46. Deka: Enggak Ada Lo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebagai bentuk perayaan kecil berkat kelancaran sidang skripsi gue dan Kiara, Mama berinisiatif untuk mengadakan acara makan malam bersama. Gue pikir keluarga Kiara enggak bakal diundang, ternyata memang dalang di balik rencana makan malam adalah para ibu-ibu.

Sore ini sambil menunggu azan berkumandang, gue duduk di teras bersama Papa Malik dan Papa Roni. Padahal baru beberapa menit lalu membantu Papa mengecat pagar tanaman hiasnya. Sedangkan para wanita sibuk di dapur.

"Nggak nyangka, ya. Kamu akhirnya bisa lulus juga, Ka. Papa udah capek lihat kamu bolak-balik kampus, tapi betah sampai semester sebelas," ucap Papa Roni sesaat setelah meletakkan gelas teh hangatnya.

Sore begini ngeteh sambil berbincang-bincang memang agak enak, ya. Cuma masalahnya, gue lagi berhadapan sama dua bapak-bapak sepuh. Kalau sama Mas Raja atau Sadam, mungkin bakal sesantai mungkin. Ini sebaliknya, gue mendadak tegang.

"Apa rencana kamu setelah lulus nanti, Ka?" Suara tegas Papa Malik terdengar. Ketimbang Papa gue sendiri, Papa Malik lebih menakutkan—paling enggak bagi gue.

"Cari kerja, Pa."

"Kamu nggak mau kuliah lagi?"

Pertanyaannya membuat gue mengejap selama sekian detik. Seiring dengan saliva yang gue telan keras. Sampai tenggorokan gue rasanya sedikit sakit. Kalau boleh jujur, selama ini gue enggak pernah berencana untuk kuliah lagi. Yang ada di pikiran gue hanyalah; setelah lulus, gue harus kerja. Cuma masalahnya, kenapa mendadak ini mertua malah bertanya seperti itu?

Gue menggeleng pelan. Melirik Papa Roni yang terlihat tidak ingin menolong. Sama sekali. Tidak. Papa Malik pun mengulas senyum setipis serat kain. Gue berusaha menebak-nebak isi pikirannya. Ke mana pembicaraan ini sekiranya akan berlabuh?

"Ya sudah kalau begitu. Kuliah lagi juga nggak harus secepat mungkin. Tapi, Deka ... kamu tahu nggak kalau Kiara dulu sangat ingin melanjutkan pendidikannya. Persis seperti Sadam dan Raja."

Walaupun Si Bocil enggak pernah menyuarakan hal itu, gue memilih mengangguk. Cukup penasaran dengan inti pembicaraan. Papa Malik terlalu bertele-tele membuat gue sedikit gemas.

"Jadi, Papa berniat untuk membiayai pendidikannya lagi. Papa sudah membicarakan dengan Papamu juga. Mengingat kamu adalah suami dan walinya Kiara, ya ... lebih baik Papa utarakan sekarang. Kamu tenang aja, Papa akan membiayai semua kebutuhan Kiara saat menempuh S2-nya. Kamu nggak perlu khawatir, Kiara hanya harus belajar."

Sekian detik gue terdiam mendengar penuturan Papa Malik. Gue tahu niat Papa baik. Orang tua yang peduli akan pendidikan anak perempuannya. Namun, di sisi lain gue merasa keberatan. Mengingat selama menggarap tugas akhir untuk menyelesaikan jenjang strata satu saja, Kiara sampai sakit-sakitan.

Walaupun gue yakin Kiara selalu mampu menghadapinya. Di satu sisi, gue merasa enggak setuju karena Papa Malik bersikeras ingin membiayai pendidikan Kiara. Oke, anggaplah sekarang gue memang pengangguran. Akan tetapi, bukankah gue masih bisa mengusahakannya? Terlebih waktu itu Papa Roni pernah menyinggung hal ini.

Ya, for your information saja. Papa Roni pernah berniat ingin membiayai pendidikan Kiara kalau suatu saat ingin melanjutkan kuliahnya. Gue melirik Papa Roni yang tetap tenang. Sial! Gue malah kesal karena saat seperti ini, dia malah diam saja.

"Bagaimana, Deka? Kamu nggak akan menghalangi Kiara untuk melakukan impiannya, kan?" Suara Papa Malik kembali terdengar.

"Maaf, Pa. Aku memang setuju kalau Kiara kuliah lagi, tapi ... aku juga akan mencoba untuk ...." Kalimat gue mendadak tertahan. Rasa tidak percaya diri menyergap selama sekian detik. Bagaimana mungkin gue bisa menyaingi Papa Malik?

Lihatlah keadaan gue sekarang? Dari segi pikiran yang paling realistis pun, pasti tawaran Papa Malik akan menjadi sesuatu yang tidak bisa ditolak. Papa akan membiayainya sampai pendidikan Kiara kelar, lho! Gila saja kalau gue mampu melakukan itu.

"Untuk apa, Ka?" tanya Papa Roni menegur gue.

Gue mencengkeram lutut sendiri. Pun dengan berani berkata, "Membiayai kuliah Kiara."

Senyum tipis Papa Malik terlihat. Bukan senyum yang membanggakan, pemirsa! Seketika rongga dada gue terasa nyeri. Apa baru saja gue diremehkan oleh mertua sendiri? Oh, begini rasanya? Sakit sekali.

"Bukan apa-apa, Deka. Tapi, memang tawaran Papa berguna untuk saat ini. Lebih berguna malah. Kamu akan bekerja suatu saat nanti, gajimu mungkin akan cukup untuk kehidupanmu sehari-hari. Biarlah Papa yang mengurus keperluan Kiara di sana."

"Di sana?" Kening gue mengernyit heran karena perkataan Papa Malik. Gue melirik Papa Roni yang terlihat sedikit menghela napas. Agaknya Papa sudah tahu semua.

"Ya, Papa ingin Kiara kuliah di Yogyakarta."

Dari mana datangnya tangan transparan yang meremas rongga dada gue secepat mungkin. Apa-apaan, ini? Gue termenung sesaat. Jadi, inikah yang Kiara sembunyikan? Yang bisa membuatnya jadi sangat murung? Gue baru tahu Papa Malik ternyata separah ini dalam menekan anaknya sendiri.

Seakan-akan kehabisan kosakata, gue mematung layaknya orang bego. Memandang Papa Malik yang bersikap setenang mungkin. Tampak tidak merasa bersalah karena keputusan yang dibuatnya sendiri.

"Bagaimana kalau Kiara nggak ingin pergi, Malik?" tanya Papa Roni. Kali ini menyuarakan isi pikiran gue.

"Mau, kalau kamu mengizinkannya, Ka." Dia justru melirik gue. Lantas melanjutkan, "Kalau kamu nggak mau ikut ke Jogja, kamu tenang aja. Ada sahabat Papa di sana dan sudah kenal dengan Kiara. Jadi, Kiara pasti nggak akan kesusahan mendapatkan tempat tinggal yang nyaman. Mana dekat dari kampus. Kalau kamu kangen, kamu bisa pergi saat libur atau Kiara bisa pulang."

Bangsat! Mana bisa semudah itu? Ini bukan masalah tempat tinggal yang nyaman. Bukan! Gue memandang Papa Malik dan Papa Roni bergantian, tidak bersuara walau ingin. Lidah gue mendadak kelu. Kalau sampai  Kiara setuju, apa artinya ... gue sama dia bakal berhubungan jarak jauh?

Oh, atau haruskah gue mengalah dan ikut dengan Kiara? Namun, bagaimana dengan rumah kami? Kehidupan kami di Jakarta? Lalu, bagaimana dengan usaha Papa Roni yang selama ini susah payah mencarikan pekerjaan buat gue?

"Pikirkan dan diskusikan baik-baik dengan Kiara. Kalau kamu mendukung keinginan Kiara, kamu pasti mengerti, Deka."

Nggak, ini bukan keinginan Kiara. Tapi, keinginan Papa ....

—oOo—

Pintu terbuka lebar mengalihkan atensi gue yang sejak tadi termenung di depan jendela kamar Randu. Mirip apa yang dilakukan Kiara beberapa malam lalu. Gue berhenti memetik senar gitar saat melihat Kiara masuk ke kamar ini. Oh ya, gue menjauh dari keramaian rumah sesaat setelah acara makan malam kelar. Memikirkan kembali perkataan Papa Malik tadi sore.

Perempuan berponi tipis mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Sampai akhirnya menatap gue dengan raut wajah diselimuti kesedihan.

"Mas?" panggilnya dengan suara sedikit parau.

Gue berdiri dari tempat, membuka sepasang lengan lebar-lebar dan bermaksud menawarkan sebuah pelukan. Untuk sesaat dia memandangi gue, lalu melangkah pelan dan sedikit berlari ke menghambur ke dalam pelukan yang gue tawarkan.

Ini jauh di luar dugaan gue sebenarnya. Jauh banget! Namun, gue pun enggak mau menolak. Gue membalas pelukan Kiara dengan erat.

"Mas, gue mau cerita."

"Nggak usah. Gue udah tau. Gue udah duga kalau yang bikin lo sedih pasti keinginan Papa Malik."

Dia pun enggak menyangkal. Mengangguk pelan, membuat gue meraih bahunya untuk menyudahi pelukan itu. Takut setelah ini bakal canggung dan dia mendiamkan gue lagi. Namun, Kiara menolak. Malah makin memperat tangannya yang melingkar di pinggang gue.

"Sebentar, Mas," pintanya lirih.

Gue mengangguk pelan walaupun dia enggak melihatnya. Sepersekian detik berikutnya, isak tangis Kiara terdengar. Bahkan kaus gue sudah basah karena air matanya. Gue meraih bahu Kiara dan membuat pelukan kami terurai.

"Ki, jangan nangis, dong. Nanti dilihat Mama, gue juga yang disalahin."

Kiara malah menggeleng seperti anak kecil yang tidak mau disuruh berhenti. Kucuran air matanya makin deras membasahi pipi. Gue meringis melihat Kiara yang tampak kacau malam ini. Dengan penuh keberanian gue menyeka air matanya. Ugh, romantis bukan?

"Udah, udah, nggak usah nangis. Beneran, deh. Nanti gue ikutan nangis ini. Ya, ampun! Gue tuh anaknya lemah lembut, Ki. Nggak bisa lihat yang sedih-sedih, pasti ikutan mewek." Gue berusaha menghibur, tetapi dia tetap menolak berhenti.

"Mas, gue nggak mau pergi. Nggak mau," adunya di sela isak tangis. Suaranya sedikit sesenggukan. "Di sana nggak ada siapa-siapa. Nggak ada Mama, Papa, Mas Raja, Mas Sadam, Mama Ira dan Papa Roni."

Gue kembali membawa dia ke dalam dekapan. "Bukannya lo pengin kuliah lagi, Ki? Rencana Papa itu baik, loh. Jaman udah canggih, kita bisa berkomunikasi lewat hape."

"Nggak mauuu!" pekiknya, "please, jangan setuju. Tolong, bilang ke Papa kalau lo nggak setuju, Mas."

"Oke, oke, nanti gue coba ngomong sama Papa, ya? Jadi, tolong nggak usah nangis lagi."

Kiara menarik diri, kedua matanya yang basah memandang gue. Sukses besar bikin rongga dada gue terasa nyeri abis. "Di sana juga ... nggak ada lo, Mas. Gue mau di sini aja, sama lo." Suara dia enggak terdengar lagi begitu membenamkan wajah ke dada gue.


Hi, Oneders!

Update lagi, nih~ maafkan selalu up seenaknya 😅

Oh ya, ini Deka sama Kiara terancam LDR, ya'( sedikit sedih pas ngetik ini. Kalian tim LDR atau engga LDR? 😅

Thank you udah baca sampai sejauh ini~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro