Tuan Muda yang Tidak Tahu Apa-apa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wulan memainkan rumput di pematang sawah sambil menunggu Pratama selesai makan bersama Ki Danu.

"Kau akan tinggal di sini untuk sementara waktu, jadi kenali lingkungan ini. Wulan akan menunjukkan setiap sudut desa agar kau tahu." Suara Ki Danu melewati telinga Wulan yang seketika merasakan beban yang sangat berat. Tuan Muda itu sungguh menyusahkan. Bukankah seharusnya di usianya sekarang dia sudah berani untuk berpetualang?

"Aku akan tinggal di sini?" Pratama menghentikan suapannya dan merasa kesal karena ayahnya tidak memberitahu tentang hal itu.

"Ya, ibumu memintamu untuk belajar banyak hal di sini. Dia sedikit mengeluhkan tentang tingkahmu yang hanya bersenang-senang dengan temanmu di kota. Kau bahkan menolak untuk belajar ke padepokan di mana ayahmu dulu belajar." Wulan menoleh ke arah keduanya dan semakin yakin kalau Tuan Mudanya itu sangat manja.

"Kenapa Ibu dan Ayah tidak meminta persetujuanku terlebih dahulu?" Pratama tidak melanjutkan makannya dan menuju parit kecil untuk mencuci tangannya.

"Mereka berhak untuk memutuskan sesuatu yang menurut mereka baik untukmu" ujar Ki Danu sambil menatap cucu satu-satunya itu.

"Apa yang bisa aku pelajari di sini?" Tantang Pratama.

"Membajak dan menanam padi kurasa," sela Wulan membuat Ki danu tertawa.

"Benar, kau bisa mulai belajar dari cara menanam padi dan membajaknya, hingga nanti kau bisa mensyukuri semua yang kau punya tanpa menghamburkannya untuk hal yang tidak berguna." Ki Danu membenarkan celetukan Wulan walau dia tahu gadis itu kesal dengan tingkah Pratama.

"Yang benar saja, Kek?" Pemuda itu tidak terima, dia membayangkan membajak dan menanam padi seluas matanya memandang, pasti akan sangat melelahkan.

"Atau, kau ingin belajar membuka hutan untuk lahanmu sendiri?" Ide Wulan membuat Pratama ingin memukul gadis itu.

Ki Danu semakin tertawa, gadis itu memang sangat jujur dan apa adanya, dia akan mengatakan apa yang ingin dikatakannya, walau mungkin terdengar sangat lancang. Tapi Ki Danu menyukai keterbukaan Wulan dan membiarkannya untuk selalu mengatakan uneg-unegnya, agar gadis itu tidak merasa dikecilkan. Tidak ada salahnya mendengarkan suara dari setiap orang yang berada di rumahnya. Dan itu akan menjadi pelajaran pertama yang akan dipelajari oleh Pratama.

"Apakah Ki Danu sudah selesai? Ki Gurit dan yang lain belum datang, aku akan meninggalkan bakul itu." Wulan berdiri dan membersihkan jariknya dari tanah yang menempel.

"Ajaklah Tama untuk berkeliling, tapi ingat jangan masuk ke hutan. Masih ada beberapa harimau yang berkeliaran di tepi hutan belakangan ini," ujar Ki Danu membuat nyali Pratama menciut. Harimau katanya. "Ikutlah dengannya. Dia cukup mengenal lingkungan ini, jangan lupa pulang sebelum matahari terbenam."

Pratama mau tak mau mengikuti Wulan yang sudah terlebih dahulu berjalan. Dia menuju ke arah rimbunan pohon yang bisa jadi itu adalah hutan yang dimaksud oleh kakeknya. "Apakah kita akan ke hutan?" Pratama cemas akan keadaannya jika benar dia akan pergi ke sana.

"Apa kau tuli? Ki Danu melarangku membawamu ke sana, tapi sebenarnya aku dengan senang hati membawamu ke sana. Di sana banyak hewan dan tumbuhan liar yang bisa kau pelajari," ejek Wulan membuat pemuda itu melotot.

"Jangan macam-macam, akan kuadukan kau ke Kakek," rengek Pratama.

Wulan menghentikan langkah tiba-tiba, membuat Pratama menabraknya dan terhuyung jatuh kembali ke sawah berlumpur. Kali ini Wulan mengulurkan tangannya untuk membantu Pratama berdiri. "Adukan saja, aku rasa Ki Danu akan mengerti kenapa aku bisa bebas menentukan tindakanku padamu." Pratama tidak suka mendengarnya, dia sudah melihat sendiri bahwa kakeknya memang membiarkan gadis kurang ajar itu untuk melakukan bahkan berbicara sesuka hatinya.

"Siapa sebenarnya kau?" Pratama curiga dengan keberadaan gadis itu.

"Aku hanya pembantu di rumah Ki Danu. Ada sungai di sana, bersihkan tubuhmu nanti di sana." Wulan melanjutkan kembali langkahnya. Pratama agak terburu-buru dan berhati-hati melangkah, dia tidak ingin kembali jatuh ke lumpur, sementara gadis itu melangkah dengan cepat dan seolah tidak kehilangan keseimbangan sama sekali.

"Bukan itu maksudku. Kau sangat bebas berbicara dan bertingkah di depan Kakekku, aku ingin tahu kenapa bisa begitu," kejar Pratama.

"Dari awal Ki Danu tidak pernah melarangku untuk berbicara dan bertingkah selama itu adalah kejujuran dan bukan hal yang tidak baik. Dan aku juga bisa membedakan kapan aku bisa berbicara dan tidak." Wulan berbelok dan menuju sungai yang memisahkan hamparan sawah dengan hutan yang lebat di seberangnya. "Sana, bersihkan badanmu."

Sungai itu memiliki tanggul yang tidak begitu tinggi dan sangat lebar. Aliran sungai dari Gunung Lawu itu memiliki bebatuan yang sangat besar.

"Apakah kau akan meninggalkanku?" Pratama meminta kepastian.

"Bagaimana bisa aku meninggalkan cucu Ki Danu? Dia akan membunuhku jika kau hilang." Wulan duduk di tepian sebagai bentuk pernyataan bahwa dia akan menunggu Pratama.

Pemuda itu berjalan mundur untuk memastikan Wulan bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Setelah menyentuh air, dia duduk dan membersihkan badannya, namun matanya tidak lepas dari gadis yang sedang duduk di tepian dan memainkan batu kali. Dia tidak ingin kecolongan dan gadis itu tiba-tiba hilang dari pandangannya.

Setelah yakin badan dan pakaiannya bersih, Pratama menghamiri Wulan. "Ayo!"

Wulan mendongak dan melihat pemuda itu dari atas ke bawah untuk memastikan dia sudah membersihkan diri dengan benar. "Kita akan menyusuri sungai ini sampai perbatasan, biar kau tahu batasa desa ini dengan desa sebelah," kata Wulan sambil berdiri dan mengibaskan jariknya.

"Kau biasa berkelana sendirian? Apa kau tidak takut diculik?" Pertanyaan Pratama membuat Wulan berhenti dan menghela napasnya.

"Kan ada kau yang bisa membantuku." Wulan melanjutkan langkahnya membuat Pratama agak berlari untuk menyeyjajarkan diri dengan gadis itu.

Sepanjang jalan Wulan menjelaskan apa saja yang mereka lewati, pengetahuan Wulan tentang tumbuhan dan hewan membuat Pratama kagum. Dia sendiri tidak bisa mengenali banyaknya tumbuhan yang sudah dilewatinya tadi. Gadis itu ternyata tidak semenyebalkan yang dia perkirakan, walau terkadang kalimat yang keluar dari mulutnya adalah ejekan untuk Pratama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro