Bagian 2 (Revisi) - A

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pukul setengah sebelas siang, saat Arabelle tengah menonton televisi dengan Elia, suara pintu utama terdengar diketuk oleh seseorang dari luar.

"Ma, denger, nggak?" Elia menepuk paha ibunya tiba-tiba.

Arabelle menghentikan aktivitasnya, kemudian mengecilkan volume televisi dan mendengarkan ketukan itu sekali lagi–itu pun jika si tamu mengetuk pintu kembali.

"Assalamualaikum." Dari luar terdengar samar suara seorang wanita mengucapkan salam.

Tanpa berpikir dua kali Arabelle membenarkan kunciran rambut sambil mengibas-ngibaskan kaos longgar dan rok panjang yang tengah dia kenakan. Dia malu jika ada remahan biskuit atau keripik yang tertinggal kala bersitatap dengan si pengetuk pintu.

Penampilan Arabelle saat ini merupakan setelan yang sama kala perempuan itu menjemput Elia setengah jam lalu dari TK. Hanya kardigan kumal berkelir cokelat saja yang sudah terkulai lemas di sudut sofa–berperan penting melindungi lengan eloknya dari sengatan ultraviolet.

Daun pintu utama diketuk kembali untuk kesekian kalinya kala ibu anak satu itu menjawil kardigan.

"Sebentar," teriak Arabelle setengah berlari ke arah pintu yang letaknya jauh di depan, di area ruang tamu. Sedang Elia terus mengekori ibunya sambil memegangi kaus bagian pinggang kanan. Gadis kecil itu tak mau ketinggalan barang sejengkal.

Ketika pintu dengan tinggi dua ratus sepuluh dan lebar sembilan puluh sentimeter terbuka setengah, terlihat wanita berusia lima puluh tahunan berdiri di baliknya. Beliau memakai tunik cantik berwarna biru gelap senada dengan celana bahan berpulas putih. Sekilas, tampak senyum mengembang di kedua sudut bibirnya.

"Assalamualaikum," ucap beliau kembali dengan mata membola.

"Ibu?" Arabelle langsung berhambur memeluk wanita baya yang tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan apa pun itu.

Wanita lembut itu–Ibu Utami, lantas segera mengecup kening putri sulungnya dengan penuh rindu.

“Sehat, Teh?” tanya beliau selepas mengurai pelukan.

Arabelle tersenyum lebar sambil mengangguk beberapa kali, tanda jawaban dari pertanyaan induknya barusan.

Sambil saling merangkul, perempuan tiga generasi itu berjalan meninggalkan matahari yang mulai naik perlahan ke tengah bumi. Mereka duduk bersisian di atas sofa depan televisi.

Untuk pelepas dahaga, Arabelle membawa segelas air putih dari dapur untuk ibunya yang pasti lelah karena perjalanan jauh dari Bandung. Hm, bukan lelah karena jarak, tapi karena macet.

Seperti anak dan ibu pada umumnya, mereka berdua larut dalam bincang-bincang ringan dengan tema kehidupan setengah tahun terakhir ini.

"Oh iya, Aileen gimana, Teh?" Sambil mencubit biskuit dari stoples, Bu Utami mulai menanyakan kabar putri bungsunya.

"Alhamdulillah baik kok, Bu. Tapi ..., " Arabelle menghela napas di tengah kalimat, ragu untuk melanjutkan. Dia kini lebih tertarik menyaksikan reaksi ibunya.

Alis Bu Utami mengerut santai sambil tetap mengunyah, "Kenapa Aileen? Nggak nurut sama Teteh, ya?"

Dengan cepat Arabelle menggeleng, "Nurut kok, Bu," jawabnya menepis dugaan. "Cuman ya itu." Kalimatnya dibiarkan menggantung. Membuat alis ibunya makin mengerut pelik.

"Itu apa?" Bu Utami menyambar minum dalam gelas di atas meja kaca. Beliau kini tengah penasaran dengan kalimat lanjutan Arabelle.

Napas ragu mencuat dari rongga hidung perempuan berusia tiga puluh satu tahun itu. Dia sedang merangkai kalimat pantas untuk bahan aduan pada sang ibu.

"Itu lho, Bu." Arabelle mengawali keluhan dengan menundukkan kepala empat puluh lima derajat menatap ujung sofa. "Aileen tuh kayak akrab banget sama Mas Dominic. Akrabnya itu kayak–"

"Ya ampun, Teh. Kirain ibu apaan." Bu Utami memotong kalimat putrinya. Tangan kanan yang mulai keriput itu kembali menarik salah satu stoples, beliau hendak melanjutkan acara; menikmati kudapan sambil menyaksikan acara televisi yang belum usai.

"Bu." Arabelle pantang menyerah. Dia kembali menatap serius dua bola mata Bu Utami dengan seksama. "Tapi, kadang nada bicara sama kalimatnya itu manja-manja gimana, gitu."

Wanita baya yang sudah membuka kulit kacang kedua itu menoleh, menatap balas pendar tak nyaman Arabelle.

"Bukannya sejak dulu Aileen kayak gitu? Dia nganggap Mas Dominic itu pengganti Ayah, Teh," jawab Bu Utami dengan tatapan sendu. Mungkin beliau terbayang sosok suami yang telah lama pergi.

Deg.

Kalimat ibunya memang tak ada yang salah. Sejak dirinya dipersunting oleh Dominic enam tahun lalu, Aileen terlihat lebih ceria. Dia selalu berkata akhirnya ada sosok pria dalam keluarga setelah ayah berpulang pada Ilahi.

Tapi maksud Arabelle bukan tentang hal tersebut.

Ah, sudahlah. Arabelle menyerah. Mungkin memang pikirannya yang tak sehat sehingga berpikir macam-macam.

"Oh, Aileen suka pake celana super pendek lho, Bu." Arabelle melanjutkan kalimat aduan.

"Di rumah aja?" tanya ibunya singkat, balas menanggapi Arabelle.

Ibu dari Elia tersebut mengangguk, menandakan kebenaran atas terkaan kalimat sebelumnya.

Senyum santai kembali hadir di dua sudut bibir Bu Utami, "Wajar itu, kalo keluar barulah diingatkan, ya, Teh."

Mungkin aku terlalu berlebihan. Arabelle merutuki dirinya sendiri.

***

Halo, hai. Pelakor Sedarah sudah tamat di Karya Karsa, ya. Total 71 bagian.

Terus aku update juga di wacaku.com lhoo.

Silakan mampir.
Bagian 1 sampai bagian 3 GRATIS 🤍

Akunku: Fitria A. Noormala


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro