13 || Godaan Mantan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak mau bilang ini untung atau tidak, tapi untung saja kecelakaannya terjadi di depan rumah sakit. Bang Jun langsung ditolong oleh berbagai manusia dengan baju perawat dan snelli putih. Aku yang masih gemetar dan diam seribu bahasa pun ditemani oleh Mas Kevin selama operasi darurat yang harus didapatkan Bang Jun berjalan. Mas Chandra tadi sempat berpamitan karena ia ada janji dengan klien lain di tempat lain.

Selama menunggu di depan ruang UGD, berulang kali kuremas jemariku satu sama lain. Aku belum diperkenankan masuk ke ruang itu bahkan untuk melihat bagaimana Bang Jun ditangani. Kurasa, salah satu alasannya supaya aku tidak pingsan dan merepotkan tenaga medis. Jantungku serasa mau keluar karena debarannya masih tidak karuan dan begitu cepat. Kepalaku pun masih cukup nyut-nyutan. Melihat Bang Jun tertabrak mobil dan sempat terpental beberapa meter sepertinya sukses membuatku berada dalam mimpi buruk. Saat itu yang terpikir adalah keselamatan Bang Jun dan Tamtam yang harus diurus di rumah.

"Minum dulu." Kevin menyodorkan segelas teh hangat yang entah ia dapatkan dari mana.

"Kenapa lama banget," ujarku sambil menatap pintu ruang UGD. Kuharap Kevin tidak ge-er dan mengira aku mengomentari dirinya yang baru sekarang menawarkanku minum.

"Kamu beneran udah nikah, ya, Sha?"

Aku pura-pura tidak mendengar kalimat itu. Walaupun aku belum mengenalkan bahwa Bang Jun adalah suamiku, sepertinya Kevin sempat bertanya pada Mas Chandra atau entah pada siapa.

"Dia orangnya kayak gimana, Sha? Kamu nggak dijahatin, kan? Tadi, liat dia marah ke kamu dan tiba-tiba pergi kayaknya kalian lagi nggak baik-baik aja. Aku—"

"Terus kenapa? Urusan kamu?" Aku memotong kalimat Kevin dengan ketus dan mendengarnya mengembuskan napas panjang.

Lelaki berdasi itu tidak berbicara lagi, tetapi ia berdiri dan bersandar ke tembok di seberangku. Aku tidak mau ge-er, hanya saja, merasakan ada yang menatapku terus menerus membuatku risih. Aku berusaha tidak peduli dan untunglah semesta mendukung ketidakpedulianku pada Kevin.

Pintu ruang UGM terbuka dan keluarlah dokter didampingi dengan beberapa perawat. "Keluarga Saudara Juni?"

"Saya, Dok." Aku langsung berdiri dengan kaki yang masih gemetar. "Gimana suami saya?"

"Suami Mbak nggak apa-apa. Ada gegar otak ringan dan perlu menggunakan gips karena kakinya yang terbentur trotoar cedera. Tadi, sudah kami beri penanganan lebih lanjut."

"Kakinya patah, Dok? Parah? Perlu rawat inap?"

Dokter itu tersenyum. "Nggak parah, nanti kalau sudah sadar, bisa panggil kami untuk kami cek lagi. Kalau aman, bisa rawat jalan saja, Mbak."

Aku menghela napas panjang dan kembali terduduk di kursi depan ruang UGD. Kakiku sangat lemas dan akhirnya air mata yang tertahan kembali keluar. Aku terisak pelan dan bisa kurasakan ada lengan yang merangkulku.

"Nggak apa-apa, Sha. Kamu pasti kaget banget."

Sungguh, aku benci kenapa yang ada di sini adalah Kevin. Kenapa juga dia masih tidak berbeda dengan Kevin yang penuh kasih sayang yang kukenal dulu. Kalau saja bukan karena ulahnya yang seperti jailangkung, aku mungkin sudah baper lagi sama laki-laki ini.

Astaga, Sasha.

Inget, kamu masih istrinya Bang Jun dan suamimu butuh dirawat!

"Oh, iya, Tamtam." Aku berdiri tiba-tiba.

"Tamtam?"

"Aku harus pulang dulu," ujarku sambil menghapus air mata.

"Kuanter aja, ya?"

"Nggak usah. Aku bisa sendiri."

Kevin menarik tanganku dan menahanku yang akan berlalu dari hadapannya. Aku membeku di tempat dan lelaki itu berjalan ke hadapanku. "Sasha, kamu lagi nggak baik-baik aja. Aku mau bantuin kamu, setidaknya sebagai man ... Enggak. Sebagai teman baik."

Pikiranku terlalu kalut dan aku sudah tidak ada energi untuk menolak lelaki yang tidak menyerah membujukku menerima bantuannya. Benar. Tidak apa-apa, dia hanya ingin membantu dan aku tidak ada intensi apa-apa. Hatiku sudah terlalu sakit melihat kejadian mengejutkan itu. Bahkan untuk melihat Bang Jun yang sepertinya terkapar tak berdaya di kasur UGD, aku tidak sanggup.

Kevin yang masih menggenggam lenganku perlahan menarikku untuk mengikutinya. Saat kami sampai di depan rumah sakit, sebuah mobil putih berhenti di hadapan kami dan Kevin membukakan pintu mobil untukku.

Sasha, kamu lagi nggak stabil, hati-hati goyah. Inget Bang Jun.

Berulang kali kuucapkan kalimat itu dalam hati. Ada sedikit kekhawatiran yang muncul setelah mendapatkan perhatian yang luar biasa dari mantan yang tiba-tiba hadir lagi dalam hidup. Aku tidak mengerti. Mengapa Kevin tiba-tiba hadir di saat aku dan Bang Jun sedang tidak dalam hubungan yang baik? Mengapa juga Kevin memberikan perhatian yang aku butuhkan dan harapkan dari Bang Jun? Apakah ujian pernikahan yang sedang goyah memang seperti ini?

Di tengah pikiran yang semakin liar itu, Kevin menanyakan alamat rumahku. Tentu saja aku hanya diam dan cukup menggerakkan jemariku di aplikasi peta dalam ponsel. Kusodorkan ponselku pada Kevin dan kembali menatap luar jendela dengan pikiran-pikiran yang semakin liar. Salah satunya yang baru muncul adalah, apakah aku bisa merawat Tamtam dengan baik selama Bang Jun pemulihan?

"Makasih," ucapku pada Kevin dan sopirnya saat mobil putih ini berhenti di depan rumah kopi.

"Rumahmu di yang mana, Sha? Kamu mau balik ke rumah sakit lagi, kan? Aku tunggu di tempat kopi itu gimana?" tanya Kevin yang ikut turun bersamaku.

"Rumah kopinya tutup."

"Oh, ya? Kenapa?"

"Bang Jun sakit, kan. Jadi, rumah kopi bakal tutup beberapa hari."

"Ya ampun, itu punya suamimu? Rumahmu yang mana?"

Aku tidak menjawab dan terus berjalan ke samping rumah kopi untuk masuk ke rumahku dan Bang Jun lewat pintu belakang. Saat aku masuk, suara Tamtam yang mengeong menyambutku. Dengan ragu dan sedikit takut, aku dekati kucing hitam itu, lalu berjongkok di depannya.

"Tam, maaf, ya. Bang Jun masih di rumah sakit. Doain dia bisa pulang segera."

"Meoww!"

"Kamu laper, ya?" Aku melirik tempat makannya yang kosong. "Sini, kukasih makan tapi dihemat sampai besok, ya."

Aku tidak tahu kapan Bang Jun akan sadar. Pun kalau ia sadar saat aku kembali ke rumah sakit, sepertinya aku akan meminta dokter untuk mendaftarkannya rawat inap satu sampai dua hari. Bukannya apa-apa, setidaknya ia bisa mendapat perawatan intensif dulu selama dua hari ini sambil aku menyelesaikan pekerjaan terakhir. Aku pun akan mengurus izin untuk belum bisa terlibat sementara menyelesaikan sisa laporan penelitian. Setelah itu, barulah aku bisa benar-benar fokus merawat Bang Jun sampai ia pulih seratus persen.

Ah, aku baru ingat. Aku perlu mengabari mertuaku tentang kondisi Bang Jun. Siapa tahu jika mereka menjenguk, Bang Jun bisa lekas sembuh juga. Setidaknya, mendapatkan doa dari orang tua, kan, baik untuk kesembuhan Bang Jun.

"Halo, Bu, ini Sasha," sahutku saat sambungan telepon diangkat oleh ibu mertua.

"Gimana sayang? Sehat?"

"Sasha sehat, Bu. Tapi, ini ... Ehm, tadi ada kejadian."

Aku pun menceritakan kronologis kejadian tertabraknya Bang Jun di depan rumah sakit karena marah dan salah paham setelah melihatku dengan dua orang lelaki. Tentu saja aku tidak bilang kalau dua lelaki itu adalah psikologku dan mantanku.

"Iya, Bu. Itu teman Sasha."

"Aduh, kebiasaan deh Junpei ini. Salah paham mulu bisanya. Kamu nggak apa-apa tapi, Sha?"

"Nggak apa-apa, Bu. Bang Jun yang harus digips kakinya sama kata dokter ada gegar otak ringan. Maaf, ya, Bu, gara-gara Sasha—"

"Enggak, enggak, bukan salah kamu. Memang dasar Junpei suka keras kepala. Biarin aja, Sha. Nanti juga sembuh, kan. Kata dokter juga nggak apa-apa."

"Ibu nggak mau jenguk aja? Siapa tahu Bang Jun jadi cepet sembuh."

Kudengar suara tawa kecil di ujung telepon. "Nggak usah, nanti dia juga sembuh. Eh, maaf, ya, Sha. Ini Ibu masih mau kocok arisan dulu. Semoga dapet, ini, bulan ini."

Hah?

Serius, anaknya kecelakaan masih bisa mikirin kocokan arisan?

Ini aku yang salah denger atau memang ibunya Bang Jun kayak gini?

Setelah telepon ditutup aku masih terdiam di tempat. Tidak habis pikir dengan tanggapan ibu mertuaku itu. Aku yang memutar otak berulang kali karena takut disalahkan atas kecelakaan Bang Jun ternyata hanya mendapat tanggapan ringan dari orang tua suamiku itu. Wah, aneh bin ajaib. Entah aku harus bersyukur atau heran, tetapi kali ini kusyukuri saja karena aku tidak disalahkan atas apa yang memang bukan salahku lagi.

Aku pun ke kamar dan membereskan baju-baju Bang Jun untuk persiapan rawat inap. Sepertinya aku akan mandi di rumah sakit saja karena kalau mandi dulu, kasian Bang Jun kelamaan sendirian di sana.

"Meaow!"

Aku hampir melompat karena Tamtam tiba-tiba ndusel-ndusel di kakiku. Seumur-umur, kucing ini tidak pernah manja apalagi cari perhatian ke aku. Biasanya, kalau bukan tatapan sinis, cakaranlah yang dia beri padaku.

"Kenapa, Tam?"

"Meaow!" Dia berhenti ndusel di kakiku dan berjalan menuju pintu kamar. "Meaow!"

Oke, baik. Akan aku ikuti maunya apa karena aku perlu berdamai dengannya juga. Tidak lagi supaya nggak kena semprot Bang Jun yang akan sulit merawat Tamtam dengan kondisinya saat ini.

Ya ampun, piringnya sudah kosong lagi. Kucing ini kelaperan apa doyan, sih? Pantesan cepet gendut lagi setelah sempat mengurus karena nggak pulang hampir 5 hari.

Aku pun mengisi penuh piring makannya dan membersihkan pasir tempat Tamtam buang air. Bersamaan dengan selesainya aku bersiap, sebuah ketukan pintu terdengar. Bukan dari pintu depan melainkan pintu belakang.

Aku melotot saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu belakang "Kevin? Ngapain ke sini? Kamu ngikutin aku?"

Kevin tersenyum.

Astaga, ganteng.

Aku langsung menggelengkan kepalaku cepat. "Jangan senyum-senyum. Kulaporin Pak RT bisa ditangkep kamu karena jadi stalker."

"Kamu mau ke rumah sakit lagi, kan? Biar kuanter lagi," ujarnya sambil nyelonong masuk dan mengambil tas jinjing yang ada di belakangku. Ia pun pergi begitu saja meninggalkan aku yang mulai kesal di tempat.

Iya, aku kesal dengan perhatiannya yang luar biasa bagiku. Perhatian yang selama ini aku harapkan dari suamiku, malah kembali dihadirkan oleh mantanku.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro