08 || Dingin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku benar-benar tidak tahu lagi harus mencari suamiku ke mana. Aku juga sama sekali tidak bisa memahami jalan pikirannya yang tidak pulang lebih dari tiga hari hanya untuk mencari kucing hitam itu. Astaga, apa dia benar-benar mencari kucing atau mencari istri kedua?

Ini sudah memasuki hari kelima dan Bang Jun masih tidak bisa dihubungi. Baterai ponsel habis tentu saja wajar karena, ya, mau nge-charge ponsel dengan apa? Dia hanya membawa ponsel, dompet, dan jaketnya saja. Bahkan aku tidak bisa membayangkan betapa baunya suamiku kalau dia sungguh tidak mandi selama lima hari terakhir. Masa iya nebeng di masjid?

Sejak hari ketiga Bang Jun tidak menunjukkan tanda-tanda kepulangan, aku pun mengajukan izin untuk mengerjakan laporan penelitian di rumah. Rutinitasku setelah bangun tidur selalu mengerjakan laporan di rumah kopi dengan menghadap ke jalan raya. Tak jarang pekerjaanku jadi selesai lebih lama karena aku terlalu sering menengok ke luar dan memperhatikan dengan seksama orang-orang yang berlalu lalang. Kadang, ada pelanggan rumah kopi yang berhenti di depan halaman, lalu mereka pergi lagi setelah melirik—dan mungkin membaca—tulisan Kami masih tutup, ya! yang tergantung di depan pintu.

Tentu saja aku tidak mengabari ibu mertua kalau sampai sekarang Bang Jun belum pulang. Lagipula, mereka pun tidak menanyakan kabar Bang Jun setelah kejadian itu. Apa mereka memang setidak peduli itu atau memang tidak mau ikut campur terlalu jauh dengan rumah tangga anaknya?

Tapi, bukannya anak tunggal justru biasanya sangat dimanja dan diperhatikan oleh orang tuanya?

Sejak kejadian Tamtam yang dibuang begitu saja hingga membuat Bang Jun cosplay jadi Bang Toyib yang nggak pulang-pulang, aku mulai merasa ada yang tidak beres dengan keluarga suamiku. Saat pendekatan dulu memang Bang Jun jarang menceritakan perihal keluarganya. Begitu pula saat kami sudah menikah. Hanya sekali dua kali suamiku menyinggung soal keluarganya, seperti saat ia menanyakan alasanku tidak suka dengan kucing.

Ah, kucing!

Kalau kata Bang Jun, dulu Tamtam kan selalu balik ke rumah kopi walaupun pergi ke mana-mana. Namun, kenapa sekarang kucing itu pun tak tampak batang ekornya?

"Meaow!"

Sebentar, apa aku salah dengar?

Aku—yang masih menjalankan rutinitas dengan bekerja di rumah kopi sembari menanti suami pulang dari penjelajahan lima harinya—spontan membeku dengan posisi sepuluh jari mengambang di atas keyboard laptop. Mataku melirik ke pintu rumah kopi dan melihat ke luar lewat jendela terdekat.

Tidak ada siapa-siapa.

Haha, apa aku mulai memiliki halusinasi suara kucing karena merasa bersalah dengan Tamtam?

"Meaow, mmrreaw!"

Hei, suaranya ada lagi!

Aku pun bangkit dari duduk dan membuka pintu rumah kafe.

"Astaga, Tamtam!" Aku tidak menyangka aku akan mengucapkan dua kata keramat itu saat melihat kucing kesayangan suamiku berdiri di depan rumah kopi dengan kondisi yang ... Oh, tidak!

"Tamtam, kamu kenapa? Dari mana? Ini kenapa kakimu diangkat sebelah? Aduh, aku nggak berani gendong kamu tapi .... Aduh, gimana ini?"

"Tamtam!"

Aku menoleh mendengar suara yang selama lima hari ini hilang dari kehidupanku. Suara yang aku nantikan di setiap pagi dan malamku. Suara yang selalu menyapa para pelanggan dengan ceria dan lembut itu terdengar sangat serak dari kejauhan.

"Bang Junpei! Ya ampun, Abang ke mana aja?" Aku berlari menuju suamiku yang tampangnya tak karu-karuan. Lupa kalau ada kucing hitam dengan kaki terangkat sebelah yang tadi mengeong melas di depan pintu.

Belum sempat aku sampai dan melihat kondisi suamiku dari dekat, ia sudah berlari melewatiku. Ke mana lagi kalau bukan menuju kucing hitam dengan kaki sebelah yang terangkat itu?

"Tamtam! Aku cari kamu ke mana-mana. Untung kamu tahu jalan pulang. Maafin aku, Tam. Maaf."

Suara Bang Jun begitu lirih dengan serak yang masih jelas terdengar. Suaranya juga sangat lembut, terlebih ketika ia memeluk kucing hitam yang kakinya menggantung hampir menyentuh tanah. Aku menghampiri keduanya dengan perlahan karena ingin mencoba mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.

"Berhenti!"

Aku tersentak di tempat. Kurang tiga langkah lagi aku sampai di samping suamiku, tetapi perintah itu sukses membuatku terguncang.

"Jangan dekat-dekat kami. Gara-gara kamu, Tamtam jadi kayak gini!"

What?

"Bang, maksudnya apa? Aku nggak ngerti." Aku menggeleng cepat. "Abang yang nggak pulang lima hari tanpa kabar. Abang yang baru muncul sekarang. Apa Abang nggak tahu segimana khawatirnya aku?"

Terdengar tawa kecil dari Bang Jun. Tawa mengejek, terdengar meremehkan ucapanku barusan. "Bukannya kamu seneng Tamtam dibuang sama Ibu? Kalian sekongkol, kan?"

"Ya ampun, Abang. Kamu segitunya mikir buruk tentang aku?"

"Iya! Nyesel aku nikah sama orang yang sok-sok-an mau jadi ibunya Tamtam, padahal cuma mau bikin dia hilang dari hidup aku. Kamu, Ibu, Bapak, sama aja. Egois."

"Bang Jun!" Tanganku yang berusaha menangkap lengan suamiku ditebas mentah-mentah olehnya.

"Ayo, Tam. Biar kuobati kakimu. Pasti sakit banget."

Aku hanya bisa terdiam membeku dan akan selalu membeku setiap kali melihat punggung suamiku menjauh perlahan-lahan dari pandangan. Seingatku, setelah kami menikah, aku belum pernah digendong dengan begitu tulus, lembut, dan penuh kehati-hatian seperti cara Bang Jun mengangkat hingga menggendong Tamtam. Sebenarnya, apa yang salah di sini? Apa yang salah dariku? Dari kami semua?

Tanpa kusadari, air mataku mulai meluruh. Aku bisa merasakan seluruh badanku bergetar hebat dengan jantung yang berdegup cepat dan membuat sesak semakin menjadi-jadi. Kakiku lemas. Aku pun jatuh terduduk di depan pintu rumah kopi sambil menahan air mata yang terus memberontak.

Seolah langit mendukung situasi ini, seperti di drama-drama yang kutonton kala waktu senggang, hujan tiba-tiba datang dengan derasnya. Anehnya, langit masih terlihat cerah dengan cahaya matahari yang tidak tertutup mendung. Namun, angin besar bertiup kencang seperti akan badai. Apakah semesta juga sedang kehilangan jati dirinya seperti aku? Apakah semesta juga sedang kebingungan dengan pergantian cuaca sepertiku yang bingung dengan transisi kehidupanku?

Aku tidak mungkin tidak memanfaatkan situasi ini. Rasa sesak dan kebingungan yang mendera pikiranku sejak menjalankan pernikahan bersama suami yang terobsesi dengan kucing sungguh melelahkan. Teriakan tak mampu lagi kutahan. Di tengah derasnya hujan, aku pun mengeluarkan seluruh emosi yang tertahan. Aku tidak tahu apa yang kurasakan.

Aku bingung.
Aku marah.
Aku kecewa.

Aku tidak tahu.

Aku seperti orang bodoh yang hanya mengisi hari-hari mengharapkan cinta sepenuhnya dari lelaki yang di matanya hanya ada seekor kucing hitam. Apakah mungkin manusia sebegitunya dengan hewan? Ini yang tidak waras aku atau suamiku, sih?

Aku benar-benar bisa gila.

Tampaknya, aku tidak bisa memendam semua ini sendiri. Andai saja orang tuaku masih ada, andaikan orang tuaku meninggalkan adik sebagai teman hidupku, mungkin aku bisa kembali pada mereka. Namun, untuk apa mengharap yang sudah tiada?

Jika suami tidak mau menanggapi, mertua pun tak mungkin kuceritakan tentang hal ini, apalagi teman-temanku, sepertinya aku harus mencari orang lain untuk membantuku mengurai semua hal aneh bin membingungkan ini.

***

~1084 words~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro