Hari Berhujan dan Yupi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perkara Cinta ; Hari Berhujan dan Yupi





Satu dari sekian banyak hal menyebalkan saat musim hujan adalah kedatangannya yang tiba-tiba, kadang tanpa pertanda yang membuat semua orang nggak punya persiapan apa pun untuk menghadapinya.

Termasuk Aji yang sialnya lupa masukin jas hujan yang baru kering ke jok motor, membuatnya terpaksa tertahan lama di kampus demi menyerahkan tugas yang sedang di print out.

"Bang! Punya gue belom?" teriak Aji pada abang-abang percetakan yang kayaknya udah bosen ditanya berulang kali.

"Belom! Masih dua lagi!"

Kalau Aji bawa jas hujan, udah dipastikan ia akan cari percetakan lain yang antrinya masih masuk akal, bukan malah di sini, di satu-satunya percetakan langganan seisi kampusnya karena letaknya yang berada di gang samping kampus. Antrinya persis antrian konser.

Aji kadang bingung, padahal tadi pagi langit cerah ceria berwarna biru dengan sinar matahari yang terik, tapi cuma butuh tiga jam untuk berubah jadi mendung kelabu dan berhujan. Alam memang nggak bisa ditebak, salahnya juga nggak bersiap walaupun ini musim hujan. Aji udah merelakan jemurannya yang mungkin akan basah lagi gara-gara hujan ini.

Tangannya merogoh ponsel di kantung jaketnya. Baterenya tinggal lima puluh persen dan ia masih nggak tau harus menunggu di sini berapa lama.

"Bang!"

"Apa lagi?!"

"Tuh warung depan kapan buka sih?" tanya Aji menatap ke warung mie di seberang percetakan, tempat biasanya Aji nongkrong sambil nunggu printout atau fotocopy-an tugas.

"Pulang kampung katanya, mah, gue juga bingung makan siang apaan inih!"

Kepala Aji mengangguk-angguk. Walaupun jawabannya nggak sesuai sama yang ditanya, seenggaknya Aji punya gambaran kalau sang pemilik warung pulang kampung dan nggak tau kapan akan kembali.

Sebuah mobil warna hitam berhenti di depan warung, menghalangi Aji yang sedang membaca deretan menu yang dipajang di bagian etalase. Seorang cewek keluar dari mobil, dengan folder map di tangan.

Nggak ada yang spesial dari penampilannya. Kemeja kotak yang tak dikancing sepenuhnya, menampakkan kaos warna putih di dalamnya, celana jeans biru dan sepatu converse. Tampilan basic mahasiswa mana pun. Tapi, mata Aji nggak beralih dari cewek itu sejak mobil hitam meninggalkannya di depan warung.

Mata Aji masih setia mengikuti cewek itu, yang kemudian menerobos hujan dengan bantuan folder map untuk menutup kepalanya, converse di kakinya beradu dengan kardus yang ditaruh di pelataran percetakan, lalu tangannya mengusap tetesan air hujan yang ada di wajahnya. Semua itu nggak luput dari pandangan Aji, termasuk saat cewek itu tersenyum pada abang-abang percetakan dan duduk di bangku keramik seberangnya.

Aji nggak tau apa yang menarik dari cewek berkemeja itu. Matanya seolah enggan lepas darinya, bahkan saat cewek itu mendongak dan balik menatapnya, Aji nggak bergerak. Tubuhnya seolah dipaku di tempatnya, memaksanya hanya menatap pada cewek itu yang kemudian menaikkan satu alisnya dengan tatapan tanya.

Aji mematung. Tubuhnya membeku. Seluruh fokusnya mengabur seiringi hanya manik mata hitam dari jarak satu setengah meter itu merangsek masuk ke dalam otaknya dan memicu gelenyar aneh dalam dadanya.

Cewek itu kemudian bangkit dan mengantongi ponsel di saku kemeja. Mata Aji masih nggak bisa lepas dari cewek itu yang sekarang berdiri di depan etalase kaca percetakan, mengekuarkan sejumlah uang dari saku jeansnya pada abang-abang percetakan.

"AJI!"

Panggilan itu menyentaknya. Aji mendongak dan mendapati abang-abang percetakan lainnya menatap ke arahnya.

"Hah?!"

"Punya lo nih udah."

Aji buru-buru bangkit dan matanya melirik sekilas ke arah cewek itu yang sedang memeriksa hasil printout dengan kening berkerut.

"Berapa, Bang?"

"Lima belas."

Aji mengeluarkan dompetnya, memberikan selembar uang dua puluh ribu pada Abang percetakan. Lagi-lagi ia mencuri pandang ke arah cewek yang berdiri setengah meter di kanannya.

"Nggak juling tuh mata ngelirik mulu?"

Aji nyengir dan menerima selembar pecahan lima ribuan itu. "Makasih, Bang!"

Dahi Aji mengernyit begitu tangannya masuk ke kantung jaket untuk menaruh uang kembalian. Dua bungkus yupi yang terselip di sela tangannya memberinya ide.

Ditatapnya cewek berkemeja itu yang sedang sibuk dengan ponsel, lalu tatapannya beralih pada yupi di tangannya. Dalam sekali anggukan, Aji melangkah yakin.

Aji merasa asing dengan perasaan ini, seolah hatinya sudah lama nggak berdebar begitu kencangnya hanya karena seseorang. Maka, saat ia sampai di depan cewek itu, seluruh skenario singkat yang tadi dibuatnya untuk mengenal cewek di depannya ini buyar.

"Kenapa?" tanya cewek itu dengan dahi berkerut dan tatapan aneh.

Tenggorokannya mendadak kering, suaranya yang biasa lantang dan heboh mendadak lenyap di depan cewek ini.

"Mau yupi nggak?"

Dan dari semua kalimat yang bisa dipakai untuk acara perkenalan ini, yang keluar dari mulutnya adalah soal yupi.

"Oh, ya, boleh."

Aji memberikan yupi di tangannya pada cewek itu. Nggak ada sentuhan di antara mereka tapi tangan Aji gemetar. Ia bersumpah ini bukan dirinya.

"Makasih."  Kebodohan kedua.


KENAPA GUE YANG BILANG MAKASIH?!

Cewek itu mengulum senyum geli. "Makasih."

Aji cuma bisa ngangguk sambil memaki dirinya sendiri dalam hati.

Udah cupu banget, segala bego bilang makasih duluan. Nggak ada harga dirinya banget sih lo, Ji!

Dering dari ponsel cewek itu menyadarkan Aji kalau cewek di depannya ini akan beranjak.

"Duluan," ujar cewek itu pada Aji dan buru-buru memutar tubuhnya untuk berlari kecil menuju mobil hitam yang menunggu di seberang jalan. Rambut hitam sebahunya bergoyang seiring langkahnya di bawah rintik hujan.

Aji masih mematung di tempatnya berdiri, dengan sebungkus yupi di genggaman dan tatapan yang nggak lepas dari cewek itu yang sudah masuk dalam mobil, meninggalkan Aji dengan penyesalan yang menghantamnya sesaat kesadarannya pulih.

"KENAPA GUE NGGAK NANYA NAMANYA SIH?!"

•×•

Selamat datang Neng Yupi!

Wkwkwkwkw

Makasih buat yang udah baca vote dan komen! Makasih!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro