Chapter 3 - Not a Human

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Pemesan online 081219457018
Tersedia di Gramedia
IG @Benitobonita

Mata merupakan jendela hati,
dari warna mata manusia bisa mengetahui banyak hal.

Mata kuning emas melambangkan jiwa makhluk yang terkutuk, binatang dari neraka yang mengambil wujud manusia.

Sedangkan mata hijau keemasan melambangkan makhluk yang tidak diinginkan surga ataupun neraka, makhluk yang akan mengambil kehidupan wanita yang melahirkannya.

*****

Langit sudah berganti warna menjadi jingga ketika Michelle berjalan keluar dari dusun tidak berpenghuni yang berada di dekat perbatasan Kota Marrack dengan Kota Richister yang berada di bagian tengah Negara Puerro.

Setelah meninggalkan beberapa barang miliknya dengan tergesa-gesa. Gadis itu akhirnya berhasil mendapatkan kembali sebatang sabun, dua potong pakaian laki-laki seukuran dirinya yang masih layak pakai, dan panci kecil untuk memasak.

Wajah manisnya kembali tertekuk ketika teringat kejadian menjengkelkan yang harus dia alami. Setelah harus berurusan dengan si pencuri sabun, gadis itu juga beberapa kali terpaksa menebas leher mayat hidup yang berkeliaran di daerah sekitar.

Michelle mengernyitkan dahi. Jumlah bangkai berjalan semakin banyak dari tahun ke tahun. Empat tahun silam makhluk itu hanya merupakan mitos dari penduduk Kota Lavonna yang berada di sisi paling barat Negara Puerro. Namun, saat ini, mereka dapat ditemukan hampir di setiap daerah yang dia lalui.

Padang rumput yang membentang luas pada sisi kanan dan kiri masih ditumbuhi pepohonan berbatang keras. Jalanan utama yang dilapisi oleh kerikil halus mulai menurun menuju dataran yang lebih rendah. Gadis itu berhenti sejenak. Dia mendongak untuk melihat rombongan burung gotwit yang melintasi langit untuk mencari tempat berteduh.

Manik hijau gadis itu berkilat cemburu dan jantungnya berdenyut perih seketika. Tanpa sadar, Michelle mengangkat tangan kanan dan jemarinya menyentuh bagian kerah kemejanya tempat liontin emas yang dikalungkan pada lehernya tersembunyi.

Mungkin sudah saatnya dia pulang. Sebentar lagi akan memasuki musim gugur. Hari ulang tahun almarhum neneknya. Michelle menggenggam satu-satunya peninggalan dari perempuan yang telah merawatnya. Ujung hidung gadis itu memerah dan matanya mulai berkaca-kaca.

Tiba-tiba terdengar teriakan minta tolong seorang laki-laki dari kejauhan. Michelle menarik napas cepat. Manik hijaunya segera melihat sekeliling untuk mengetahui arah suara. Seruan kembali terdengar dari sisi kiri padang rumput. Gadis itu mengentakkan bahu kiri agar ranselnya tidak merosot lalu segera berlari dan masuk di antara sela-sela pepohonan.

*****

Keadaan sudah semakin gelap bahkan bulan sabit telah menggantung tinggi di atas langit ketika Michelle melihat sosok seorang pria yang berpenampilan lusuh sedang berjongkok di pinggir sebuah lubang besar buatan manusia.

Gadis itu berhenti berlari ketika jarak mereka tinggal beberapa meter. Michelle sedikit berjongkok untuk meletakkan ranselnya di atas rumput lalu berjalan mendekat. "Ada apa?"

Laki-laki paruh baya itu tidak mendongak. Perhatiannya tercurah kepada sesuatu yang berada di dasar lubang. "To-tolong istriku terjatuh."

Michelle ikut berjongkok. Rambut pirangnya yang terkuncir jatuh menutupi sebagian wajahnya. Liang dengan diameter hampir 200 cm itu sangat gelap. Membuat dia terpaksa memajukan tubuh untuk memeriksa keadaan.

Seorang wanita muda yang memakai gaun terusan --khas penduduk desa-- dengan rambut terikat duduk dalam posisi kaki yang aneh. Michelle tidak dapat mengetahui warna pakaian yang dikenakan oleh perempuan itu. Sama seperti biasanya, setiap kali kurang pencahayaan, maka kemampuannya membedakan warna mendadak menghilang menggantikan kesanggupan melihat di dalam gelap.

"Hei, apa kau tidak apa-apa?" tanya gadis itu menunduk serendah mungkin. Lubang jebakan yang sepertinya diperuntukkan untuk mayat hidup cukup dalam, sekitar 100 cm.

Wanita itu mendongak dan terbelalak menatap mata hijau Michelle yang bersinar dalam gelap lalu menjerit ketakutan. "Si-siluman!"

Suami perempuan itu tersentak kaget. Dia memalingkan wajah memandang Michelle dan jatuh terduduk dengan tubuh gemetar. "Ku--kumohon, jangan bunuh kami!"

Michelle menahan napas. Lagi-lagi warna matanya membawa masalah! Dia memundurkan tubuh dan membalas tatapan pria itu. Manik hijaunya yang berkilat tertimpa cahaya bulan sudah merupakan bukti yang cukup bahwa dirinya memiliki darah campuran.

Gemetar pada tubuh pria itu semakin hebat. Siluman bermata hijau adalah makhluk kejam yang terlahir dengan mengambil energi kehidupan dari wanita yang melahirkan mereka. Monster yang membunuh ibu kandungnya sendiri sesaat setelah dilahirkan.

"Kumohon tenanglah," ucap Michelle letih. "Aku hanya ingin membantu kalian."

Tiba-tiba tubuh gadis itu menegang. Bau busuk bangkai berjalan tercium tidak jauh dari tempat mereka berada. Mata hijaunya berkilat cemas. "Kalian harus segera pergi. Beberapa mayat hidup menuju ke tempat ini."

Wanita yang berada di dasar lubang terkesiap. Mereka akan tewas apabila berpapasan dengan monster kanibal yang selalu merasa lapar.

"To-tolong … kumohon … tolong aku," seru perempuan itu mengiba.

Michelle menggigit bibir. Dia dapat dengan mudah melompat. Namun, wanita yang kakinya cidera itu membutuhkan alat bantu agar dapat keluar dari dalam liang.

Tiba-tiba sebuah ide tercetus. Michelle segera bangkit berdiri dan bergegas menuju deretan pepohonan. Gadis itu mencari tanaman rambat yang  cukup panjang dan menarik keluar pedang untuk memotongnya.

Jemarinya dengan cekatan menganyam benda itu menjadi tali. Michelle mencoba kekuatannya sebelum melilitkannya ke batang pohon terdekat dan meminta pria yang sedari tadi duduk mengamatinya untuk memegang ujung tali.

"Pegang tali ini. Aku akan turun dan melilitkan ujungnya ke pinggang istrimu. Kau bisa menariknya ke atas."

Laki-laki itu menatap ngeri wajah Michelle. Tidak berani melawan, dia menerima tali itu dengan tangan gemetar.

Michelle menghela napas dan mengabaikan reaksi pria itu. Udara malam yang semakin dingin membawa aroma bangkai lebih pekat dari sebelumnya. Waktu mereka semakin sempit.

Gadis itu berjongkok di sisi lubang. Jemari tangan kanan Michelle menggenggam erat tali yang dapat menyelamatkan wanita yang terperangkap lalu melompat turun.

Aroma tanah yang mengelilingi mereka mendominasi bau lainnya. Michelle segera mengikatkan ujung tali ke tubuh perempuan yang menutup mata rapat-rapat. Wanita itu tidak berani melihat sosok monster yang mewarisi darah Kaum Gwyllgi --anjing hitam yang berasal dari neraka-- .

Michelle mengertakkan gigi melihat reaksi perempuan yang dia tolong. Terbersit keinginannya untuk membiarkan mayat hidup memakan mereka. Namun, berat pedang yang tergantung pada pinggang lagi-lagi membuatnya teringat akan kewajibannya.

Gadis itu mendongak lalu berteriak, "Kau bisa menariknya sekarang!"

Dengan bantuan Michelle dari bawah, perlahan tubuh perempuan itu terangkat naik. Gadis itu bahkan membiarkan kepalanya diinjak sebagai pijakan dan meninggalkan bekas tanah di antara rambutnya yang baru saja dia cuci bersiih.

Michelle memutuskan untuk keluar setelah wanita itu telah berhasil diselamatkan. Dia sedikit menekuk lutut lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk melompat. Kedua tangannya berhasil mencengkeram sisi liang. Namun, ketika dirinya bergelayut dan hendak naik, tiba-tiba sesuatu menghantam bagian belakang kepalanya. Gadis itu terbelalak saat rasa sakit merebut kesadarannya dan tubuhnya seketika jatuh menghantam dasar lubang.

Pembaca yang baik hati tolong tekan tanda bintang.^^

9 Maret 2018

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro