Es Susu Milo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perkara Cinta; Es Susu Milo



Bayu agak menyesali keputusannya untuk ngajak nongkrong anak-anak Eska di warkop hari ini. Masalahnya yang bisa datang bukan anak yang hobi ke warkop.

"Bang Ical love this bakwan banget."

Bayu sempat melongo waktu dengar seisi warkop kasak kusuk perihal ada yang datang dengan mobil mahal dan orang itu adalah Felixiano Halim, manusia yang menyentuh warkop berkat paksaan Aji jaman SMA.

"Bang, di sini ada saos tomat kan?"

Kepala Bayu mengangguk. "Mau gue mintain, Sa?"

"Nggak usah, Bang, gue aja. Kayaknya Bang Gofar masih inget gue."

Bayu cuma mengangguk. Jelas Bang Gofar -yang punya warkop- inget Esa. Di saat Aji sama Calvin dan Ino ketawa ngakak di warkop, Esa bela-belain ke sini cuma buat nyeret mereka ke Masjid untuk sholat Jumat.

"Bang, mau nambah susu Milo boleh?"

Lagi-lagi Bayu mengangguk. "Mau gue pesenin?"

Jusuf menggeleng. Bibirnya melengkungkan senyum yang membuat kedua lesung pipinya terlihat dan mata bulan sabitnya makin sipit. "Nggak usah. Ada Bang Esa kan di sana?"

Kalau Jusuf udah senyum kayak gitu, siapa pun juga akan lemah dan mengiyakan apa pun permintaan adik paling kecilnya ini.

"Iya. Bilang aja ntar yang bayar gue."

Di antara semua anak Eska, tiga orang ini yang paling nggak cocok dengan lingkungan warkop. Keberadaan ketiganya terasa memberi jarak pada orang-orang yang memenuhi meja-meja warkop dibawah pohon ceri ini.

Bayu nggak keberatan dengan kedatangan mereka bertiga, ia cuma merasa salah tempat. Apalagi hanya dia seorang yang jadi tandem ketiganya di sini. Aji, Calvin, dan Ino yang biasa nongkrong hari ini absen karena satu dan lain hal —baca, bucin dan sok sibuk—.

"Konter gimana, Lix? Aman?"

Felix yang dari awal kedatangannya sibuk menghabiskan sepiring bakwan dengan sambal kacang itu mengangguk. "Diomelin paps, because the debt."

"Kok gitu?"

"He said, I'm too kind."

"Valid."

Felix tertawa yang kemudian menular pada Bayu. Siapa pun yang mengenal Felix akan setuju hal itu.

Esa dan Jusuf datang nggak lama kemudian dengan nampan yang terisi penuh. Semangkuk mie rebus lengkap bersama telur dan sawi, sebotol saos tomat, segelas es susu milo punya Jusuf dan sepiring bakwan yang masih hangat.

"Saos tomat buat apa, Sa?" tanya Felix melihat Esa yang akan menuang saos ke atas mie rebusnya.

"Buat mie-nya lah, Bang Felix ada-ada aja."

Felix terkekeh. "Oiya."

Bayu menggeser piring bekas mie gorengnya ke samping, menarik piring berisi bakwan yang barusan di bawa Esa ke hadapannya. Bakwan di sini adalah bakwan terbaik, plus sambal kacangnya juga juara!

"Suf, minum es banyak-banyak emang boleh sama Bunda?"

Jusuf menoleh ke arah Esa yang duduk di sampingnya. "Boleh, kan Bunda nggak tau."

Bayu mendelik. "Nggak gitu dong, Suf."

Wajah Jusuf mendadak keruh. "Cuma minum es susu milo doang, Bang, bukan minuman alkohol segala macem. Masih dimarahin aja."

Bukan cuma Bayu yang terdiam mendengar reaksi Jusuf yang nggak biasa. Esa bahkan menghentikan kunyahannya demi menoleh ke arah anak paling muda di Eska itu.

"We're just asking, Suf."

"Nanya tapi ujungnya dimarahin. Gue udah gede kali, nggak perlu sering dilarang ini dan itu. Kayak nggak pernah muda aja."

Bayu dihantam kenyataan, mendengar langsung adik paling kecilnya ini mengucapkan kata 'gue' di depan mereka. Bayu tau Jusuf udah bukan anak kecil, Jusuf udah kuliah, Jusuf yang dulu selalu pulang pergi naik jemputan dan ojek online sekarang punya motor sendiri dan bahkan SIM.

Jusuf Nagara, adik kecilnya yang sekarang udah besar. Jusuf adiknya yang sekarang berani mengungkapkan ketidaknyamanannya. Jusuf yang sekarang bisa marah padanya.

"Suf, marah?" tanya Bayu hati-hati yang langsung dapat gelengan kepala.

"Muka gue emang gini, Bang. Nggak marah, cuma sebel aja."

Bayu masih belum terbiasa tapi ia harus membiasakannya. Ia nggak bisa terus-terusan merasa kaget dengan perubahan sikap Jusuf yang menunjukkan sisi lain dirinya, sisi yang biasanya ditunjukkan pada teman-teman sebayanya. Bagaimana pun juga manusia akan terus berkembang.

"Suf, you're cool."

Seberapa banyaknya perubahan Jusuf, adik kecilnya ini masih Jusuf yang sama. Yang kalau dipuji langsung senyum lebar, yang matanya menyipit persis bayi rubah, yang cahaya matahari pun iri padanya.

"Maaf ya, Suf. Kalau kami-kami suka nanya atau larang ini itu," ucap Esa setelah sekian lama terdiam.

Jusuf mengangguk setelah menyesap es susu milonya. "Nggak marah, Bang. Cuma kesel aja kalo tiap gue ngelakuin apa-apa pasti dibilang 'emang bisa?', 'emang boleh?', 'emang tau?'. Gue udah kuliah kali, sampe kapan kalian anggep gue anak kecil terus?"

Bayu nggak bisa jawab karena baginya Jusuf akan selamanya jadi adik kecilnya yang manis. Sedangkan Esa cuma mengedipkan matanya berulang kali. Lalu Felix, masih dengan bakwan di tangan mengangguk.

"I know what you feel, Suf." Felix mengangguk, menatap Jusuf tepat di mata. "Mungkin yang lain masih kaget sama perubahan lo."

"Maaf, Bang, kalo kesannya nggak sopan ngomong pake gue-lo kayak gini. Tapi, tolong lihat gue selayaknya cowok umur sembilan belas tahun yang udah kuliah dan wajar cuma buat nambah es Milo dua kali," jelas Jusuf panjang dengan nada serius. 

"Sorry, ya, Suf. Gue nggak tau kalo selama ini lo ngerasa gitu." Bayu menggaruk kepalanya. Menyesal, terlambat menyadari perasaan Jusuf selama ini.

"Iya, Bang, maaf juga kalo tadi gue ngomongnya terlalu keras."

Bayu nggak bisa menahan senyumnya melihat Jusuf yang tersenyum lebar dengan kedua mata menyipit. Dalam hati Bayu bersyukur, Jusuf memilih bicara tentang hal ini dari pada tiba-tiba berubah dan lari dari mereka.

Tangan Bayu terarah untuk mengacak rambut Jusuf dengan gemas yang langsung dibalas teriakan adik kecilnya itu.

"BANG! GUE BARU KERAMAS!"

"I'm still amazed, denger Jusuf ngomong 'gue'."

"Ayis sama Aji kalo denger pasti nangis-nangis."

•×•

Adek udah besar tapi tetap, di mata kami semua adek masih adek kiciw!
Sayang adekkkk

Makasih buat yang udah baca, vote dan komen!
Makasih!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro