22. Deka: Dinner Mantan Camer

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sebenarnya ketika gue berkata ingin ke tempat Rega untuk mengantar motor, itu tidak sepenuhnya benar. Gue berniat untuk memenuhi undangan dari mamanya Jane. Namun, karena akhir-akhir ini Kiara lagi sensitif banget mendengar nama Jane disebut, gue terpaksa berbohong. Bisa saja gue pergi tanpa meminta izin darinya, tetapi pikiran waras gue masih mengingat bagaimana Kiara meminta izin untuk pergi ke acara launching coffee shop Arga.

Petang beranjak dan azan Magrib baru saja mengudara. Gue sudah kelar mandi dan menyelesaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Berangkat ke tempat Jane lebih awal akan membuat gue pulang cepat, jadi tanpa ingin membuang waktu lagi, gue segera bersiap-siap.

"Lo jadi pergi ke tempat Mas Rega?"

Suara si Jelmaan Dora membuat gue memutar tumit. Aroma parfum black opium memenuhi rongga hidung tatkala gue menyemprotkannya beberapa kali. Terlihat Kiara batuk-batuk sambil mengibaskan tangan. Perempuan berponi tipis sudah berdiri sambil bersandar di daun pintu.

"Jadi, lah."

"Rapi bener. Padahal bengkel Mas Rega nggak jauh juga dari sini, loh. Penampilan lo udah kayak mau ngapel aja."

Gue mengekeh, tetapi nyeri merambat dalam dada. Betul sekali, Adik-adik. Ini bukan semata gue pengin ke tempat Rega saha. Kiara pintar banget curiganya. Gue bingung apakah harus salut atau takut.

Dengan cuek gue melangkah mencari kemeja flanel di lemari. Pasti Kiara lagi mengamati cara gue mengambil baju. Dengan hati-hati, sesuai prosedur yang sering dijelaskan, gue mengambil baju dengan cara diangkat, bukan ditarik. Ogah mendengar Kiara mengomel terus-menerus.

"Lo beneran mau ke tempat Mas Rega, kan?"

Gue yang tengah membenarkan lengan kemeja flanel pun mengangguk takzim. Kaus putih yang bersembunyi di balik kemeja kembali gue semprotkan parfum. Dari sudut ekor mata, bisa gue lihat tatapan Kiara yang penuh praduga.

Iseng, gue mendekat, mengikis jarak antara kami sampai Kiara mengerjap kaget. Benturan tangan gue dan daun pintu membuatnya makin tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Dari jarak yang sangat dekat, gue bisa melihat mara Kiara yang membulat sempurna.

"Lo mau ngapain?" Terdengar panik nan ketus.

"Udah mulai curiga sama gue, ya, sekarang? Takut gue kelayapan cari cewek lain?".

Dengan sekuat tenaga, cewek boncel ini malah mendorong dada gue sampai jarak kami tidak sedekat tadi. "Jangan sembarang lo, ya! Kalau mau pergi, pergi aja sana. Ngapain gue harus takut segala? Eh, Mas dengar ya, gue nggak peduli lo mau ke rumah siapa pun atau cewek mana pun! Mau ke rumah Jane juga gue nggak peduli!"

"Padahal gue nggak ada nyebut Jane, dah. Lo akhir-akhir ini selalu bawa nama Jane. Sensitif amat kalau gue bahas Jane. Cemburu lo, ya?"

"Nggak!" Kiara berseru tak suka. Mukanya ditekuk parah dan berdecap sebelum melangkah meninggalkan gue ke ruang belajar.

Enggak cemburu katanya, tetapi tingkahnya bikin gue gemas. Untuk alasan apa Kiara harus cemburu? Astaga! Gue seharusnya enggak berpikir sejauh itu.

Enggan membuang waktu lagi, gue bergegas keluar dari rumah. Sejujurnya, gue enggak mau menerima tawaran Jane, dengan dalih mamanya yang mengundang, tetapi karena merasa enggak enak dan sudah dekat banget sama mamanya Jane, jadi terpaksa gue harus pergi ke sana.

Rumah Jane pun tidak jauh dari sini. Masih di bilangan Kemang. Jadi, gue enggak perlu berkendara terlalu jauh dan enggak akan takut pulang kemalaman.

Sekitar sepuluh menit kemudian, gue tiba di halaman rumah minimalis bercat cokelat yang tidak lain adalah rumah Jane. Perumahan sangat sepi dan satu-satunya yang menyambut gue adalah cewek berambut agak pirang-Jane. Penampilannya yang terlihat natural dengan polesan make up tipis, lagi-lagi membuat gue berdesir. Auh! Jane memang selalu cantik.

"Ka, ayo masuk! Mama udah nunggu di dalam. Motornya bawa masuk juga," kata Jane sambil mendorong gerbang, demi memberikan akses masuk buat gue.

Motor Rega terparkir di halaman depan saat gue turun dan melangkah mengikuti Jane memasuki rumah. Padahal ini bukan pertama kali gue datang ke rumah Jane, tetapi rasa canggung dan degdegan masih terasa. Tante Marcella-mamanya Jane-sudah menunggu di meja makan.

Seulas senyum terlihat dari bibirnya yang pucat. Raut wajah Tante Marcella tidak jauh berbeda dari terakhir kali gue lihat di rumah sakit. Masih tampak lelah.

"Apa kabar, Ka? Lama nggak ketemu."

Gue menyalami tangan Tante Marcella. "Baik, Tante. Alhamdulillah. Tante gimana? Udah mendingan?"

Wanita berambut serupa Jane-sedikit pirang-tersebut mengangguk lemah di kursinya. "Berkat kamu yang sering bantu Jane, Tante jadi bisa keluar cepat dari rumah sakit. Duduk, Ka. Kita dinner bareng. Kamu belum makan, kan?"

Anggukan canggung dari gue menjawab pertanyaan Tante Marcella. Gue duduk di sisi kanan Jane dan memandang meja makan yang sudah dipenuhi lauk-pauk. Sejak pulang dari kampus, gue memang belum makan lagi dan tadi Kiara juga enggak memasak. Baiklah, rejeki enggak boleh ditolak.

"Oh ya, Ka. Tante senang hubunganmu dan Jane bisa bertahan sejauh ini. Kami di sini pendatang dan sejak papanya Jane meninggal, kami nggak tahu harus meminta bantuan siapa. Keluarga papanya Jane nggak ada yang tinggal di Jakarta. Tante harap kelak kamu dan Jane bisa melangkah ke arah yang lebih serius."

Gue hampir tersedak bulir-bulir nasi yang baru saja lolos dari tenggorokan. Serius katanya? Gue memandang Jane dengan penuh tanda tanya. Apa dia enggak cerita ke mamanya tentang hubungan kami yang telah kandas?

"Tante, sebenarnya ...."

"Ma," potong Jane, "jangan bahas itu dulu. Deka harus makan, dia pasti lapar."

"Maaf, Ka. Silakan lanjutkan makannya."

Sementara gue mengunyah dalam diam, pikiran tetap tidak bisa tenang. Mengapa Tante Marcella bisa berkata demikian? Saat gue dan putrinya jelas-jelas sudah berakhir.

-oOo-

"Kenapa kamu nggak bilang ke Tante Marcella tentang hubungan kita?" Gue langsung menuding Jane tatkala mengantar keluar dari rumahnya.

"Aku mau bilang, Ka. Tapi, waktu itu Mama lagi sakit parah. Aku nggak mau kondisi Mama makin down karena kabar itu."

Sambil mengenakan helm, gue menghela napas sebentar. "Tapi, kalau kayak gini ... Tante Marcella bakal tetap salah paham. Ingat, aku udah menikah Jane. Nggak mungkin aku bisa mewujudkan keinginan mama kamu."

"Tapi, kamu nggak suka sama Kiara, kan? Kamu sendiri yang bilang, kalau aku nggak perlu khawatir dan kamu udah menganggap Kiara sebagai adikmu sendiri."

Salah gue sebenarnya terkesan memberikan Jane harapan lewat kata-kata itu. Masalahnya, hari itu gue masih belum memikirkan hubungan gue dan Kiara yang enggak main-main. Kini gue merasa sedikit munafik. Gue sendiri yang bilang enggak mau mempermainkan hal suci seperti pernikahan, justru sekarang gue yang masih sering berhubungan dengan Jane.

Andaikata hubungan gue dan Kiara berlandaskan rasa cinta, mungkin gue dan Kiara sudah berdebat besar perkara orang di masa lalu.

"Terlepas dari bagaimana aku mengganggap Kiara. Suka atau nggak, tapi Kiara istriku, Jane. Aku menghargai dan menghormati dia sebagaimana sikap dia ke aku."

"Kiara juga nggak suka sama kamu, Ka! Buat apa kalian melanjutkannya?"

Gue memijat pangkal hidung sesaat. Mengalihkan topik pembicaraan adalah hal yang paling tepat untuk lepas dari pembicaraan ini. Gue nggak mau berdebat panjang dengan Jane.

"Udahlah, pokoknya kamu segera beri tau Tante Marcella tentang hubungan kita yang udah berakhir. Kalau kamu nggak mau ngasih tau, biar aku yang bilang sendiri."

"Kamu tega banget sih, Ka?"

"Aku nggak tega, Jane. Tapi, ini demi kebaikan kita. Aku nggak mau Tante Marcella terus-terusan berharap. Bukankah beliau tau lebih cepat, lebih baik?"

Gadis berkulit putih di hadapan gue langsung terdiam selama beberapa saat. Sementara gue sudah mulai menyalakan motor untuk segera mangkir dari sana. Sesaat setelahnya, gue berpamitan membawa motor Rega menjauh dari hadapan Jane.

Gue berkendara pun enggak lama. Menelusuri jalanan ibu kota yang agak macet. Kini tujuan gue adalah bengkel Rega untuk menjemput motor yang beberapa hari lalu diperbaiki di sana.

Tiba di bengkel Rega, gue melihat sosok yang enggak asing. Arga. Tumben sekali dia mampir ke sana, begitu gue mendekat dan mematikan mesin motor, Arga menyambut dengan satu senyuman ramah. Gue turun dari motor dan duduk di samping Arga, tepat di bangku kayu panjang yang tersedia.

"Ada apa, Ga? Tumben lo ke sini."

"Mau ngajak lo sama Rega buat dateng ke acara launching coffee shop."

Oh, rupanya dia masih ingat gue dan Rega adalah temannya. Bukan hanya ingat Kiara doang.

"Kapan?" Gue basa-basi, padahal sudah tahu dari Kiara.

"Minggu ini. Lo dateng, ya. Sekalian ajak si Kiara, dia kan tetangga lo. Gue udah undang, sih, cuma ragu dia bakal dateng." Arga tiba-tiba merangkul pundak gue bersahabat. "Ka, minta tolong bantu gue pedekate sama Kiara, dong. Kayaknya Kiara susah banget didekati."

Gila ini orang!


Hi, oneders!

Kira-kira Deka bakal mau bantu Arga apa engga, ya??? Ikuti terus kelanjutannya~

Thak you😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro