09 || Aku Tidak Gila

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak. Aku mencari psikolog bukan karena aku gila.

Namun, aku butuh pandangan lain yang mungkin lebih memahami kondisiku dan suamiku. Sejujurnya, aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Suamiku tidak lagi membuka rumah kopinya meski sudah pulang sejak dua hari lalu. Dia juga tidak mau berbicara padaku dan hanya menghabiskan waktu bersama Tamtam. Makanan yang kusediakan ia makan setelah aku masuk ke kamar dan mengerjakan hal-hal yang perlu kuselesaikan. Aku seperti tidak ada di sana.

Aku tahu, mungkin Bang Jun sangat mengkhawatirkan Tamtam. Terlebih lagi, ternyata salah satu kaki depan kucing itu terluka. Rasanya, sama seperti saat Bang Jun pertama kali memutuskan untuk merawat Tamtam. Aku tidak tahu apa yang berseliweran di pikiran Bang Jun. Apakah istrinya tidak sepenting itu untuk diperhatikan?

Aku merasa ada obsesi yang aneh dalam diri Bang Jun kepada kucing. Pikiran bahwa suamiku itu sedikit tidak waras mulai memenuhi imajinasi liarku. Namun, tentu saja tidak kubiarkan liarnya imajinasi menguasai pikiranku yang terdidik ini. Aku pun menjelajahi internet dan mencari-cari informasi berkaitan dengan obsesi terhadap hewan peliharaan.

Anehnya, justru banyak penelitian yang mengatakan bahwa merawat hewan peliharaan seperti kucing atau anjing bisa meningkatkan kesejahteraan hidup dan kesehatan mental. Lantas, apa yang terjadi pada Bang Jun?

Sebentar.

Apa ini?

Aku menemukan sebuah jurnal yang menjelaskan tentang adanya hubungan antara rasa keterikatan pada hewan peliharaan dengan ciri-ciri gangguan psikologis seperti post-traumatic stress disorder, depresi, dan simtom kejenuhan berlebihan. Membaca jurnal ini membuat keinginanku semakin tinggi untuk mengonfirmasinya pada orang yang memang mengerti.

Siapa lagi kalau bukan psikolog?

Maka, di sinilah aku berdiri. Di depan rumah sakit daerah yang memiliki layanan psikologi—berbayar tentunya, karena kalau pakai BPJS harus dapat rujukan dulu. Sambil melangkah masuk, aku berulang kali menyugesti diri bahwa bukan aku yang butuh pertolongan psikologis. Aku hanyalah perantara untuk membantu suamiku yang tampaknya mulai menjauh dari realita dan peran hidup yang sesungguhnya.

"Permisi, Mas. Mau ke poli psikologi bisa?" tanyaku pada petugas administrasi. Untungnya tidak pakai asuransi, ya, seperti ini. Tidak perlu masuk ke antrean yang luar biasa panjang dan mendapat pelayanan paling awal. Tampaknya, uang memang dibutuhkan untuk segala hal, ya. Termasuk percepatan layanan kesehatan di rumah sakit seperti ini.

"Bisa, Mbak. Sudah pernah ke sini sebelumnya?"

Percakapan seputar pendaftaran dan hal-hal berbau administrasi lainnya pun berlangsung selama kurang lebih lima menit hingga aku diminta untuk menunggu di depan poli psikologi. Kata Mas Administrasinya, nanti aku diminta konfirmasi ke perawat jaga poli karena sebelumku ada pasien yang masuk. Biasanya, satu pasien butuh 30-60 menit sekali sesi dengan psikolog.

Yah, anggap saja aku memberi waktu untuk diriku sendiri bebas dari rumah, dari kucing yang menguasai penuh perhatian suamiku, dan tentu saja dari suami yang tak tampak memiliki kepedulian apalagi cinta pada istrinya ini.

Aku menghabiskan waktuku—kurang lebih 15-30 menit lagi kalau kata perawat jaga poli—untuk mencari tahu lebih jauh soal jurnal yang kubaca sebelumnya. Memang, kebanyakan penelitian mampu menjelaskan bahwa merawat hewan peliharaan bisa meningkatkan kualitas hidup seseorang. Namun, belum ada yang meneliti hubungannya terkait ciri-ciri gangguan mental.

Hanya saja, aku jadi bertanya-tanya, apa benar Bang Jun memiliki sisi lain yang belum kuketahui soal kemungkinan gangguan mentalnya? Tapi, rasanya memang aneh jika ia sampai sebegitunya pada seekor kucing. Logikaku masih tidak bisa menerima semua itu. Sebenarnya, bisa saja aku menanyakan hal ini pada temanku yang dari jurusan psikologi. Namun, entah mengapa aku tidak percaya untuk menceritakan kondisiku. Aku takut. Entah takut pada apa.

"Atas nama Larasati Aliesha!"

Keasyikan melamun sambil membaca berita-berita gosip—jurnalnya sudah kututup sejak tadi karena membuatku semakin pusing—aku jadi tidak sadar bahwa sudah giliranku. Tampaknya, perawat sudah memanggil namaku beberapa kali karena aku baru mendengar saat suara perawat itu lantang dan ia berdiri di sampingku.

"Oh, iya, Mbak."

Mbak Perawat yang memanggilku lantas tersenyum dan mempersilakan untuk masuk ruang psikolog. Nama psikolog itu sudah kuhafal karena aku pun mencari informasi tentangnya setelah bosan dengan jurnal-jurnal tadi.

Chandra Alvito, M.Psi., Psikolog.

"Selamat siang, Mbak Larasati. Silakan duduk."

Wah, aku tidak tahu kalau ruangan psikolog bisa berbeda dengan ruangan dokter-dokter lain. Jika biasanya di ruang dokter ada sebuah ranjang periksa yang mendampingi meja kerjanya, di ruangan psikolog bernuansa biru muda nan kalem ini ada satu sofa solo dan sofa panjang di pojok ruangan berwarna abu-abu. Ada juga sebuah kursi cokelat besar seperti kursi pijat yang mendampingi mereka.

Saat disuruh duduk, aku bingung di mana aku harus duduk. Di sofa? Di kursi biasa tempat pasien duduk depan meja kerja dokter?

"Kita duduk di sini saja, ya, Mbak."

Aku melihat lelaki dengan snelli putih dan nametag bertuliskan nama serta gelar psikolognya itu berjalan menuju sofa abu-abu dengan papan jalan digenggam tangan kirinya. "Oh, iya, Mas."

Mas? Pak? Dok? Yang jelas bukan Kakak. Psikolog dan dokter itu beda, jadinya aku menahan diri untuk tidak memanggil Dok. Aku memilih memanggilnya Mas karena ia masih terlihat muda untuk dipanggil Pak.

"Baik, Mbak Laras, ya?"

Sepertinya dia memastikan caranya memanggil namaku benar. Jadi, aku mengangguk saja. Agak canggung, sih, karena ini pertama kalinya aku duduk berhadapan dengan psikolog. Biasanya, kalau sama dokter, ada meja tinggi yang membatasi. Sofa-sofa ini tak memiliki meja sehingga kami benar-benar berhadapan dengan posisi L.

"Terima kasih karena sudah datang ke mari. Saya Chandra, psikolog yang akan mendampingi Mbak Laras di sesi kali ini. Ada yang bisa saya bantu, Mbak?"

"Em, ini saya langsung cerita aja apa gimana? Saya belum pernah ke psikolog soalnya." Tidak, ini bukan untuk terlihat bodoh. Aku hanya ingin memastikan bahwa apa yang kulakukan benar karena ini benar-benar terasa berbeda, tidak seperti jika aku ke dokter.

"Silakan, Mbak. Boleh diceritakan keluhannya apa."

Aku memutar mataku. Memikirkan awal yang tepat untuk memulai semua kegelisahanku. Entah mengapa, dadaku tiba-tiba sesak dan bibirku bergetar. "Sebentar, ya, Mas. Saya bingung mau mulai dari mana."

"Hmm, tidak apa-apa, Mbak. Tampaknya, ada banyak hal yang memberatkan hati, yang sangat mengganjal sampai mau cerita pun bingung dari mana."

Astaga. Dia peramal atau apa? Mengapa dadaku seperti tertancap pisau?

Sadar, Sha. Bukan kamu yang kenapa-kenapa, tapi suamimu! Batinku memberontak.

"Ah, benar. Suami saya, Mas. Dia itu kayaknya, kok, obsesi banget sama kucingnya? Saya sebagai istrinya nggak pernah dapet kasih sayang yang bener-bener dari suami saya. Kayak ... Apa, ya? Setiap dia pulang atau berangkat kerja, yang ditanya duluan itu kucingnya. Nggak pernah dia nanyain saya dulu."

Mas Chandra mengangguk-angguk sambil menatapku dan menuliskan perkataanku pada catatannya.

"Saya nemu jurnal, katanya kalo terlalu terikat sama hewan peliharaan, itu ada tanda-tanda gangguan jiwa. Emang bener, ya?" Akhirnya. Benar, cukup sampai sini saja. Aku hanya ingin mengonfirmasi kondisi suamiku.

"Baik, sebenarnya, banyak hal yang menjadi tanda dari gangguan jiwa. Namun, kita tidak bisa hanya menilai dari satu atau dua hal saja. Ada latar belakang yang perlu dikonfirmasi sebelum benar-benar memastikan apa yang terjadi."

"Oh, gitu."

"Mbak Laras ke sini untuk menanyakan kondisi suami Mbak?"

"Iya, Mas. Soalnya nggak mungkin saya ajak dia ke psikolog. Dia aja nggak mau ngomong sama saya."

"Biasanya, kalau saling nggak mau ngomong berarti ada sesuatu yang terjadi, ya."

"Iya, Mas. Dia itu beberapa hari kemarin nggak pulang ke rumah karena ...."

Aku pun tanpa sadar menceritakan semua hal yang terjadi dalam kehidupan pernikahanku pada orang asing di depanku ini. Walaupun dia psikolog, tetap saja dia asing. Namun, aku pun tidak tahu mengapa aku bisa, dalam waktu singkat, percaya dan menceritakan semuanya as if dia adalah teman baikku. Padahal, dia hanya mengungkapkan apa yang kurasakan tanpa kusampaikan dengan jelas, seperti cenayang.

".... Jadi, ya, saya ke sini sebenernya mau mastiin aja. Apa ada yang nggak beres sama suami saya."

"Benar. Mbak Laras pasti capek banget, ya, menghadapi perilaku suami yang nggak sesuai harapan. Mungkin saat melihat saya pun, Mbak Laras khawatir saya tidak bisa memahami apa yang terjadi dalam hidup Mbak."

"Iya, tapi saya nggak nyangka kalau Mas Chandra beneran kayak cenayang. Bisa tau gitu apa yang saya rasain, apa maksud saya. Padahal kayaknya cerita saya amburadul banget kayak telur orak-arik."

Astaga, Sha. Bisa-bisanya bawa telur orak-arik ke sini. Sejujurnya, aku takut lelaki di hadapanku ini menganggap aku gila juga. Tapi sepertinya—

"Suami yang kuharapkan bisa mengerti aku, bisa menyayangi aku, ternyata tidak seperti yang kuharapkan. Semuanya sama saja dan lagi-lagi aku yang tidak pantas untuk disayangi."

Aku tertegun mendengar Mas Chandra tiba-tiba mengucapkan kalimat-kalimat itu. Bahkan, pikiranku pun terhenti sesaat.

"Lagi-lagi aku yang tidak layak untuk dicintai dan lagi-lagi aku yang akan menjadi satu-satunya yang ditinggalkan." Mas Chandra menarik napas panjang. "Berat, ya, menjadi yang tertolak, lagi dan lagi?"

Astaga. Apa yang psikolog ini lakukan padaku?

Mengapa badanku bergetar?

Mengapa aku ... menangis?

***

~1429 words~


bring back this Chandra!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro