Chapter 17 - The Rose Symbol

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Tersedia di Gramedia

IG @Benitobonita

Pesan online 081219457018 dan dapatkan diskon 20 persen + bonus

Udara pagi musim gugur yang dingin membelai kulit Michelle sehingga dirinya menggeliat dan membuka mata. Gadis itu seketika berhenti bernapas. Penyelamatnya ternyata sedang duduk dengan menyandarkan salah satu lengan ke lutut yang tertekuk dan memperhatikan dirinya.

Semburat merah muda merambat seketika pada wajah Michelle. Dia segera bangkit untuk duduk. Tanpa sadar gadis itu memakai jari-jari tangan kanan untuk menyisir rambutnya yang kusut.

"Selamat pagi," kata Michelle gugup. Rasa malu dan sedikit gembira karena Pierre tidak meninggalkannya saat dia masih terlelap membuat jantung gadis itu berdebar cepat.

Manik biru Pierre berkilat geli. Rambut Michelle  persis seperti sarang burung dan terlihat bekas lengan pada pipi gadis bermata hijau itu.

"Kau berliur," ucap Pierre tertawa kecil.

"Aku tidak berliur," bantah Michelle mengusap bibir dengan punggung tangan. Rona merah pada pipinya semakin gelap.

Pierre mendengkus mendengar kebohongan gadis itu dan melempar sebuah kantong kulit berukuran sedang kepada pemiliknya. "Siapkan sarapan."

Manik hijau Michelle berbinar terkejut. Gadis itu baru saja bangun. Dia bahkan belum sempat mencuci muka. "Hah? Apa?"

"Aku lapar," jawab Pierre lalu berbaring. Dia kurang istirahat. Tanah yang keras tidak pernah menjadi pilihan terbaik sebagai alas tidur.  "Bangunkan aku saat sudah siap."

Suara api yang membakar kayu menunjukkan bahwa pria itu telah menambah ranting baru pada dini hari. Alis Michelle bertaut menatap kantong persediaan makan yang tergeletak di dekat kakinya. Dia merasa seperti seorang pelayan. "Kenapa harus aku yang menyiapkan sarapan?"

"Itu tugas betina," jawab Pierre sekenanya lalu menutup mata.

"Jangan sebut aku betina! Itu tidak sopan!" omel Michelle ketus. Namun, pria itu hanya tertawa kecil dan membalikkan tubuh membelakangi dirinya.

Michelle mengertakkan gigi dan menarik napas dalam-dalam. Dia harus ingat bahwa pria itu telah menyelamatkannya. Dengan menggerutu, dirinya membuka ransel untuk mengeluarkan pot.

Lima belas menit berlalu. Gadis itu sudah mulai merebus kentang yang berhasil dia peroleh dari sebuah ladang yang tidak terjaga.

Tiba-tiba bau darah tercium oleh Michelle. Gadis itu mengendus sekeliling dengan alis bertaut untuk mencari asal aroma. Manik hijaunya berhenti pada pedang hitam yang tergeletak di sisi pemiliknya.

Michelle merundukkan tubuh untuk memastikan penciumannya. Bau busuk dan anyir yang mengingatkan dia akan mayat hidup membuat gadis itu mendengkus jijik lalu memundurkan badan. "Pedangmu perlu dibersihkan."

"Benarkah?" tanya Pierre tanpa membalikkan tubuh.

"Pedang yang bersih dan terawat akan lebih tajam dibanding senjata yang tidak dibersihkan, " tegur Michelle menatap punggung lawan bicaranya. "Aku tidak  heran jika pedang itu sudah lama tumpul."

"Mungkin karena aku tidak membutuhkan pedang untuk membunuh."

Tiba-tiba kejadian kemarin malam terlintas pada benak gadis itu. "Kau seorang penyihir."

"Dan kau seekor anjing kecil yang bermimpi menjadi manusia."

"Berhenti mengatakan hal yang menyebalkan berulang kali!" seru Michelle kesal. Pria itu sangat menjengkelkan!

"Baiklah," jawab Pierre singkat.

Michelle mencoba menenangkan debaran  jantungnya yang tidak beraturan lalu kembali mengulang pertanyaan yang diucapkan oleh pemimpin Ras Gwyllgi. "Bagaimana bisa? Setahuku semua penyihir sudah musnah?"

Tidak ada jawaban.

"Pierre?"

Hening.

"Pierre?" tanya Michelle sekali lagi.

Terdengar suara dengkuran yang menyatakan bahwa Pierre telah tertidur. Gadis itu terdiam sejenak sebelum kembali mengerjakan tugasnya dengan wajah cemberut.

*****

Beberapa saat ķemudian harum masakan mulai tercium. Michelle telah merebus jamur dan beberapa jenis sayuran yang berhasil gadis itu petik kemarin sore.

Pierre membuka mata. Pria itu duduk lalu memutar leher dan bahu untuk mengendurkan otot-otot tubuhnya. Manik birunya menatap piring yang berada di hadapannya dengan kening berkerut ketika dia menemukan beberapa potong buah di dalam mangkoknya.

"Anjing kecil, mengapa ada jeruk di dalam sup?"

"Apa kau tuli? Sudah kukatakan berhenti memanggilku dengan sebutan itu?!"

Manik biru Pierre beralih menatap wajah Michelle yang merah padam karena gusar. "Aku tidak pernah melihat seseorang memasukkan jeruk di dalam sup daging."

"Sekarang kau sudah melihatnya!" ucap gadis itu dengan ekspresi tersinggung. Dia tidak mau harus memasak ulang demi pria cerewet yang tidak menyukai buah jeruk!

Pierre menatap supnya tanpa minat. Dia membutuhkan tenaga dan terlalu malas untuk memasak. Pria itu menarik napas dalam-dalam dan menyendok sarapannya.

*****

Manik hijau Michelle berbinar terkejut melihat pria di depannya tidak memulai ritual sebelum makan. "Apa kau tidak mengucapkan rasa syukur kepada Ibu Suci Lana terlebih dahulu?"

Pierre tersedak. Potongan daging yang berada di mulut terlontar keluar ketika pria itu tertawa keras.

"Apa yang lucu?" tanya Michelle mengerutkan dahi. Pria di depannya sering sekali tertawa atas hal-hal yang sama sekali tidak pantas untuk dijadikan gurauan.

Pierre berusaha menghentikan tawa. Dengan tersengal-sengal dia berkata, "Seekor anjing meminta seorang penyihir untuk berdoa. Kau pintar sekali bercanda."

"Yang pertama aku bukan anjing!" bentak Michelle tidak suka dengan sebutan yang diberikan pria itu, "dan yang kedua, semua keturunan Ibu Suci Lana harus mengucapkan syukur atas berkah yang diterimanya."

Tawa Pierre kembali meledak, bahunya bergetar hebat.  "Kau ... bodoh ... sekali."

"Berhenti menertawaiku!" teriak Michelle kesal. Pria itu selalu menganggapnya seperti badut berjalan.

Pierre berusaha menuruti perintah gadis itu. Namun,  dia berulang kali gagal. Tawa kecil masih lepas dari bibirnya.

"Kau menyebalkan!" umpat gadis itu menatap geram ke arah Pierre dengan kedua pipi merona merah.

Kedua mata pria itu berkilat jenaka memperhatikan reaksi yang diberikan Michelle. Dia sangat menyukai gadis lucu yang sedang menatap marah ke arahnya.

Akhirnya Pierre dapat berhenti tertawa setelah mengerahkan seluruh kemampuan yang dia miliki.  Manik birunya beralih kepada senjata yang tergeletak di atas tikar "Siapa yang memberikan pedang itu padamu?"

"Untuk apa aku memberitahumu?" tanya Michelle cemberut. Gadis itu kembali memakan sarapannya.

Alis Pierre kembali bertaut. Dia sepertinya pernah melihat simbol mawar yang berada pada gagang pedang. Pria itu meraih senjata milik Michelle lalu mengeluarkannya dari sarung.

"Kembalikan pedangku!" omel Michelle berusaha meraih kembali senjata miliknya. Namun, Pierre mengabaikannya dan mengangkat tinggi pedang berbilah lebar itu lalu mengamatinya.

"Senjata yang hanya dimiliki oleh seorang ksatria," gumam Pierre dengan ekspresi penasaran. "Pemilik pedang ini adalah seseorang yang penting di istana."

Gerakan Michelle terhenti. Gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali. "A-apa?"

"Dari mana kau dapatkan senjata ini?" Kembali pria itu bertanya.

"Seorang pria tua memberikannya kepadaku," jawab Michelle, "dia bahkan mengajariku cara menggunakannya."

Pierre menoleh ke arah Michelle dan mengamatinya dengan seksama. Liontin dari emas dan pedang milik seorang ksatria. Masa lalu gadis itu tentu menarik untuk ditelusuri.

Mungkin dalam pengembaraannya dia akan teringat di mana dirinya pernah melihat simbol itu. Pria itu  menyarungkan dan meletakkan senjata di sisi lalu kembali meraih mangkuk yang isinya sama sekali tidak menggugah selera dan menghabiskannya secepat mungkin.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

14 Maret 2018

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro