25. Kiara: Tawaran Mas Arga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Katakan, bagaimana perasaan kecewa tidak menyergap dadaku ketika perbuatan Mas Deka membuat hubungan kami terungkap? Sungguh, aku belum terima sepenuhnya jika banyak orang tahu-apalagi teman-temanku-tentang hubungan kami. Apa kata orang-orang kalau di usiaku yang masih muda, justru harus menjadi seorang istri? Apalagi istri dari seorang Mahardika Sadajiwa, satu nama yang aku yakin pasti dikenal banyak orang di prodi. Bagaimana kalau hal ini sampai terdengar oleh dosen juga? Astaga! Bagaimana kalau itu Bu Nani dan Pak Hamdan?!

Sudah berapa menit aku duduk termenung di depan kaca rias. Memandang lesu wajahku sendiri. Suara detak jam beker di atas meja menjadi satu-satunya suara yang membalas debas napas. Silir angin terbang membelai kulit lewat celah-celah kusen dan aku hanya bisa pasrah melawan sakit hati akibat tindakan Mas Deka. Dia berkhianat, berjanji akan menjamin Jane bisa menjaga rahasia, lalu apa sekarang? Aku benar-benar tidak habis pikir.

Biasanya aku tidak akan peduli kapan pun Mas Deka akan kembali. Namun, kali ini ketidakhadirannya mengusikku diam-diam. Aku melirik jarum jam dan sudah pukul sepuluh malam. Apa dia tidak ingat rumah? Tidak ingat akan revisi-revisinya?

"Udahlah, Ki. Apa peduli lo ke dia? Dia aja ingkar janji dan bikin lo kecewa. Stop mikirin Mas Deka yang belum tentu memikirkan lo juga!" Aku memperingati pantulan wajahku sendiri di depan cermin.

Baru saja dipikirkan, suara ribut kendaraan roda dua terdengar dari arah luar. Mas Deka! Aku bergegas ke arah kasur dan memilih untuk berpura-pura tertidur. Muak kalau sampai harus mendengar penjelasan atau maafnya. Kali ini dia sudah sangat keterlaluan.

Detik-detik berikutnya terlewat dan detak jantungku mendadak berpacu lebih kuat. Padahal seharusnya aku merasa biasa saja. Mengingat aku sedang marah atas kelakuannya. Suara pintu yang terbuka membuatku berpura-pura memejam dan langkah kaki Mas Deka terdengar mendekat. Ya ampun, jangan ... jangan ajak aku bicara sekarang, deh!

"Ki, maaf baru balik. Tadi abis ke kos Jane, buat tanya ke dia tentang gosip di prodi. Tapi, Jane nggak mau ngaku. Dia bilang nggak pernah ngomong ke siapa pun." Suara Mas Deka tertahan sesaat. Helaan napas mengudara dan aku masih tetap berusaha berakting dengan pura-pura tertidur. "Gue kenal Jane dan gue rasa dia nggak bohong."

Cih, dasar bucin goblok!

Aroma parfum Mas Deka sudah tidak tercium lagi. Black opium yang sempat menyergap indra pembau kini sudah menghilang dan aku memberanikan diri membuka mata sedikit. Mas Deka sudah menjauh ke arah tumpukan pakaian kotor di keranjang plastik. Lelaki tinggi itu membuka penutup tubuh bagian atasnya. Sialan! Aku segera memejam lagi. Sudah cukup rasanya melihat aurat Mas Deka selama beberapa kali. Aku tidak mau melihatnya lagi.

Sepeninggal Mas Deka ke kamar mandi, aku langsung menghela napas lega. Memikirkan ucapan Mas Deka tadi, aku bangkit dan bersandar pada tembok. Ternyata Mas Deka demikian percaya pada Jane. Apa dia sungguh mencintai Jane? Sampai-sampai tidak mau menaruh curiga padanya? Tidak percaya bahwa ini adalah ulah wanita licik itu?

"Apa harus gue yang menemui Jane?" Aku bergumam sebentar.

Meskipun menemui Jane atau tidak, tetap saja tidak akan ada yang berubah. Semua orang sudah kepalang mempercayai informasi yang ada. Ke depannya aku harus lebih siap bukan? Untuk menghadapi semua yang telah diperbuat oleh Mas Deka. Walaupun aku benar-benar tidak siap. Apalagi kalau sampai Mbak Erin yang banyak mengeluarkan pertanyaan. Aduh, malasnya!

Aku mungkin harus menerima apa yang sudah terjadi, tetapi rasa kesalku terhadap Mas Deka benar-benar tidak bisa surut. Seenaknya membeberkan status kami pada Jane. Lalu, sekarang? Gila! Semuanya menyebar begitu saja.


-oOo-

"Bentar ... gue masih nggak percaya kalau lo ini istrinya Bang Deka. Jadi, selama ini lo bimbingan sama suami lo sendiri, Ki? Benar, kan? Penglihatan gue nggak salah! Cincin lo sama kayak punya Mas Deka. Itu sepasang, kan? Cincin pernikahan!"

Harusnya aku tidak mengiakan keinginan Mbak Erin yang memintaku menunggunya. Hari ini Mbak Erin bertandang ke kampus untuk bertemu dosbing-nya. Kebetulan pula datang ke perpustakaan karena bosan di rumah. Aku pun memilih ke perpustakaan untuk mengerjakan revisi.

Padahal ini adalah bentuk usahaku menjauh dari Mas Deka. Sejak pagi Mas Deka terus mengulang penjelasannya tentang Jane. Mengumbar rasa percayanya terhadap sang mantan kekasih dan aku muak mendengar hal itu. Apa Mas Deka sudah terlalu buta akan cinta sampai-sampai tidak menyadari kelicikan Jane? Kalau bukan wanita itu, siapa lagi? Mengingat Jane masih sangat mengharapkan Mas Deka kembali padanya. Padahal aku dengan senang hati kalau pun dia ingin kembali dengan lelaki tersebut. Bukankah aku hanya meminta tidak usah mengganggu Mas Deka sementara waktu?

"Kiara? Kok, malah bengong? Jelasin ke gue pelan-pelan," tegur Mbak Erin.

Ucapannya tetap aku abaikan sepanjang jalan keluar perpustakaan. Malas sekali kalau harus mengungkit semuanya dari awal. Apalagi sejak kabar itu menyebar, teman-teman kelasku beramai-ramai mengirim pesan dan menanyakan kebenaran tersebut di grup obrolan WhatsApp. Kini secara terang-terangan Mbak Erin malah bertingkah serupa awak media yang tengah memburu seorang aktris kontroversial.

"Kiara, jangan diem aja, dong? Kalian udah lama pacarannya? Sampai-sampai memilih menikah muda segala?"

"Mbak ...," cetusku seraya menahan langkah kaki. Mbak Erin mengangguk-angguk sesaat. "Ceritanya panjang dan gue nggak pernah pacaran sama Mas Deka. Dia itu tetangga gue, udah gitu aja."

"Tapi, bisa menikah gitu, ya? Kalau dibikin FTV, kayaknya bakal cocok pakai judul ... Suamiku, Tetanggaku."

"Apaan, deh!" Aku melirik ketus Mbak Erin yang langsung tergelak akibat ucapannya sendiri. Setitik cairan terjatuh di permukaan lengan bajuku. Aku mengangkat tangan dan merasakan rintik hujan makin banyak. "Mbak, astaga! Aku duluan, ya. Nanti nggak dapet angkot."

Tanpa membiarkan Mbak Erin membalas, aku buru-buru berlari keluar dari area kampus. Syukurlah hujan mulai turun saat aku tiba di emperan pertokoan depan kampus. Hujan membasahi kemeja cokelat yang aku kenakan sore ini dan melihat hujan yang makin deras membuatku pasrah. Ya, pasrah menunggu sampai reda.

Dua menit setelah sibuk menyeka air hujan yang sempat menjejak di dahiku, terlihat sebuah Honda Brio berhenti di depanku. Si pengemudi turun dari sana sambil melindungi kepalanya dengan jaket jins. Aku mendongak sesaat tatkala sepasang mata itu ikut menatap. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas dan senyuman tidak hilang dari sana selama beberapa detik ke depan.

"Ngapain di sini, Mas?"

"Mau menawarkan tumpangan."

"Nggak usah. Gue tunggu hujannya reda aja."

Mas Arga malah tidak menggubris dan menepuk jaketnya yang basah akibat air hujan. Selama beberapa saat dia berdiri di sana, persis seperti apa yang aku lakukan. Tindakannya membuat alisku menukik tajam. Apa yang dia inginkan, sih?

Mungkin Mas Arga sadar dengan raut heranku, sehingga lelaki berambut agak gondrong itu mengekeh kecil. "Ayo, mau nggak? Ini bentar lagi Magrib, loh. Mana hujannya kelihatan bakal awet."

"Terima kasih, Mas. Tapi, gue bisa pulang sendiri."

"Lo memang susah banget didekati, ya. Gue hampir mau menyerah, tapi kayaknya nggak bakal tenang kalau menyerah begitu aja," ungkapnya.

Justru aku heran mengapa dia berkata demikian? Kabar tentang hubunganku dengan Mas Deka pasti sudah tersiar dari mulut satu ke mulut lainnya. Bukan tidak mungkin jika Mas Arga juga mengetahui itu.

"Mas, maaf tapi gue ...."

"Udah menikah sama Deka?" Dia memotong kalimatku. Benar, kan? Mas Arga pasti sudah mendengarnya. "Gue justru nggak peduli, Ki. Kalau lo sama Deka menikah tanpa rasa cinta, buat apa gue menyerah?"

"Tapi, tetap aja Mas ... gue ini ...," kataku seraya menelan saliva kuat-kuat, "istrinya Mas Deka."

"Lo bakal tetap mikir begitu, walaupun tau Deka masih berhubungan sama Jane?"

Seharusnya aku tidak masalah. Toh, benar. Aku tidak memiliki perasaan apa pun pada Mas Deka. Sejauh ini aku bertahan pun karena rasa patuh terhadap orang tua. Namun, pertanyaan Mas Arga justru menggangguku. Apa kehadiranku akan menyulitkan hubungan Mas Deka dan Jane? Bagaimana kalau memang mereka benar-benar ingin bersama?

"Ki, yang realistis aja. Kalian menikah tanpa cinta, lantas apa Deka bakal betah juga? Tubuh dia mungkin di sana, tapi hatinya ada di tempat lain, Ki."

"Dari mana lo tau gue dan Mas Deka menikah tanpa rasa cinta?"

"Deka sendiri yang bilang."

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat karena kini Mas Deka juga membeberkannya pada Mas Arga? Apa yang dia inginkan sebenarnya, sih? Aku diam sepersekian detik untuk menata amarahku. Mas Arga malah kembali bersuara.

"Ayo, gue antar pulang. Mau, ya?"

Aku mengangguk takzim. "Tapi, antar sampai rumah Papa Malik, ya."


Hi, Oneders!

Ada yang kangen Deka n Kiara? Maaf, ya. Aku sempat bolos update karena lagi hetic banget di rl😔 malam ini agak senggang, jadi curi waktu untuk update~

Thank you😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro