Tuan Muda dari Kota

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Wulan, nanti jika ke sawah, tolong ajak Den Pratama, biar dia tahu sawah kakeknya." Mbok Darmi menugaskan gadis yang ikut menjadi pembantu di rumah itu.

"Harus Wulan, Mbok? Kenapa tidak diantar oleh Ki Sapto?" Nada enggan sangat terasa di sana. Terlebih dia sama sekali belum mengenal dan melihat Tuan Muda itu.

"Ki Sapto sedang ke Dukuh Kertosari untuk melihat kuda bersama Ki Damar. Ki Danu sendiri tadi yang meminta Den Pratama untuk ikut ke sawah setelah istirahat." Kata-kata Mbok Darmi membuat Wulan menghela napasnya dengan kesal.

"Baiklah." Wulan kemudian meneruskan pekerjaannya menata makanan di bakul yang akan dibawa ke sawah. Matahari sudah sepenggalah, dia harus ke sawah sebelum matahari tepat berada di tengah.

Sementara Mbok Darmi menuju ruang tengah di mana Pratama sedang merebahkan tubuhnya. "Den, persiapan makanan ke sawah sudah hampir siap. Den Pratama diminta untuk ikut ke sawah oleh Ki Danu." Mbok Darmi bersimpuh di dekat tubuh pemuda tanggung yang baru datang dari kota itu.

"Jauh?" Pratama duduk dan menghadap ke wanita tua yang dulu mengasuhnya.

"Di belakang sana, Den. Nanti Wulan yang akan menunjukkan letaknya."

"Wulan itu siapa?" Nama itu asing baginya. Pembantu di rumah itu yang dia kenal hanya Mbok Darmi dan Ki Sapto.

"Dia gadis yang ikut bantu-bantu di sini, Den." Pratama mengangguk meski dia tidak tertarik dengan penjelasan itu. Badannya capek, dia berangkat dari kota saat kokok ayam pertama, ayahnya sudah sangat ribut, sementara ibunya menyiapkan sarapan mereka yang kepagian itu. Dia tidak tahu apa alasan apa yang membuatnya harus ikut ke desa.

"Mbok, aku mau berangkat," suara Wulan terdengar di pintu butulan.

"Den, ayo, Wulan sudah siap." Mbok Darmi menatap Prataman yang ogah-ogahan.

Pratama mengikuti Mbok Darmi menuju pintu butulan dan mendapati gadis yang bernama Wulan sudah membawa bakul berisi makanan. "Ini Wulan, dan ini Den Pratama."

"Tama, panggil aku begitu." Pratama menelisik gadis di depannya itu.

"Mbok, aku berangkat." Wulan mengabaikan Pratama dan mendahuluinya melewati halaman menuju pintu belakang rumah.

Mbok Darmi tahu Wulan tidak suka dengan orang yang belum dia kenal, karena dia pernah hampir dibawa oleh orang asing saat pergi ke pasar, beruntung dia diselamatkan oleh Ki Sapto. Sejak saat itu, Wulan benar-benar menjaga jarak dengan orang yang tidak dia kenal.

Wulan menyusuri jalan kecil di sepanjang parit yang menuju ke sawah Ki Danu. Juragan yang mempunyai sawah paling luas setelah Ki Demang di daerah itu. Dia bekerja di rumah Ki Danu berkat Ki Sapto yang dulu menolongnya.

"Apakah masih jauh?" Pratama mulai mengeluarkan suaranya.

"Di sana, di gubuk tengah itu." Wulan menunjuk ke arah gubuk yang tampak kecil dari tempat mereka berada.

"Jauh sekali," keluh pemuda kota itu.

"Kakekmu adalah juragan, sawahnya membentang dari sini sampai sana." Wulan menjelaskan sesuatu yang tampaknya tidak diketahui oleh cucu majikannya itu.

"Kita lewat sini?" Pratama menatap nanar pematang sawah yang sempit itu.

"Iya, kau dulu." Wulan melihat keraguan di mata Pratama.

Pratama berdiri di pematang sawah, takut untuk melangkah. Pematang itu begitu sempit, bagaimana jika dia tdak bisa menjaga keseimbangannya?

Sementara itu di belakangnya, Wulan menunggu dengan gusar. "Aku bisa terlambat, Ki Danu akan marah-marah!" Kalimat yang membuat Pratama menoleh tidak suka. Antara harga diri dan malu, Pratama melangkah dan benar saja, dia jatuh ke dalam kubangan lumpur sawah.

Sementara itu Wulan melenggang tak peduli dan melanjutkan perjalanannya yang terhambat karena Pratama. Dia sama sekali tidak berniat membantu Pratama. Yang terpenting sekarang adalah mengantarkan makanan tepat waktu.

Pratama berdiri dengan susah payah, dia mengutuk gadis itu dalam hati. Kenapa dia mau saja disuruh untuk ikut dengan gadis itu. Berjalan tertatih ke parit yang mengalirkan air bening di dekat petak sawah, Pratama menceburkan dirinya. Setelah memastikan bajunya bersih, dia dengan pelan-pelan menyusuri pematang sawah itu.

"Ki Danu, ini untuk makan siangnya." Wulan meletakkan bakul di amben bambu di tengah gubuk.

"Bukankah seharusnya Pratama ikut denganmu? Di mana bocah itu?" Ki Danu menatap pematang sawah dan melihat cucunya itu berjalan dari kejauhan.

"Dia tadi terjatuh di dekat parit sebelah sana." Wulan menunjuk ke arah kedatangan Pratama yang basah kuyup.

Ki Danu tertawa mendengarnya. Cucunya itu terlalu lama berada di kota, sehingga tak tahu bagaimana berjalan di pematang sempit, dia terbiasa dengan jalan lebar di kota.

"Kenapa kau meninggalkanku?" Pratama berteriak tak terima.

"Bagaimana bisa aku membantumu, aku membawa bakul, dan jika terlambat, aku yang akan dimarahi Ki Danu yang lapar." Wulan meminta pendapat Ki Danu dengan menatap laki-laki tua yang kini tertawa terbahak-bahak melihat cucunya basah kuyup dan kotor oleh lumpur.

"Sudah-sudah. Ayo makan, Wulan, tunggulah di sini. Nanti setelah makan, ajak anak kota ini untuk berkeliling," ujar Ki Danu membuat Wulan dan Pratama mendelik bersamaan.

"Kenapa aku?" Wulan bertanya tak terima.

"Iya, kenapa dia?" Pratama menimpali dengan tidak kalah terima.

"Karena cuma kau yang punya waktu luang, makan siang pasti sudah disiapkan Mbok Darmi, jadi tidak usah beralasan kau membantunya. Dan lagi, kalian sebaya, aku rasa kalian akan cocok menjadi teman," papar Ki Danu membuat keduanya membuang muka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro