Bagian 2 (Revisi) B

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Petang datang, kehadiran Dominic di rumah bersamaan dengan tibanya Aileen.

Kala tungkai sang mahasiswi melewati area dapur, dia mengeryitkan dahi sampai berlipat. Aileen mendapati dua orang wanita tengah memasak bersisian di sini.

"Ehem." Gadis berusia dua puluh satu tahun itu sengaja berdeham agar dua orang di depannya menoleh.

Nihil, bahkan target tak sadar akan hadirnya Aileen di belakang mereka.

Namun, kala Bu Utami hendak membawa bahan makanan lain di kulkas. Tatap mereka berdua beradu saling meraup. Ada jeda beberapa detik untuk menafsirkan siapa sosok di depan.

Ibu! Teriak batin Aileen.

Tanpa menunggu lama, gadis itu berhambur memeluk ibunya sangat lama. Lama sekali. Pun Bu Utami, berkali-kali mengecup pangkal kepala putri bungsunya sampai basah.

Arabelle sontak menoleh karena kegaduhan yang ditimbulkan oleh dua orang kandung di belakang punggungnya.

Sadar si sulung menoleh, Bu Utami memberi isyarat untuk Arabelle segera datang mendekat ke area pelukan mereka.

"Akur-akur ya, anak ibu," ucapnya mengusap punggung putrinya satu per satu. "Kalian hanya dua bersaudara, kalau ibu nggak ada ... saling jaga, oke?" lanjut beliau dengan suara parau.

Terasa adiknya mengangguk pelan dalam pelukan. "Aku akan jaga Teteh, Bu," ucap Aileen tak kalah sendu.

Karena kalimat tersebut Arabelle merasa berdosa. Baru saja tadi siang dia mengadukan hal-hal sepele pada ibunya mengenai tingkah Aileen.

Ah, napas panjang nan lelah lolos begitu saja dari rongga hidung Arabelle.

Sejak penerimaan mahasiswa baru di salah satu universitas negeri di Jakarta, Aileen sudah tinggal di sini. Semua berdasarkan permintaan Bu Utami. Alasan pertama, agar janda paruh baya itu bisa meredam biaya kos dan makan. Alasan selanjutnya agar tingkah Aileen dapat terpantau.

Saat mereka bertiga larut dalam telaga rindu. Tiba-tiba terdengar suara bas khas pria dewasa dari arah meja makan.

"Nanti malem jadi, nggak?" Kemunculan Dominic membuat tiga orang di sana menoleh serempak.

Sadar akan hadir ibu mertua satu-satunya, pria tampan itu segera menyodorkan dua tangan untuk bersalaman. Tak lupa punggung tegap itu menunduk guna menghormati wanita di hadapannya.

Bu Utami tersenyum bangga pada Dominic.

"Berkah selalu ya, Mas," ucap beliau dengar pendar penuh kekaguman.

Di balik sana, bukan hanya Bu Utami saja yang kagum, tapi Arabelle dan Aileen pun merasakan hal serupa.

"Hm, tadi kamu bilang apa, Mas?" Arabelle melangkah mendekati suaminya seraya mencium punggung tangan Dominic penuh takzim.

"Oh." Dominic menepuk keningnya pelan, tatapnya mencari sosok seseorang yang hendak menjadi sasaran tanyanya tadi. "Hey, Aileen. Nanti jadi, nggak?"

Aileen tersenyum lebar, pendar netranya bercahaya menangkap sosok kakak iparnya tersebut.

"Jadi, Mas," jawab gadis itu singkat.

Arabelle dan Bu Utami memperhatikan dua orang itu dalam diam. Bahkan ibu muda yang berusia tiga puluh satu tahun itu berjalan pelan ke arah tungku untuk mematikan api.

"Jadi apaan sih, Mas?" tanya Arabelle dengan wajah penasaran. Tumben sekali mereka membuat janji tanpa sepengetahuan dirinya.

Dominic melonggarkan ikatan dasi motif garis-garis sambil menatap ketiga orang perempuan di depannya.

"Oh, itu." Dominic menatap Arabelle lembut. "Si Aileen minta dianterin ke Bogor pelosok buat ngambil tugas dia yang dipinjem temennya nanti malem."

Dahi Arabelle berlipat. Tatapnya beralih pada adik semata wayangnya yang masih berdiri di samping ibu.

"Nggak bisa dipaketin atau pake ojek online aja, Dek?" Arabelle menguarkan raut kurang setuju.

"Tugasnya tuh dikumpulin besok pagi sih, Teh. Temen akunya lagi sakit juga," jawab Aileen mulai dengan nada merajuk.

"Hubungannya?" cecar Arabelle kurang puas.

"Ya, tugas aku kebawa dia gitu, ih." Aileen memajukan bibir. Suasana hatinya mulai tak beres karena interogasi sang kakak.

"Udah, udah, ya, mas anterin aja. Cepet juga lewat tol kok, Sayang." Dominic melangkah mendekati Arabelle. Tangan besar miliknya mengusap sebelah pipi wanitanya dengan jempol.

Ibu Utami mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dengan perkataan menantunya.

Dua jam berlalu.

Handuk masih melilit di setengah tubuh Dominic. Pria itu baru saja selesai mandi kilat di toilet dalam kamar mereka. Di sana, Arabelle berdiri dengan wajah masam.

"Kamu nggak capek, apa, Mas?" Kedua tangan perempuan itu melipat di depan dada, menyambangi suaminya di depan pintu kamar mandi.

Dominic berjalan ke arah lemari pakaian. Melewati sosok Arabelle. Kedua tangan kekar pria itu sibuk menggosok-gosok rambut yang masih basah dengan handuk kecil berwarna biru.

"Mas," panggil Arabelle sekali lagi.

"Hm?" Pria itu masih sibuk menarik kaus berwarna putih di dalam lemari kayu jati di depan.

Arabelle sudah malas mengulang pertanyaan. Dia merotasikan tubuhnya untuk duduk di sisian ranjang dengan air muka kesal.

"Jangan gitulah, Sayang. Dia adik kamu, lho. Masa nggak boleh ditolongin?" Dominic membenarkan posisi kaus yang kurang pas di tubuhnya.

Arabelle menutup mulut rapat-rapat. Dengan hal sekecil ini pun dia cemburu. Namun, tanpa diduga, pintu kamar mereka tiba-tiba terbuka lebar. Sosok Aileen ada di ujungnya.

"Mas udah siap?" tanya gadis itu sumringah seperti biasa.

Dominic belum sempat menjawab, netra mahasiswi itu menangkap aura kesal di wajah Arabelle.

"Ya udah, ya udah, aku pergi naik taksi aja. Gak enak banget bikin kalian sampe berantem." Aileen menutup pintu dengan cepat. Pun nadanya tak kalah kesal.

Dalam hitungan detik, Arabelle merasa bersalah kembali. Bisa-bisanya dia tega membiarkan Aileen pergi jauh kala malam sendirian ke area pelosok.

Jika bukan Dominic dan dirinya yang menolong, lalu siapa lagi?

"Cepet siap-siap, Mas," ucapnya.

Arabelle mengambil langkah kilat guna mengejar Aileen yang sudah jauh ke depan.

"Aileen!" teriak Arabelle memecah hening ruang tengah.

Namun Aileen terus memacu langkah sampai pintu utama terbuka sebelah. Gadis itu terlihat mengeluarkan gawai, dia hendak memesan taksi online seperti ucapannya tadi.

"Aileen!" Arabelle berlari ke arah teras di mana adiknya berdiri.

Beberapa detik setelahnya gerimis turun dari langit. Aileen berpura-pura tak melihat sang kakak yang kini ada di sampingnya.

"Ng-gak usah pa-kai tak-si." Arabelle mengatur napasnya yang terengah-engah.

Aileen melayangkan senyum kecut. Bahkan cenderung menahan kecewa. “Udahlah, Teh. Nggak apa-apa. Santai aja."

Arabelle memutar tubuh 180 derajat, mencari sosok Dominic yang tengah berjalan ke arah mereka berdua. Pria itu sudah tampan dengan setelan kaus putih dan jeans hitam. Ditambah aroma parfum maskulin yang menguar ke segala arah.

"Mas berangkat dulu ya, Sayang." Dominic memeluk erat Arabelle tatkala jarak antara mereka terpangkas habis. Tak lupa kecupan hangat mendarat di dahi sang istri dengan lembut.

"Ayo, Ai," panggil Dominic pada Aileen dengan memberi isyarat tangan agar segera bergegas.

Aileen menatap Dominic ke mana pun langkahnya dipijak, termasuk pemandangan tadi–saat kakak iparnya memeluk dan mengecup Arabelle. Sorot pendarnya aneh dan sulit ditafsirkan.

Tubuhnya yang tinggi nan kurus mengikuti Dominic masuk ke dalam mobil saat benda hitam itu melaju pelan dari mulut garasi. Bibir Aileen masih mengatup, tak memberikan salam atau sekadar senyum pada Arabelle di belakang punggungnya. 

Gadis itu masih marah? Terka Arabelle dalam hati.

"Tadi bukan marah sama kamu, Ai." Arabelle berjalan ke jendela mobil, tepat di mana Aileen berada. Sang kakak berusaha mencairkan suasana. Setidaknya menebus rasa bersalah karena terus berprasangka buruk pada si bungsu.

Aileen akhirnya menoleh dengan tatapan datar dan dingin.

"Kakak marah sama Mas karena dia lupa beli titipan," tukasnya berbohong, "beneran, deh!"

Aileen mengangguk. Masih dengan ekspresi yang sulit diartikan.

***

Halo, hai. Kini Pelakor Sedarah sudah revisi di platform wacaku, lho. Mampir yuk. Di sana sudah sampai di bagian 4.

Nama akun: Fitria Noormala

Salam,

Author ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro