45. Kiara: Sebentar, Mas.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sidang kami tidak bisa dianggap berjalan lancar sepenuhnya. Terlebih aku. Pertanyaan yang bertubi-tubi membuatku sedikit kewalahan. Aku sampai kehilangan kata-kata untuk menjawab selama sekian detik. Walau pada akhirnya dengan nada gugup, aku bisa menjawab pertanyaan itu. Bohong kalau perasaanku tidak waswas. Bahkan air mata berderai ketika sidang skripsiku rampung. Pak Hamdan dan Bu Nani tertawa kecil melihat aku yang menangis.

Padahal tiga jam lalu saat Mas Deka lebih dahulu melangsungkan sidang, dia terlihat baik-baik saja. Mas Deka keluar dari ruangan dalam kondisi yang terlihat tidak kacau. Maksudku, berbeda jauh dengan aku sekarang. Mata dan hidungnya sudah memerah karena menangis. Rasa nyeri dan gugup membuat tanganku terasa dingin, seiring dengan lutut yang terasa lemas.

Namun, hari ini kami jauh lebih bahagia karena berhasil menyelesaikan sidang. Begitu sesi foto bersama kedua dosen penguji dan pembimbing, terlihat Mas Deka berjalan mendekat. Ruangan yang kami tempati sebentar lagi-tepatnya setengah jam lagi-akan digunakan untuk sidang mahasiswa lain.

"Mas?" sapa gue saat cowok itu berjalan memangkas jarak kami.

"Ya, ampun! Lo sampai nangis gini." Dia malah terkekeh senang, serupa dengan apa yang Pak Hamdan dan Bu Nani lakukan.

"Nggak usah ketawa!"

"Ututuuu ... jangan nangis, dong! Sekarang, kan, udah mulai kurang beban kita, Ki. Apa nggak sebaiknya kita rayakan aja?"

"Apanya yang kurang? Abis ini harus revisi lagi, daftar yudisium, wisuda."

Lelaki jangkung dengan tinggi 180 sentimeter itu menggaruk belakang kepalanya. Ia nyengir lebar selama beberapa saat. Apa aku terlalu berlebihan?

"Nggak ada salahnya self reward, kan?" Mas Deka kembali bersuara.

Aku menghela napas, lantas membiarkan sepasang mata yang terasa masih basah untuk menatap lelaki itu. Mas Deka masih dengan senyum khasnya. Nyengir selebar mungkin sampai matanya seperti akan menghilang. Rongga dadaku mendadak terasa nyeri, apalagi saat mengingat kata-kata Papa Malik.

Semua ucapannya hari ini kembali terputar di benakku. Bagaimana ini? Aku harus membicarakannya lagi dengan Papa. Oh, sekarang pun kami sudah selesai sidang. Aku tidak akan kaget kalau Mas Deka menagih janjiku untuk menceritakan apa yang selama beberapa hati menyita fokusku.

Tangan panjangnya meraih tote bag besar yang ada di atas meja, berisi beberapa berkas naskah skripsi kami. Sementara aku menyampirkan tas ransel. Kami keluar dari ruangan itu, bersiap-siap untuk pulang.

Sepasang kakiku berhenti tatkala melihat Mbak Erin duduk di kursi depan ruang prodi. Begitu kedua mata kami bertumbukan, Mbak Erin segera tersenyum lebar dan mendekat. Oh ya, Mbak Erin sudah sidang minggu lalu dan senangnya, kami bisa wisuda bersama.

"Selamat, ya, udah bisa dapet gelar sekarang. Akhirnya perjuangan lo dan Bang Deka terbayarkan," ungkap perempuan ber-cardigan hijau gelap.

"Mbak nungguin di sini, ya?"

Dia mengangguk takzim dan menyerahkan dua paper bag untuk kami. "Selamat, Ki! Gue senang banget kita bisa wisuda bareng. Selamat juga buat lo, Bang," katanya melirik Mas Deka. "Ayo, kita makan siang bareng. Hari ini gue yang traktir."

Belum sempat berbicara, Mbak Erin menarik lengan kami. Saat berjalan di koridor, kami berpapasan dengan Mas Arga. Aku mengulas senyum ramah ketika sepasang mata kami bertemu. Namun, lelaki itu tampak tidak acuh dan berjalan melintas begitu saja. Bahkan tidak menyapa Mas Deka yang notabene adalah temannya.

"Kayaknya Bang Arga patah hati," bisik Mbak Erin.

"Salah sendiri suka sama cewek yang punya suami." Mas Deka menanggapi dan berjalan cuek mendahului kami.

Entah bagaimana hubungan pertemanan Mas Deka dan Mas Arga sekarang. Namun, melihat dari interaksi mereka tadi, agaknya ada jarak di antara mereka. Bukan hanya Mas Arga, akhir-akhir ini, aku tidak pernah melihat Mas Deka ditelepon oleh Jane. Tidak tahu juga kalau mereka masih sering bertukar kabar lewat pesan.

-oOo-

Makan malam yang dimaksud Mama Ira ternyata bukan hanya makan malam bersama keluarga Mas Deka. Namun, ada Papa Malik dan Mama yang diundang. Tentu minus Mas Raja dan keluarganya yang sudah pulang ke apartemen lima hari lalu. Mas Sadam juga sedang sibuk di luar kota untuk persiapan S3-nya kalau aku tidak salah dengar pembicaraan Mama dan Mama Ira tadi.

Begitu makan malam kelar, aku dan Mama membantu Bi Nuril dan Mama Ira di dapur. Sesekali kedua wanita itu berbincang tentang harga kebutuhan dapur yang lagi menanjak bulan ini. Sementara aku membantu Bi Nuril membersihkan piring.

Terlihat Mama Ira berjalan keluar dari dapur tatkala Papa Roni memanggilnya. Dia kembali lagi dengan ponsel di tangan. Memperlihatkan sebuah pesan video dari seseorang. Layar itu mengabadikan wajah seorang pria dengan kulit putih terawat. Agak sipit seperti Mas Deka. Mama membawa ponsel mendekat ke arahku. Sehingga wajah kami terlihat di layar tersebut.

"Say hi dulu sama iparmu, Ndu."

"Duh, Mama! Ini beneran Kiara? Yang dulu suka main ujan sama Deka, kan? Yang rambutnya suka dikepang tinggi-tinggi?"

Aku terkekeh pelan mendengar suara Mas Randu dari loudspeaker. Dia anak sulung keluarga Papa Roni. Saat ini menetap jauh di luar negeri karena pekerjaannya. Bahkan membawa serta anak dan istri ke sana. Lumayan lama juga Mas Randu dan Mbak Nona tidak pulang ke Indonesia. Jarang. Kalau tidak ada acara besar, lebaran misalnya.

"Mas, apa kabar? Mbak Nona sama Rifky, gimana?"

"Kami baik, Ki. Nona pengin pulang, tapi nunggu Rifky libur sekolah dulu. Lo gimana? Sebentar lagi kalian wisuda, ya? Alhamdulillah, itu bocah akhirnya bisa kelar juga kuliahnya."

Lagi, aku mengangguk pelan. "Iya, Mas. Kami nungguin Mas Randu dan Mbak Nona, loh."

Gelak tawa Mas Randu terdengar sesaat. "Tunggu, deh! Kalau gue pulang, harusnya gue udah bisa gendong ponakan. Rifky pasti seneng bisa punya sepupu."

Jauh banget pikirannya! Hanya senyum tipis nan kaku yang aku perlihatkan. Sampai akhirnya Mas Randu berkata ingin bicara dengan yang lain. Aku berjalan keluar dari dapur untuk menyusul Mama Ira. Tepat di ruang tengah, Papa, Mama, dan Papa Roni sudah berkumpul. Ke mana Mas Deka?

Menyadari aku ada di sana, Papa Roni memintaku untuk bergabung. Walau agak malas ikut larut dalam pembicaraan mereka, tetapi aku tetap berjalan patuh. Duduk di samping Mama dengan rasa tidak nyaman.

"Kiara, Papamu sudah menceritakan semuanya. Maksudnya, tentang niat baik Papamu yang ingin kamu berkuliah lagi."

Aku melirik Papa Malik yang tampak santai menikmati minumannya. Dia bahkan sudah sampai sejauh itu? Bukankah seharusnya Papa bicara dulu dengan Mas Deka?

"Bagaimana, Kiara? Apa kamu mau?" Papa Roni mengeluarkan suaranya lagi.

"Aku nggak bisa kuliah kalau di luar kota, Pa. Kalau di sini, aku bisa pikirkan."

"Kiara?" Suara Papa Malik terdengar penuh protes. Kedua matanya bahkan tidak beralih menatapku. "Dia belum bisa berpikir jernih, Ron," tukasnya.

Sementara Mama yang ada di sana hanya bisa diam mengelus punggung tanganku. Untuk menenangkan aku, tentunya. Senyap membungkus kami. Tidak satupun yang berbicara. Aku ingin pergi, tetapi kesannya tidak sopan kalau meninggalkan mereka saat pembicaraan belum rampung.

Papa Roni akhirnya menghela napas. Mengangkat segelas air dingin dan meneguknya sebentar. Ia menatapku cukup lama sebelum kembali mengeluarkan suara.

"Kenapa kamu nggak mau, Papa dan Papa Malik tentu akan membiayai pendidikanmu, Kiara."

"Aku nggak mau karena ...," cetusku seraya menggigit bibir. Wajah Mas Deka menari-nari dalam benakku. Aku tidak mau pergi! Tidak.

"Jadi, kamu tetap ingin di sini, walaupun harus berkuliah di sini juga?" Papa Roni kembali bersuara dan aku mengangguk takzim. "Baiklah. Kalau begitu, biar Papa yang bicara dengan Papamu. Sekarang masuklah."

Walau Papa Malik terlihat agak tersinggung, aku tetap berdiri dari tempat dan melenggang pergi. Berbelok ke lorong kecil yang mengantarkan aku ke depan dua ruangan lain di rumah ini. Kamar Papa Roni dan Mama Ira. Satu lagi ....

Pintu itu terbuka lebar dan aku melangkah masuk dan menemukan Mas Deka sedang duduk di sofa kecil dekat jendela. Ia memainkan senar gitar akustik dengan nada random. Menyadari kehadiranku, lelaki itu meletakkan gitar. Untuk sesaat aku meneliti kamar ini, terlihat pigura berbingkai lebar yang memerangkap foto Mas Randu saat mengenakan toga. Mungkin ini kamarnya.

"Mas?" panggilku. Mendadak leherku tercekat, berat untuk mengeluarkan suara.

Mas Deka berdiri dari tempat. Membuka sepasang lengannya lebar-lebar, bermaksud menawarkan sebuah pelukan. Untuk sesaat aku memandanginya, lantas melangkah pelan dan sedikit gugup, menghambur ke dalam pelukan lelaki itu.

"Mas, gue mau cerita."

"Nggak usah. Gue udah tau. Gue udah duga kalau yang bikin lo sedih pasti keinginan Papa Malik."

Aku tidak lagi menyangkal. Kubenarkan dengan anggukan samar. Dia hendak meraih bahuku untuk menyudahi pelukan itu. Namun, aku menolak, memeluk pinggangnya dengan erat.

"Sebentar, Mas."

Hi, Oneders!

Maafkan aku yang suka update bolong-bolong hehe. Waktunya nggak bisa konsisten, lagi lumayan banyak tugas juga di rl😅 thanks, akhirnya Kiara dan Deka bisa dapet 47k views, yukk semoga bisa 50k sebelum mencapai bab 50😆

Oh ya, aku update Cast-nya juga, ya~ bisa cek di bab paling atas😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro