Chapter 1 - The Beginning

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Tersedia di Gramedia

Pesan online 081219457018

Negara Puerro

20 tahun kemudian, Kota Marrach

Seorang gadis berusia sekitar 16 tahun melangkah menyusuri jalan utama desa. Manik hijaunya mengamati sekeliling. Dia telah melewati beberapa gubuk kosong dengan atap jerami yang telah rusak dimakan waktu. Tidak ada apa pun yang dapat diambil olehnya.

Rumah Desa

Perut perempuan berkulit putih itu kembali bergemuruh. Sudah dua hari dirinya belum berhasil mendapatkan makanan sedangkan ransel kulit yang dipanggul oleh bahu kirinya tinggal berisi pakaian dan beberapa kebutuhan pribadi yang tidak dapat dikunyah.

Terik matahari yang menyinari pepohonan di antara bangunan membuat dirinya gerah. Michelle menggunakan punggung tangan kanan untuk mengelap dahinya yang berkeringat. Rambut pirangnya yang sepanjang punggung telah dia ikat. Namun, musim panas memang bukan waktu yang menyenangkan untuk berkelana.

Gadis setinggi 160 cm itu meraih dan membuka tas untuk mencari tempat minum. Setidaknya dia masih bisa bertahan dengan meminum banyak cairan. Setiap dusun pasti memiliki sekurang-kurangnya dua sumur batu yang dapat mengisi botol kulitnya.

Tiba-tiba perempuan berhidung mancung itu berhenti bergerak. Bau busuk yang sangat dia kenal tercium samar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Michelle menjatuhkan ranselnya ke atas hamparan rumput lalu segera berlari mengikuti jalan utama yang berbentuk lurus.

Michelle

Gadis berwajah oval itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan besar berdinding kayu bekas peternakan. Mata hijaunya terbelalak ketika melihat sekitar enam orang pria yang berada di lapangan tempat biasanya sapi merumput sedang mengeroyok satu orang laki-laki berambut putih sebahu.

Pria yang memiliki tinggi sekitar 180 cm itu baru saja menarik pedang panjang hitam berbilah tipis yang digenggam oleh tangan kanan dari perut salah satu penyerangnya. Tetesan darah merah menetes turun dari permukaan senjata dan membasahi rumput yang diinjak oleh mereka.

Namun, laki-laki yang seharusnya jatuh tewas akibat terluka tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Suara geraman rendah yang mengerikan keluar dari kerongkongannya.

""Mayat hidup," bisik Michelle pada dirinya sendiri. Jantung gadis berbibir tipis itu berdebar cepat. Dia tidak pernah menyukai tugas yang dibebankan kepadanya.

Perempuan bertubuh langsing itu menarik perlahan pedang lebar --bermata ganda sepanjang tiga kaki yang memiliki simbol mawar merah pada gagang hitam berbentuk salib-- dari sarungnya yang terikat dipinggang lalu berjalan pelan.

Kelima mayat hidup terlihat sibuk menghadapi calon makan siang mereka. Michelle menahan napas. Aroma busuk dari bangkai berjalan yang membelakangi gadis itu membuat dirinya mual.

Suara geraman terdengar kembali dari salah satu penyerang sebelum gadis itu menggenggam pangkal pedang dengan kedua tangan lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk menebas leher mayat hidup yang ada tepat di depannya.

Raut pria yang ditolong gadis itu menunjukkan ekspresi terkejut. Manik birunya terbelalak ketika melihat satu per satu kepala bangkai berjalan terpisah dari tubuh mereka dan jatuh menghantam tanah.

Michelle bernapas tersengal-sengal. Senjata warisan almarhum gurunya cukup berat untuk digunakan oleh seorang perempuan. Gadis itu segera meraih kain dari kantong celana panjang cokelat yang dia kenakan dan membersihkan permukaan pedang sebelum mengembalikannya ke dalam sarung.

"Apa yang baru saja kau lakukan?"

Suara rendah yang berasal dari pria berumur sekitar 25 tahun itu membuat Michelle mendongak. Dia mendapati laki-laki yang baru saja ditolongnya mengerutkan kening dan menunjukkan ekspresi tidak puas. Sebuah ransel berukuran lebih besar dari milik Michelle tersampir pada pundak kirinya.

"Aku melihat kau membutuhkan bantuan," jawab Michelle lembut. "Dan bukankah sesama manusia harus saling menolong?"

Laki-laki berbahu lebar itu mengerjapkan mata. Seakan terkejut akan jawaban yang dia dengar. Manik birunya mengamati warna mata Michelle sejenak sebelum sebuah senyum mengejek mengembang pada bibirnya. "Itu benar, tetapi kau bukan manusia. Jadi mengapa kau menolongku?"

Michelle menutup mulut rapat-rapat. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan yang selalu membuat jantungnya berdenyut perih. Gadis itu menunduk untuk melihat kelima mayat yang sudah tidak lagi bergerak. Tugasnya telah selesai.

Perempuan muda itu mengabaikan pria yang masih mengamatinya dan membalikkan tubuh. Dia harus mengisi perutnya yang perih dan kegiatan yang baru saja dia lakukan membuatnya semakin lapar. Desa ini sama seperti desa-desa yang dilalui sebelumnya tidak lagi memiliki makanan.

Michelle berjalan menuju tempatnya meletakkan tas lalu memanggul benda itu. Dia memutuskan untuk mencari hutan terdekat. Setidaknya di sana dia dapat memetik beberapa buah atau berburu binatang.

Gadis itu menyapu keringat yang menetes dari pelipisnya. Danau. Akan sangat menyenangkan apabila dia dapat berendam di dalam air jernih yang dingin. Sabun beraroma mawar yang dia dapat dari salah satu gubuk kosong masih layak digunakan.

Perempuan muda yang kepanasan itu mengibaskan kemeja putih yang dipakainya beberapa kali dan terus berjalan. Tanpa dia sadari bahwa ada seseorang yang membuntutinya dari jauh.

*****

Dua jam berjalan kaki menyusuri jalanan utama kota Marrack yang berada di bagian timur Negara Puerro sama sekali tidak menyenangkan. Daerah yang berbatasan dengan Negara Zeona tidak memiliki banyak tempat untuk mencari makanan. Hampir semua sudut wilayah yang berada di dataran rendah sudah tidak lagi berpenghuni dan gadis itu tidak mau mengambil risiko untuk menuju dataran tinggi tempat Kastel Marrach. Terlalu banyak manusia yang dapat menyakitinya.

Gemericik air terdengar samar di antara deretan pepohonan hornbean yang berada di sisi kiri jalanan. Gadis itu memutuskan lamunannya dan segera melangkahkan kakinya yang dibalut sepatu bot cokelat selutut untuk menuju ke arah sumber suara.

Mata hijau perempuan itu berbinar riang ketika menemukan sebuah sungai di mana airnya berasal dari dari bebatuan bertingkat berada tersembunyi di dalam hutan kecil yang belum dijamah manusia.

Sungai

Michelle berlari ke sisi sungai lalu berjongkok. Gadis itu melepaskan pedang dan ranselnya lalu menunduk untuk meraup air dan meneguknya banyak-banyak. Beberapa ekor ikan karper bersisik kuning berukuran terlihat berkumpul di permukaan.

Gadis itu menelan ludah. Seekor ikan bakar tentu sangat nikmat. Michelle melihat sekeliling. Tempat ini aman untuk beristirahat. Tidak ada binatang buas. Hanya dia, beberapa jenis burung yang sedang berkicau, dan dua ekor jangkrik yang baru saja melompat dari salah satu semak-semak.

Matahari masih saja memancarkan panasnya. Dia dapat mencuci pakaiannya selagi berendam dan menjemurnya hingga malam tiba. Gadis itu tersenyum riang. Banyak hal yang akan dia lakukan.

Michelle bangkit berdiri lalu mulai menyusuri hutan. Gadis itu berhasil mengumpulkan ranting, memetik beberapa buah arbei, dan jamur merang. Dia membuka ransel dan mengambil panci kecil berbahan tembaga sebagai wadah makanan.

Perempuan muda itu tersenyum puas. Michelle mengeluarkan tikar lipat lalu membentangkannya di atas rumput. Sekarang tugasnya tinggal mencuci pakaian dan menangkap ikan sebelum dirinya dapat beristirahat.

Tidak membuang waktu, dirinya berjalan menuju sisi sungai. Gadis itu melepaskan sepatunya lalu melompat masuk ke dalam aliran air yang sangat menyegarkan.

Pembaca yang baik hati tolong tekan tanda bintang.^^

9 Maret 2018

Ig Benitobonita / Benitopublisher

Sumber gambar :

1. Pinterest

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro