang duduk sendirian di sana. Syukurlah Bu Nani juga terlihat sedang sendiri di ruangan tersebut. Sedangkan dosen yang lain mungkin memiliki kesibukan tersendiri. Jadi, suasana hening dalam ruangan tersebut terasa amat nyata.

-oOo-

"Gue mau ke kamar mandi bentar. Tunggu di sini, Mas," ucapku setelah sesi bimbingan kami kelar.

Syukurlah Mas Deka tidak perlu melakukan banyak revisi. Begitu pula denganku. Namun, proposal kami masih belum di-acc. Aku melangkah ke arah kamar mandi, meninggalkan Mas Deka yang sibuk dengan ponsel.

Tiba di sana, aku terkesiap kaget karena melihat Jane. Untuk apa dia datang ke sini? Sudah seperti mahasiswa prodi manajemen saja. Ia tersenyum ramah menyapaku yang bergerak ke arah wastafel. Jane melirikku sesaat, lalu bersedekap.

"Ada apa, ya?" tanya gue karena merasa terganggu dengan aksinya yang tengah mengamati.

"Gue cuma penasaran aja, Kiara. Gimana rasanya tinggal sama orang yang nggak lo suka?"

"Maaf, tapi lo ada keperluan apa di sini? Kayaknya gue sering banget lihat lo berkeliaran di FEB. Apa lo nggak ada kegiatan di fakultas lo, ya?"

Oh! Aku tidak akan lupa ini. Kemarin aku juga melihat Jane di kantin bersama Mas Deka. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, Jane sampai segitunya pakai pegang-pegang segala. Tidak! Aku bukannya cemburu, tetapi mengapa Jane selalu muncul dan takutnya bisa merusak fokus Mas Deka buat menyelesaikan TA-nya.

Pertanyaanku hanya dibalas senyum tipis oleh perempuan yang katanya punya darah blasteran ini. Iya, dia memang cantik dengan hidung kecil nan mancung, alis rapi, pipi tirus nan mulus, dan paling penting iris matanya yang agak berbeda dengan kami yang asli Indonesia tulen.

Spek artis hollywood begini tipenya Mas Deka? Gila tuh orang.

"Santai aja, Ki. Gue ke sini bukan buat ketemu Deka, kok. Tapi memang ada janjian dengan temen lain." Jane mengekeh selama beberapa saat sambil kembali mencuci tangan di wastafel. "Jangan marah, dong. Gue sama Deka nggak sejauh apa yang lo pikirkan, kok."

"Itu urusan lo sama Mas Deka. Kalian mau ini, kek. Mau itu, kek. Terserah. Apa peduli gue?"

Jane mengibaskan tangannya yang basah dan meraih tisu untuk mengelap permukaan jemari-jemari lentik tersebut. "Oh ya, bener. Lo kan nggak suka Deka, ya? Ya udahlah, kalau udah ada kejelasan dari lo kayak gini. Jadi, gue nggak perlu merasa bersalah jalan sama laki orang."

Mendengar ucapannya membuatku tidak habis pikir. Ternyata memang Jane juga masih mengharapkan Mas Deka. Kalau begitu, mengapa mereka nggak balikan saja? Toh, aku juga tidak mempermasalahkan karena memang bukan urusanku. Hanya saja, Mas Deka saat ini sedang fokus pada tugas akhir dan aku tidak mau fokusnya terganggu.

Kalau nanti dia balikan sama Jane, yang ada Mas Deka sibuk pacaran melulu. Tugas akhirnya bisa saja terbengkalai saking asik malam mingguan tiap akhir pekan.

"Tapi, lo bisa nggak ... nggak usah ganggu Mas Deka dulu buat sementara waktu? Lo tahu sendiri dia lagi sibuk sama skripsinya. Mas Deka nggak mungkin mau terus-terusan di kampus dan nggak lulus-lulus," cetusku.

Raut wajah Jane tampak memperlihatkan ketidaksukaan. "Eh, Deka nggak pernah merasa terganggu dengan kehadiran gue. Jadi, lo nggak usah sok tau, ya. Satu lagi ... gue lebih kenal Deka dari lo. Kita pacaran aja lama, dua tahun! Ketimbang lo yang baru jadi istrinya. Itu pun karena terpaksa."

Lah! Dia malah nyolot, terganggu dengan ucapanku barusan. Dua tahu katanya? Apa kabar aku yang sudah mengenal Mas Deka dari kecil? Ya, walaupun tidak terlalu akrab juga, sih.

"Lo tahu Mas Deka udah semester berapa sekarang? Sebelas. Jadi, jangan nambah-nambahin semester lagi. Lo memang merasa nggak mengganggu dia, tapi tanpa sadar lo udah bikin kegiatan dia terhambat." Aku mengingat bagaimana Mas Deka memilih pergi dengan Jane dan melupakan janjinya untuk mengerjakan tugas.

Jane menyeringai dan tangannya masih betah bersedekap lagi. "Lo ... sekarang udah suka sama Deka, ya? Sampai mengatur Deka segala? Asal lo tau, ya ... buat Deka lo itu cuma adik."

Penuturan Jane membuatku sedikit terkesiap, tetapi buru-buru aku menyembunyikannya. Mau bagaimana pun Mas Deka menganggap kehadiranku di rumahnya, aku tidak peduli ... seharusnya. Setelah mengatakan kalimat itu, Jane hanya tersenyum remeh dan keluar dari sana.

Kini aku yakin, Jane benar-benar kurang kerjaan. Mampir ke FEB cuma buat mengatakan hal-hal tadi kepadaku. Setelah Jane keluar, aku ikut menyusul. Bersegera menghampiri Mas Deka yang masih duduk di depan ruangan dosen.

"Ya Allah, Nyai ... gue kira lo semaput di kamar mandi. Lama bener. Ngapain aja lo?"

"Cuma cuci tangan."

Mas Deka menggeleng sesaat. "Cuci tangan sambil ngelamun lo, ya?"

"Udahlah, Mas. Ayo, balik!"

Kedua alis Mas Deka bertaut heran. Kendati demikian ia berjalan di sisiku. "Bukannya tadi mau makan siang dulu?"

"Di rumah aja, biar hemat." Mood-ku tiba-tiba merosot jatuh menyentuh angka paling rendah.

Di tengah perjalanan menuju lantai bawah, Mas Deka berkata, "Ki, entar malem gue izin, ya. Mau antar motor Rega. Mungkin pulangnya agak malam. Biasalah, ngobrol dulu bentar."

"Ya, terserah lo aja, Mas."

hi, onders!
Jane udah mulai jadi uler, nih😅

Ikutin terus kisah mereka, ya~
Thak you😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro