Sereal Tengah Malam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perkara Cinta ; Sereal Tengah Malam

Bayu mengusap wajahnya sambil menguap, ia menutup pintu toilet dan berjalan terseok-seok menuju ruang tengah apartemen Calvin yang udah disulap jadi penampungan masal.

Sofa abu besar jadi milik Kirino, Felix dan Aji berpelukan di karpet bulu depan televisi, Esa di sebelah Jusuf yang punya otoritas untuk dapat bantal paling besar, sedangkan Haris meringkuk di bagian ujung karpet dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Dahi Bayu berlipat, ada satu orang yang menghilang dan orang itu adalah pemilik apartemen ini.

Kemana tuh anak?

Kedua mata Bayu tertumbuk pada kotak sereal di atas meja dapur. Setelah berpesta ayam bakar, gulai tikungan, sepaket pizza beserta pendampingnya plus kopi kekinian dan martabak manis juga martabak telur pun, anak itu masih kelaparan. Bayu geleng-geleng kepala dan melangkah ke pintu balkon.

"Ada yang masih laper kayaknya," seloroh Bayu begitu melihat Calvin bersandar di kursi balkon sambil memangku semangkuk sereal.

"Lumayan lah. Permintaan maaf ke perut karena makan nggak layak."

Bayu terkekeh. "Gue mau bikin-."

"Jangan mie lagi, Bang. Tolong."

Bayu mengedikkan bahu. "Gue cari sisa-sisa yang ada."

Nggak lama Bayu kembali ke balkon dengan nampan berisi dua kaleng susu beruang, seporsi spaghetti yang Calvin ingat datang bersama pizza, dan brownies buatan Felix.

Calvin mendecak. "Ngopi bang, bukan nyusu."

"Kebanyakan kafein nggak bagus, Cal."

"Kebanyakan mie juga nggak bagus, Bang."

Tawa Bayu hampir meledak kalau ia nggak ingat ini tengah malam dan semua anak-anak di dalam sedang tidur pulas.

"Tumben lo makan sereal."

"Dibeliin nyokap."

Bayu kembali mengangguk, tangannya mengaduk spaghetti yang udah dingin dan menambahkan saus tomat. Calvin di sampingnya menatap dengan jengah. Bang Bayu ini unik kalau nggak mau dibilang aneh. Nggak suka pedes, nggak suka minum kopi, nggak minum cola tapi bisa melek sampai subuh buat nugas dan jadi budak proker. Satu-satunya hal yang bikin Calvin yakin bang Bayu masih normal adalah abangnya ini akrab dengan mie instan seperti layaknya mahasiswa lain.

"Banyak pikiran?"

Calvin menyuap sesendok sereal ke mulut, mengunyah dalam diam tanpa menjawab pertanyaan Bayu. Bukannya nggak mau jawab, Calvin cuma nggak tau gimana jawabnya.

"Aaaah! Masih enak nih walaupun dingin," ujar Bayu sebelum kemudian memasukkan suapan terakhir spaghetti ke mulut dan mengunyahnya dengan wajah bahagia.

Calvin nggak kaget saat melihat kecepatan Bayu menghabiskan makanannya, udah terlatih karena jadi manusia organisasi yang terbiasa bergerak cepat.

"Lo kenapa?"

"Ini makan," jawab Calvin asal yang bikin Bayu terkekeh.

Setelah menyingkirkan bungkus spaghetti, Bayu beralih membuka kotak brownies buatan Felix.

"Lo kalo kenapa-napa cerita aja, Calvin."

"Makasih, Bang. Tapi." Calvin terdiam sejenak, matanya menatap langit malam yang sepi tanpa bintang. "Jujur aja, gue nggak suka cerita."

Bayu menoleh, pandangannya berubah serius. "Kenapa?"

"Gue nggak mau kelihatan lemah aja," jawab Calvin setelah meyakinkan dirinya kalau Bayu nggak akan tersinggung dengan ucapannya atau pun menilainya buruk.

Walaupun ia yakin, baik Bayu ataupun anak-anak Eska nggak akan pernah menilainya dengan pandangan negatif, tapi tetap aja, Calvin takut perasaannya ini membuat mereka yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri menganggapnya nggak bisa diandalkan.

"Kenapa lo mikir gitu?" tanya Bayu setelah memberikan jeda pada obrolan mereka. Bayu paham, Calvin butuh waktu.

"Orang-orang biasa nganggep gue sebagai Calvin yang selalu bisa diandelin. Akan lucu kalo tiba-tiba gue ngeluh," terang Calvin. Mangkuk sereal yang tinggal separuh itu ia taruh di atas nampan depan Bayu.

"Tapi, lo juga manusia. Yang bisa capek, yang bisa suntuk, yang bisa sedih dan itu normal," ujar Bayu memutar tubuhnya ke arah Calvin.

"Gue nggak biasa, Bang."

Kedua alis Bayu terangkat naik, ekspresinya menunjukkan ke-tidak pahaman atas ucapan Calvin.

Calvin menghela napas panjang. Dihiraukannya tatapan Bayu yang intens padanya. "Gue nggak biasa bergantung sama orang lain, selama ini gue selalu bergantung sama diri gue sendiri. Selama gue bisa sendiri, akan gue lakuin sendiri."

"Tapi, kadang ada masanya gue suntuk sama hidup. Gue pengen ngeluh. Gue pengen teriak. Gue pengen bilang capek. Di titik itu, nyemangatin diri sendiri juga nggak guna. Energinya nggak nyampe. Gue nggak tau lagi harus pegangan kemana, selain ke diri gue sendiri yang juga udah sama-sama capek."

Lagi-lagi Calvin menghela napas, lebih dalam dan panjang dari sebelumnya. Seolah ada sesuatu yang menghimpit dadanya sampai sesak. "Gue kira masih nggak pa-pa, gue tahan-tahanin aja. Tapi, ternyata makin gue tahan, gue ngerasa makin mati rasa."

Ctak!

Bayu menyodorkan kaleng susu beruang yang barusan dibuka pada Calvin. Sambil bergerak membuka susu untuk dirinya sendiri, Bayu tersenyum tipis.

"Gue paham. Lo nggak perlu bantuan orang lain buat cari solusi masalah lo, karena lo udah tau jawabannya apa. Lo cuma butuh cerita aja," ujar Bayu panjang, ditatapnya Calvin dengan senyuman yang lebih lebar.

"Nggak gampang, Bang. Buat cerita ke lo kayak gini aja gue ngerasa nyesel karena kelihatan lemah."

"Makanya jadi beban pikiran, karena lo nggak cerita. Kadang berbagi cerita itu bikin hal-hal negatif di kepala keluar setengahnya," kekeh Bayu. "Dan nggak, lo nggak lemah karena cerita hal kayak gini. Lo manusia, Calvin, bukan robot," lanjut Bayu, menyesap susu sapi murni itu sampai tandas.

Calvin ikut menyesap susu beruang di tangannya. Kata-kata Bayu berputar di otaknya bersamaan dengan setitik perasaan lega di sudut hatinya yang sempat kelabu.

"Gue tau masih susah buat mulai terbuka karena biasanya lo selalu mikirin sendiri, tapi coba deh. Lo punya gue, punya anak-anak Eska. Cerita aja kalo kenapa-napa. Gunanya temen itu kan?"

Calvin mengangguk. Seringainya terbit di sudut bibir. "Kalo Aji denger, pasti dia bakalan bilang gue cupu."

Bayu mendecak. "Anak itu, siapa juga dia bilang cupu. Yang nggak cupu cuma Teh Melody."

Tawa Calvin berderai, nggak begitu lepas seperti biasanya tapi seenggaknya lebih baik dari pada hari-hari sebelum ini. "Makasih Bang, udah dengerin."

"Iya sama-sama. Lo bisa cari gue kapan pun, Calvin. Lo bisa cari anak-anak yang paling deket sama lo. Kalo belum cukup berani, lo bisa ekspresiin perasaan lo dengan hal lain."

Calvin memberikan tatapan tanya. Bayu mendecak, menaruh kaleng susu kosong di atas nampan.

"Gambar asal, nulis diary, nyanyi kenceng-kenceng, joget-joget. Apa pun itu, ekspresiin perasaan lo."

"Lo kayak gitu?" tanya Calvin.

Bayu mengangguk. "Iya. Nyanyi kenceng-kenceng kadang joget sampe encok."

"Joget apaan?"

"KPop gara-gara adek gue. Tuh anak lebih sayang cowok-cowok Korea dari pada gue."

Tawa Calvin menyembur, Bayu menatap itu dengan senyuman lebar. Calvin Antares, di antara semua adiknya di Eska, mungkin Calvin yang terlihat paling nggak peduli, galak juga arogan, tapi sebenarnya Calvin punya hati yang lembut, lebih lembut dari pudding sedot bikinan Bunda Jusuf.

"Makasih banyak, Bang. Nggak tau lagi, kalo nggak ada lo sama anak-anak, gue jadi apaan?" Kekeh Calvin dengan pundak yang lebih rileks.

"Sama-sama, Calvin. Makasih juga udah bersedia cerita. Gue tau, itu hal besar buat lo jadi gue menghargai keberanian lo. Hebat!" balas Bayu menepuk pundak Calvin berulang kali.

Hembusan angin malam membelai lembut wajah Calvin dan tanpa disadarinya ikut membawa pergi separuh beban pikirannya.

Calvin menatap Bayu yang sedang mengunyah brownies Felix dengan penuh arti. Untuk semua hal yang telah mereka lewati dan untuk semua hal yang akan mereka hadapi ke depannya, Calvin  bersyukur ia punya orang-orang terbaik di sisinya. Orang-orang yang siap menopang punggungnya, menariknya dari kejatuhan dan melangkah bersamanya sampai nanti, sampai akhir nanti.

•×•


•×•

Prediksi gue salah, sampe sekarang MV 'Ta' belum rilis wkkwkwkwkw

Btw, sesuai judul postingnya tengah malem dan plis banget dengerin Streetlight karya Changbin di yucub.
Ngetik ini sambil dengerin itu mewek nggak udah-udah

Makasih banyak buat yang udah baca, vote dan komen!
Makasih!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro