26. Deka: Kiara Ke Mana?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sudah setengah jam gue duduk termenung di bangku panjang bengkel Rega. Menghitung setiap tetes bunyi hujan yang menerpa kanopi bangunan ini. Sia-sia. Itu hanya perbuatan gabut di saat pikiran gue tidak kunjung jernih. Gue terduduk di sana juga bukan sekadar pengin saja, tetapi untuk merenungi kesalahan yang sudah gue perbuat. Namun, mengingat Jane tetap kukuh enggak mau mengaku, lantas harus bagaimana?

Gue tiba-tiba merasa takut buat pulang. Betapa pengecutnya karena merasa enggak sanggup buat ketemu Kiara. Sikap Kiara yang demikian dingin membuat gue merasa canggung buat ketemu lagi. Gawatnya, kami satu rumah, coy! Ini kalau gue pulang sekarang, bisa mati gregetan gue kena silent treatment. Maka dari itulah gue melipir ke tempat Rega sejak siang tadi. Berusaha membantu Rega yang tengah membongkar mesin Vespa PXE2 milik klien yang sempat bermasalah di tempat sebelumnya. Gara-gara kekeliruan masalah packing oli yang menggunakan packing untuk vespa super.

Mau enggak mau, gue ikut turun tangan membantu Rega. Selain karena sedang gabut, gue juga melakukan itu demi menghilangkan pikiran yang lagi penuh. Wajah Jane dan Kiara terus berkelebat dalam benak dan itu jelas-jelas menggangu fokus. Bisa enggak, gue menghilang saja sehari dari peradaban? Sayangnya, terdengar mustahil. Tadi pagi padahal gue sangat optimis bakal bisa melewati kekacauan ini, tetapi enggak ... tatkala teman-teman rese dan beberapa adik tingkat yang gue kenal malah tanya-tanya seenaknya tentang kabar yang beredar. Alhasil gue terpaksa senyum lebar sepanjang waktu jika ada yang bertanya. Sampai pegal ini bibir, asli.

"Ngelamun bae lo." Suara itu membuat gue menoleh dan menemukan Rega yang datang membawa dua gelas alumunium berisi kopi hangat.

Mantaplah hujan-hujan begini ngopi.

"Eh, Ka ... bukannya Radi ngajak lo balik kerja lagi di RadiOcafe?"

"Iya, tapi gue lagi mikir, nih. Akhir-akhir ini lagi ribet masalah skripsi."

Rega menyeruput kopi panas dengan hati-hati. Tangannya yang sudah agak bersih dari jejak oli pun mencomot pisang goreng yang juga dibawanya tadi. Sementara gue sibuk melamun, sampai kapan gue mau tetap di sini dan menghindar dari Si Bocil?

"Gue perhatikan dari tadi, lo ngelamun aja, Ka. Masalah apa lagi selain skripsi?"

"Nggak ada, sih. Gue cuma lagi kepikiran Jane aja."

"Kalau masih suka, ya ajak balikan. Lagian gue masih nggak ngerti kenapa kalian putus. Kalian baik-baik aja selama ini, kan?"

Gue tersenyum pahit kalau harus mengingat sebab-musabab gue dan Jane akhirnya kandas. Kalau diingat-ingat, nyesek juga. Cuma seiring berjalan waktu, gue mulai paham akan keadaan. Sadar bahwa tembok tinggi di antara gue dan Jane enggak bisa dipaksakan. Kami berakhir pun atas keputusan bersama. Sepakat untuk tidak melangkah lebih jauh karena sama-sama tidak ingin mengalah.

Hubungan kami enggak akan bisa bertahan di sana-sana saja. Apalagi saat usia sudah mulai beranjak pada tahap tidak lagi 'bermain-main' dengan pacaran, kami butuh sesuatu yang lebih serius kelak. Sayangnya, dalam ajaran agama yang gue anut, pernikahan berbeda keyakinan itu tidak diperbolehkan. Jadi, buat apa? Kalau tetap tidak ada yang mau mengalah, tetapi menjalin hubungan dengan status berpacaran pun harus bertahan sampai kapan? Akhir yang baik untuk kami hanyalah, perpisahan.

Nyesek-nya masih berasa sampai sekarang.

"Ya, nggak usah kayak orang bego, deh. Jane ibadahnya ke mana, gue ibadahnya ke mana?" Gue membakar sigaret untuk yang kedua kalinya.

Rega hanya mengangguk takzim dan kembali menikmati kopi panasnya. Seusai itu, tidak ada pembicaraan lagi. Membuat ingatan gue lagi-lagi berkelana tentang Jane. Kali ini pada kejadian kemarin. Saat gue datang ke indekosnya, ternyata Jane tidak ada di sana. Salah gue sendiri, mengingat mamanya masih sakit, jadi sudah dipastikan gadis bule itu ada di sana.

Gue pun menemui Jane menuju kediaman mereka. Syukurlah gadis itu yang menyambut dengan hangat. Bisa barabe urusan kalau mamanya yang menerima kedatangan gue, pasti bakal lain cerita. Gue tanpa berbasa-basi menjelaskan apa yang terjadi. Kalimat yang terkesan menuduh membuat Jane sedikit tidak suka. Sampai puncaknya, Jane naik pitam karena gue mendesak dia buat mengaku.

"Aku nggak akan marah kalau kamu ngaku. Jadi, katakan yang sejujurnya, Jane."

"Nggak percaya sama aku? Astaga, Deka! Kita sudah saling mengenal berapa tahun, sih? Buat apa aku bohong sementara aku udah janji ke kamu? Aku nggak akan melanggar janjiku."

Sebenarnya gue kenal bagaimana Jane selama ini. Kalau dia sudah kukuh dengan jawabannya, maka Jane pasti tidak berbohong. Sayang sekali, di sisi lain cuma Jane yang tahu tentang hubungan gue dan Kiara. Ya Allah, apa lagi sih ini?

"Apa Kiara yang bilang kalau aku orangnya? Yang membeberkan rahasia kalian?" Jane tidak mau menyelesaikan pembicaraan semalam. Padahal gue sudah siap-siap beranjak untuk pulang. "Kamu lebih percaya sama Kiara gitu, dibanding sama aku? Nggak habis pikir."

"Apa, sih, Jane? Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Kalau bukan kamu, ya sudah. Aku balik dulu."

Ini satu kesalahan fatal yang gue lakukan. Seharusnya ketika hubungan kami berakhir, gue berhenti lagi berurusan dengannya. Bukan terkesan dekat dan seakan-akan memupuk harapan kembali, akan sebuah kejelasan pada hubungan kami yang berakhir. Kalau begini, buat apa putus?

"Ka, jangan beginilah." Jane mendekat dan menahan lengan gue yang hendak menghampiri motor. "Aku tau, kamu nggak percaya sama aku, kan?"

"Nggak usah dibahas lagi. Nanti aku yang ngomong ke Kiara."

Jane terdiam selama beberapa saat, memandang gue yang malam itu tengah mengenakan helm. Perempuan berambut sedikit pirang mulai mendekat lagi, lalu melingkarkan tangannya di pinggang gue. Sebuah pelukan yang bikin gue kaget setengah mampus. Pikiran gue berkelana ke mana-mana. Masa pacaran kami, lalu berakhir pada hari di mana gue dan Kiara akad, duduk di depan penghulu. Astaga! Apa yang gue lakukan? Dosa, Deka! Dosa!

"Jane ... Jane?" Gue menepuk tangannya biar dia buru-buru sadar. Syukurlah Jane menarik dirinya dari tubuh gue. "Aku balik dulu, ya. Gih, temui Mama kamu."

"Kamu nggak marah kan, Ka?"

"Nggak, aku aja yang urus. Makasih atas waktu kamu."

-oOo-

"Tumben jam segini lampu udah pada mati." Gue bergegas menghidupkan lampu penerang di depan rumah. Masalahnya, rumah benar-benar gelap.

Sependek ingatan gue, Kiara enggak mungkin sudah tidur jam segini. Apa mungkin ini efek dari aksi mogok bicaranya? Demi menuntaskan rasa penasaran, gue bergegas ke membuka pintu dengan kunci rumah yang kami pegang masing-masing. Keadaan di dalam sana benar-benar pekat oleh kegelapan. Seakan-akan kegelapan itu akan menelan gue jika melangkah lebih jauh.

Ruang tengah langsung terang tatkala gue meraih sakelar. Enggak ada tanda-tanda kehidupan. Suasana rumah masih sedingin kemarin. Walau penghuninya sibuk di luar, tetapi rumah tetap rapi karena ulah Kiara. Gue mempercepat langkah ke arah ruang belajar, Si Bocil enggak ada di sana. Tumpukan buku sebagai literatur yang sengaja dibelinya pun teronggok rapi di atas meja. Enggak tampak seperti pernah tersentuh.

Nihil. Gue bergerak ke kamar. Mungkin tidur lebih awal akan membuat Kiara lebih tenang dari rasa kesalnya. Sama seperti apa yang kutemukan di ruang belajar, kamar kami pun sama. Atmosfer dingin begitu kontras seiring dengan belaian tarian angin malam yang menyapu gorden. Gue duduk di sisi ranjang, termenung sesaat karena memikirkan Kiara.

"Deka, kamu udah pulang? Ayo, makan malam dulu!"

Suara Mama Ira. Gue bergegas keluar dan menemukan Mama entah kapan sudah ada di dapur. Tengah memindahkan lauk-pauk yang dibawanya. Dengan langkah gontai, gue mendekati Mama, memamerkan ekspresi lesu yang langsung menghadirkan kernyit samar.

"Jadi, benar kamu ada masala sama Kiara?"

Wah, sejak kapan Mama bisa punya kekuatan super? Emak-emak jaman sekarang, kok, peka banget, ya?

"Bukannya Mama sok tahu, ya, Ka. Mama juga sebenarnya nggak mau ikut campur urusan rumah tangga kamu."

"Kenapa? Harusnya Mama sebagai orang tua membantuku."

Mama menghela napas sesaat. "Ka, justru kalau Mama sampai turun tangan, nanti masalah rumah tangga kamu jadi makin ruwet. Biarlah kamu selesaikan dengan Kiara. Ehm, tapi sore ini Bu Salsa yang rumahnya depan gang itu melihat Kiara diantar cowok, loh. Kok, bisa sampai diantar cowok yang bukan mahramnya segala?"

Gue mencomot potongan apel yang dibawa Mama. Lantas melenggang ke meja makan. "Katanya nggak mau ikut campur."

"Ya, sudahlah. Pokoknya Mama nggak mau lihat kalian berantem terus. Apalagi sampai Kiara menginap di rumah orang tuanya."

Kenapa dia nggak izin dulu? Gue hendak menyuarakan itu. Namun, mengingat Mama pasti akan mempermasalahkan sikap Kiara, gue pun mengurungkan niat. Kini perkataan Mama kembali berputar-putar dalam benak gue, siapa cowok yang mengantar Kiara? Mengingat selama ini Kiara terlihat jarang dekat dengan banyak cowok. Apa ... Arga?

Hi, Oneders!

Dikit lagi tiga puluh bab dan well, bakal makan banyak bab cerita kali ini😅 semoga tetap betah membaca ya^^

Thank you😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro