Chapter 20 - Destroy The Sword

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Tersedia di Gramedia

IG @Benitobonita

Pesan online 081219457018 dan dapatkan diskon 20 persen + bonus

Pierre mendongak dan tersenyum kecil menatap gerakan seekor tupai merah. Binatang itu memanjat pohon walnut untuk masuk ke dalam lubang yang ada di batang.

Pria itu masih menggenggam senjatanya dan membiarkan aliran darah yang membasahi permukaan luruh ke atas tanah. Satu tempat lagi dan tugas tahun ini akan berakhir.

"Pierre!" Terdengar suara seseorang memanggilnya.

Penyihir itu menoleh dan manik birunya berbinar. Michelle berdiri tidak jauh dari dirinya. Napasnya yang tersengal-sengal menunjukkan gadis bodoh itu datang dengan berlari.

"Halo anjing kecil, sepertinya kita bertemu lagi," sapa Pierre riang. Dia memang berencana akan mengunjungi gadis itu sebelum pulang ke kastel. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Michelle memandang Pierre dengan tatapan tidak percaya. Dia melihat adegan terakhir di mana pria itu membunuh pemimpin tentara dengan terkekeh.

Pierre memiringkan kepala dan melangkah mendekat. "Kau terlihat aneh. Apa ada manusia atau anjing liar yang mengganggumu lagi?"

Michelle tersentak mundur dengan jantung berdebar. Pria yang selama ini selalu menolongnya ternyata adalah seorang pembunuh! "Ja-jangan dekati aku!"

Pierre berhenti seketika. Tetesan darah terakhir meninggalkan permukaan pedang. Pria itu menghela napas. Dia masih memiliki satu tugas lagi.

"Baiklah," kata Pierre singkat. Dia lalu membalikkan badan hendak pergi meninggalkan Michelle. Masih ada waktu untuk bermain-main dengan gadis itu di lain kesempatan.

Manik hijau Michelle berbinar terkejut. Gadis itu tidak menyangka ditinggal begitu saja. "Kau mau ke mana?!"

Penyihir itu menghela napas letih. "Aku masih mempunyai urusan lain."

Jantung Michelle hampir berhenti berdetak. Bayangan Pierre membunuh manusia lain berkelebat dalam benaknya. Gadis itu maju beberapa langkah. "Kau tidak boleh pergi!"

Pierre kembali membalikkan tubuh dan mengerutkan dahi. Anak anjingnya tiba-tiba menjadi sangat cerewet. "Kau aneh sekali hari ini. Apa kepalamu terbentur sesuatu?"

"Kau memanggilku lalu mengusirku dan sekarang kau menahanku. Jadi cepat putuskan apa yang kau inginkan. Aku benar-benar sedang sibuk.

Mayat-mayat hidup yang baru tercipta sudah tidak sabar untuk bergerak mencari mangsa lain. Suara aneh berupa geraman dari tenggorokan mereka terdengar semakin keras.

"Kau membunuh mereka," bisik Michelle lalu kemudian dia berteriak, "kau merubah mereka menjadi mayat hidup!"

"Berhentilah berteriak," sahut Pierre menutup salah satu telinga. "kau membuat kupingku sakit."

"Aku membuatmu apa?" tanya gadis itu dengan mimik muka tidak percaya. "Kau baru saja membunuh manusia dan aku tidak boleh berteriak?!"

"Oh sudahlah!" bentak Pierre marah. Gadis itu mengingatkan dirinya dengan saudara angkatnya yang juga kesulitan menutup mulut. "Katakan keperluanmu atau pergi. Aku benar-benar sibuk!"

Michelle terdiam seketika. Lidah gadis itu mendadak kelu. Manik hijaunya menunjukkan rasa terluka.

Pria itu mengertakkan gigi. Dia tidak membutuhkan masalah baru. "Aku pergi."

"Tidak, kau tidak boleh pergi!" teriak Michelle menggunakan tubuhnya untuk menghalangi langkah pria itu. Tangannya secara otomatis menarik senjata dan menebas mayat hidup yang berada di dekatnya.

"Berhenti menghancurkan mereka! Pekerjaanku tidak akan pernah usai bila kau terus menerus memenggal mayat-mayat itu!" omel Pierre dengan wajah tidak suka. Sebuah kepala menggelinding bebas di atas tanah.

"Apa kau sudah gila?!" Michelle balas membentak.

Pierre menghela napas. Tiba-tiba dia tidak lagi nyaman berada di dekat gadis itu. "Minggir."

"Tidak," kata Michelle. Suara gadis itu gemetar menahan marah. Dia berkewajiban untuk menolong manusia, tetapi ternyata pria yang mengisi mimpi-mimpinya adalah seorang penyihir gila yang haus darah.

"Menyingkir dari depanku!" bentak Pierre mulai habis kesabaran. Dia seharusnya sejak awal tidak berurusan dengan gadis siluman yang mengalami halusinasi akut.

Michelle menggelengkan kepala. Pria itu tidak boleh menambah dosa! Direntangkan kedua tangan lebar-lebar untuk mencegah Pierre melarikan diri.

Lima mayat hidup mulai berjalan sambil menyeret kaki tidak tentu arah. Pandangan mata mereka kosong seakan tidak tertarik dengan adegan adu mulut yang sedang memanas.

Pierre berusaha mengontrol emosi dengan sekeping kesabaran yang masih dimiliki. Gadis yang terlihat hampir menangis di hadapannya bukan ancaman, hanya luar biasa bodoh.

Pria itu menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga amarahnya terkendali. Akhirnya dengan suara tenang Pierre kembali bertanya, "Baiklah apa yang kau inginkan?"

Michelle menggigit bibir. Manik hijau gadis itu mengamati satu-satunya orang yang bersedia menjadi temannya. Setelah berpikir keputusan terbaik, dia berkata, "Berikan pedangmu."

Pierre tersenyum geli mendengar permintaan Michelle. "Pedang ini tidak cocok untuk kau mainkan. Aku akan mencarikan kau sebuah tulang bila gigimu gatal."

"Berhenti mengejekku dan berikan pedang itu!" bentak Michelle jengkel. Pria itu masih saja mengejeknya!

Alis Pierre bertaut dan membalas tatapan gadis itu dengan ekspresi heran. "Kau sudah memiliki sebuah pedang, untuk apa lagi pedang ini?" 

"Sehingga kau tidak bisa membunuh manusia lagi," bisik Michelle. Mendung menggelayuti manik hijaunya saat menatap mata biru pria itu.

Mereka saling memandang dalam diam. Aroma anyir darah tercium ketika angin dingin berembus ke arah utara. Kedua tangan Michelle secara refleks menggenggam pangkal pedang dan menebas leher mayat hidup yang melintas terlalu dekat.

Mata Pierre melebar. Dia baru saja berhasil memperoleh 7 mayat hidup baru dan gadis itu dengan seenaknya memenggal tentaranya.  "Anjing kecil, berhenti bermain dengan mereka. Ambil senjata ini dariku."

Pria itu mengangkat dan mengarah ujung pedang hitamnya ke arah Michelle. "Kuberi waktu hingga langit berubah warna menjadi jingga. Bila kau gagal berjanjilah untuk tidak lagi menggangguku."

Michelle menahan napas. Dia harus dapat merebut pedang itu tanpa melukai pemiliknya.

Tidak membuang waktu, gadis itu memajukan kaki kanan dan mengayunkan senjatanya sekuat mungkin ke arah pedang hitam untuk mematahkan benda itu.

*****

Manik biru Pierre berkilat melihat arah serangan. Gadis bodoh itu sama sekali tidak berusaha melukainya. Dia segera menurunkan lengan dan mundur dengan cepat sehingga tebasan Michelle hanya memotong udara.

Michelle menggenggam kuat pangkal senjata. Kedua kakinya melebar. Perhatian gadis itu terpusat sepenuhnya kepada senjata terkutuk yang memiliki aroma menyengat.

Permukaan pedang Pierre terlalu tipis. Gadis itu yakin cukup mengadu kedua senjata untuk mematahkannya. Michelle kembali berlari menyerang untuk menjalankan niatnya.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang. ^^

16 Maret 2018

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro