Chapter 19 - Black Sword

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Tersedia di Gramedia

IG @Benitobonita

Pesan online 081219457018 dan dapatkan diskon 20 persen + bonus

Suara benda tajam membelah kayu mengisi suasana hening di hutan perbatasan antara Richister dan Lavonna. Peluh menetes turun pada dahi gadis yang  bernapas tersengal-sengal. Beberapa potong kayu sudah tersusun rapi di sampingnya.

Michelle meletakkan kapak yang dipinjamnya dari gubuk tempat gadis itu berteduh lalu duduk di atas tumpukan dedaunan dan bersandar pada batang pohon maple yang sudah gundul. Dia meraih tempat minumnya yang hampir kosong lalu kembali meneguk isinya hingga habis. Pakaian hangatnya tergeletak di atas batang pohon tumbang.

Gadis itu mengibas-ngibaskan kemeja cokelatnya yang basah kuyup. Sudah dua hari Michelle menghabiskan waktu untuk ke hutan. Pengalamannya tahun lalu di mana dia hampir mati membeku akibat kurangnya persediaan kayu bakar membuat dirinya memutuskan untuk menyimpan lebih banyak persediaan.

Rambut pirang Michelle yang tersampir juga terasa lepek. Suara gemuruh terdengar dari perut gadis itu.

Sudah waktunya menangkap ikan, pikir Michelle. Gadis itu menoleh ke arah sungai yang belum membeku.

Michelle menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Matahari sedang merangkak naik ke puncak. Suhu paling hangat yang bisa dia dapatkan untuk menceburkan diri ke dalam sungai. Gadis itu bangkit berdiri lalu beranjak untuk menangkap makan siangnya.

*****

Pierre mengenakan baju tebal dan berjalan santai menyusuri jalan alternatif menuju perbatasan Richister dan Lavonna. Bibir pria itu tersungging senyum. Satu lagi tempat yang harus dikunjungi sebelum dia memiliki waktu untuk bersantai sejenak hingga musim semi tiba.

Langkah penyihir itu berhenti sejenak. Jalanan  dipenuhi dedaunan keemasan dan merah yang rontok dari pepohonan. Alam memang sudah bersiap menyambut musim dingin.

Pierre merogoh saku celana lalu menarik keluar liontin emas yang sering sekali digenggamnya. Gadis itu seharusnya berkeliaran di sekitar sini.

Manik biru pria itu menangkap jejak cairan merah samar yang terbawa olehnya dan berdecak. Dia sepertinya tidak sengaja menginjak genangan darah saat kunjungan ke kuil terdekat.

Tiba-tiba suara segerombolan orang berlari mendekat masuk ke dalam pendengaran Pierre. Pria itu memutar tubuh dan langsung berhadapan dengan 10 orang tentara Puerro. Seorang laki-laki berambut merah yang menunggang kuda hitam berada di barisan paling belakang.

"Penyihir! Demi kejayaan Puerro dan Ibu Suci Lana, kami akan memusnahkanmu!"

Senyum mengejek mengembang pada bibir Pierre. Penyihir itu memasukkan kembali kalung milik Michelle lalu memiringkan kepala untuk mengamati para tentara yang mengepung dirinya. "Begitukah?"

Sepuluh laki-laki berseragam biru bersimbol Puerro menarik keluar pedang dan menggenggam tameng pada tangan kiri mereka.

Angin dingin berembus menerbangkan rambut Pierre saat pria itu menarik keluar pedang hitamnya lalu mengangkat senjatanya tinggi hingga berkilau terkena cahaya dan berkatalah dia. "Wahai pedang hitam yang diberkati oleh darah, kuberikan manusia-manusia di hadapanku sebagai persembahan untuk memuaskan hasratmu."

Seketika terlihat asap tipis bewarna hitam kemerahan menari bagai ular melilit senjata itu. Manik biru Pierre berbinar riang ketika pemimpin pasukan berteriak, "Bunuh dia!"

10 tentara bergerak bersamaan dari berbagai penjuru. Namun, belum juga mereka berhasil mendekat, Pierre mengangkat tangan kiri lalu berseru, "Rantai!"

Rantai sihir hijau melesat dan membelit leher salah satu tentara. Suara tercekik dari pria itu ketika Pierre menggepalkan jari-jarinya lalu menyeret korbannya mendekat dengan kecepatan mengejutkan.

Empat tentara lain jatuh tersungkur akibat Pierre menggunakan korbannya sebagai sandungan. Penyihir itu menyeringai lalu menusuk punggung laki-laki yang tercekik.

Para tentara berhenti seketika saat rekan mereka yang tertawan gemetar hebat seperti tersengat. Pria itu mendongak dan mulutnya terbuka lebar lalu mengeluarkan suara tersedak. Semburat hitam menyebar melebar dari luka yang terbuat.

Pierre menghilangkan mantra dan menarik keluar pedang hitam dari tubuh korban yang langsung jatuh menghantam tanah. Ekspresi ngeri terbayang pada wajah prajurit yang menyaksikan kejadian.

Manik biru pria itu berbinar geli ketika dia kembali mengarahkan telapak tangannya ke arah tentara lain yang mengeluarkan suara ketakutan lalu mengelak mundur. Pedang hitam yang digenggam pada tangan kanannya terlihat meneteskan darah merah.

"Apa yang kalian lakukan!" bentak Sir Karel dari balik helm besinya. "Serang dia!"

Mereka terdiam sejenak sebelum dua orang prajurit berteriak nyaring lalu berlari mengangkat senjata ke arah Pierre. Namun, kaki mereka mendadak beku.  Suara geraman terdengar dari jenazah yang seharusnya sudah tidak dapat lagi bergerak.

Pierre tertawa kecil saat tentara pertama miliknya bangkit berdiri. Dengan lengan masih terangkat, penyihir itu berkata dengan nada yang mengalun. "Bunuh mereka."

Mayat hidup berjalan terseok-seok mengikuti perintah tuannya. Sedangkan sang penyihir kembali bergerak cepat untuk menambah bala pasukan.

*****

Matahari masih menggantung tinggi di langit saat Michelle berjalan bungkuk memanggul kumpulan kayu bakar. Lokasi hutan dan dusun kosong yang gadis itu tempati walau tidak terlalu jauh, tetapi harus melewati daerah bebatuan.

Butiran keringat mengalir turun dari pelipis Michelle dan tenggorokannya terasa kering. Dia menurunkan beban yang dibawa untuk meraih botol dan meneguk isinya.

Sayup-sayup  pendengaran Michelle menangkap jeritan kesakitan dan keributan. Gadis itu segera meninggalkan barang-barangnya lalu berlari ke arah sumber suara.

*****

Enam mayat hidup berjongkok memakan bangkai tentara terakhir. Tiga jenazah lain telah tergeletak bersimbah darah dan kehilangan sebagian besar daging mereka. Aroma anyir tercium pekat di sekitar medan pertempuran.

Pierre tertawa geli dan terus melangkah mendekati pemimpin pasukan. "Kau pengecut. Kau mengatakan akan membunuhku, tetapi malah bersembunyi di belakang mereka."

Kedua kaki laki-laki berambut merah itu gemetar hebat. Pertama kali dalam hidupnya, dia melihat seorang pria yang menghilangkan nyawa seseorang sambil tersenyum. Iblis. Dengan keberanian terakhir yang dimilikinya, dia berlari menyerang sang penyihir.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

15 Maret 2018

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro