14 || Sensitif Tingkat Dewa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bang Jun terlihat pulas sekali di ranjang UGD. Aku membelai kepalanya perlahan, berharap ia bisa siuman dan menunjukkan tanda bahwa ia baik-baik saja. Namun, sepertinya ia masih nyaman dalam tidurnya dan enggan diganggu bahkan oleh belaianku yang lama tak bisa kulakukan.

"Kamu harus nginep di sini, Sha?"

Aduh, kenapa, sih, Kevin masih ngekorin aja? Padahal aku sudah bilang supaya dia pulang dan tidak menemuiku lagi. Ada untungnya Bang Jun belum siuman karena kalau sudah, entah apa yang akan dipikirkannya saat melihat aku masih bersama Kevin. Sungguh, aku tidak mau ada salah paham yang semakin dalam antar aku dan Bang Jun. Apalagi, aku belum pernah menceritakan soal Kevin ke Bang Jun.

Seingatku, aku hanya pernah bilang kalau aku ditinggalkan oleh pacarku tiba-tiba dan sampai saat itu bertahan untuk tidak punya pacar lagi. Aku tidak pernah menyebut nama siapa pun karena aku tidak mau dianggap masih terpaku pada masa lalu. Untuk apa terpaku pada masa lalu jika di depanku ada masa depanku? Apalagi sekarang jadi masa kiniku, jadi suamiku.

"Kamu kenapa, sih, masih di sini? Aku udah berterima kasih karena kamu mau nganterin jadi aku bisa hemat ongkos. Tapi, nggak sampai ngekor terus-terusan juga, Vin."

"Salah, ya?"

Aku mendengkus. "Bukan gitu. Aku nggak mau suamiku mikir macem-macem."

"Ah, dia sering mikir macem-macem tentang kamu? Aku aja nggak pernah gitu ke kamu, Sha."

"Kevin, tolong!" Aku menegaskan suaraku dan menarik Kevin keluar dari ruangan. "Tolong, aku nggak tau kenapa kamu bisa tiba-tiba ada di hadapan aku, ngekorin aku, dan nggak mau dengerin aku. Aku berterima kasih karena kamu mau nganterin aku bolak-balik, tapi itu cukup. Apalagi, kamu udah tau kalo aku punya suami. Kenapa kamu kayak gini? Tolong, aku nggak mau makin ada salah paham dengan suamiku."

Bukannya menjaga jarak, lelaki berdasi di depanku malah memegang kedua pundakku dan menatap lekat. "Sasha, aku tau. Selama ini kamu nggak bahagia, kan, sama suamimu?"

Jantungku berdebar cepat. Kutepis kedua tangan Kevin yang ada di pundakku, tetapi ia malah tersenyum dan mengembalikan tangannya ke pundakku.

"Dia ninggalin kamu berhari-hari cuma buat nyari kucingnya dan kemarin bahkan kamu sampai pergi dari rumah. Apa aku salah kalau aku kembali buat nolong kamu?"

"Nggak guna, Vin."

"Guna, kalo kamu cerai dan nikah sama aku."

Astaga. Kevin yang kukenal mulutnya nggak sesampah ini! Dia hidup di mana, sih, selama ini sampai punya pikiran kayak gitu?

"Kamu nggak ada hak buat minta aku kayak gitu apalagi dulu kamu yang pergi dan menghilang tiba-tiba." Kayak jailangkung, tambahku dalam hati.

Akhirnya, laki-laki itu menurunkan tangannya dari pundakku. "Ah, panjang ceritanya, Sha. Tapi, bukan berarti karena aku nggak sayang lagi sama kamu. Sampai sekarang, perasaanku masih sama, Sha."

Bacot.

Sumpah, ingin rasanya kusampaikan satu kata itu di hadapan lelaki nggak tahu diri ini. Aku tidak tahu kalimat apa lagi yang harus kuucapkan untuk membuatnya enyah dari hadapanku. Sepertinya, aku pun sudah memutar bola mataku beberapa kali karena stuck. Bukannya tidak bisa melawan, tetapi Kevin sepertinya sulit untuk diusir.

"Mas Juni, dokter mau melakukan pengecekan. Mari kembali ke kasur dulu."

Suara seorang perempuan, yang kuasumsikan sebagai suara perawat, mendadak menarik perhatianku karena menyebutkan nama Bang Jun. Aku—yang berbincang dengan Kevin di samping UGD—langsung berjalan ke sumber suara dan melihat Bang Jun yang menggunakan kruk kembali ke ranjangnya dibantu oleh perawat.

"Biar saya aja, Mbak," ujarku pada perawat itu dan menggantikannya memapah Bang Jun. Namun, Bang Jun menepis tanganku.

"Aku bisa sendiri. Kamu urus aja cowokmu di luar sana."

"Bang, kamu salah paham."

"Mbak, bantuin saya."

Perawat itu menatapku bingung. Aku menganggukkan kepala pada perawat sebagai tanda supaya ia memenuhi permintaan Bang Jun. Aku pun menunggu di samping perawat saat dokter mengecek kondisi Bang Jun. Untungnya, tadi aku sudah sempat berpesan supaya Bang Jun dirawat inap dulu saja dan dokter menyetujuinya.

"Nggak bisa pulang aja, Dok?" tanya Bang Jun saat dokter menginformasikan bahwa setelah ini ia akan dipindahkan ke kamar rawat inap.

Dokter memandangku.

"Nunggu Abang bener-bener pulih dulu aja, ya, pulangnya. Biar terpantau dokter." Aku berusaha memberi alasan selain alasan kalau aku butuh waktu untuk izin supaya bisa merawat suamiku sepenuhnya.

"Dok, saya pulang aja. Kucing saya nggak ada yang rawat nanti."

Ah, Bang Jun mau nyuekin aku lagi. "Bang, aku bisa rawat Tamtam sementara Abang pemulihan di sini dulu. Abang perlu istirahat banyak. Tamtam—"

"Kalau secara medis, sebenernya saya boleh pulang, kan, dok?"

Astaga, kenapa hari ini aku harus menghadapi laki-laki yang keras kepala semua, sih? Tolong, aku lelah.

"Silakan dibicarakan dulu. Nanti bisa mengabari jika sudah pasti akan pulang atau ranap, ya. Saya permisi."

Aku ingin tertawa miris melihat dokter dan perawat yang meninggalkanku berdua dengan Bang Jun. Bukan salah mereka yang tidak ingin terlibat dalam kekikukan situasi suami-istri dengan perbedaan pendapat ini. Tapi, ya ampun, aku butuh dukungan. Setidaknya penguat supaya aku bisa membujuk Bang Jun untuk tetap di rumah sakit dulu sampai membaik dan mempercayakan Tamtam padaku. Apakah aku punya tampang yang sulit dipercaya?

"Apa mau kamu?"

Serasa disamber gledek, aku tersentak mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Bang Jun. "Mau aku?"

"Iya. Kamu pengen aku ranap supaya kamu bisa ketemu sama cowok-cowokmu itu, kan?"

Gila, bahkan untuk menatapku saja dia tidak mau. Kepalanya berpaling ke kiri—aku ada di sebelah kanannya—dan matanya menatap korden hijau muda yang membatasi ranjang-ranjang UGD. Memang korden hijau lebih menarik dari wajah istrinya yang cantik ini? Menyebalkan.

"Bang, tolong." Aku akhirnya menarik kursi mendekati telinga kanannya. Mumpung telinga kirinya tertutup karena ia menghadap kiri, siapa tahu apa yang kuucapkan masuk telinga kanan dan bisa bertahan di dalam telinga, pikiran, hingga hatinya. "Mereka bukan siapa-siapa aku. Yang satu itu psikologku. Satu lagi—"

"Mantan kamu yang pergi tanpa sebab dan masih kamu sayangin."

Oke, sepertinya Bang Jun memang mendengar percakapanku dengan Kevin di depan UGD tadi. Duh, ini si Abang cemburu apa gimana, sih?

"Iya, satu hal dari kalimat Abang bener, dia mantan aku. Tapi yang terakhir itu salah. Aku cuma sayang sama Abang sekarang."

"Sayang? Tapi nganggep aku gila sampai nyuruh aku ke psikolog."

Astaga. Ingin rasanya kuhilangkan kesabaranku dan berteriak, Lu kayak anak kecil banget, sih, Bang! Tapi tentu saja kutahan. Kalau tidak, salah paham ini tidak akan ada akhirnya.

Aku pun mencoba menggenggam tangan Bang Jun. "Bang, aku pengen banget bisa ngerawat Abang dengan maksimal sampai Abang sembuh. Tapi, aku juga butuh waktu untuk menyelesaikan sedikit pekerjaanku dan izin ke tim peneliti dosen. Daripada Abang sendirian di rumah, Abang di sini dulu aja, ya? Sehariii aja."

"Sehari buat balikan sama mantan. Paling itu yang ada di pikiranmu."

Oke. Aku menyerah. Hatiku sudah cenat-cenut nyelekit mendengar kalimat-kalimat penuh ketidakpercayaan dari suamiku sendiri. Untuk sesaat, aku membenarkan ucapan Kevin dan kembali membandingkan Bang Jun dengan Kevin.

Benar. Dulu, Kevin tidak pernah tidak percaya padaku. Ia selalu mengomunikasikan segalanya padaku dan membebaskanku bergaul serta mengikuti berbagai kegiatan yang membuatku bisa memaksimalkan potensi. Bang Jun pun sebenarnya seperti itu. Di awal kami kenal, ia selalu memuji kesibukanku dan kemampuanku dalam menyelesaikan beragam tugas-tugas yang menumpuk. Meski sesekali ia menegur karena aku terlalu banyak minum kopi, aku merasakan perhatian tulus darinya di sana. Namun, perselisihan yang terjadi selepas kami menikah membuatku kembali mempertanyakan semua itu.

Apakah aku salah menilai orang? Apakah aku terlalu dibutakan oleh tampang dan perhatian sesaat? Apakah aku terlalu cepat mengambil keputusan?

"Udah, aku mau sendiri. Kamu pulang aja. Tamtam nggak ada yang ngurus kalo kita berdua di sini."

Aku kembali ke kesadaranku saat mendengar suara rendah Bang Jun. "Jadi, kubilang dokter kalo Abang ranap dulu, ya?"

Suamiku tidak menjawab. Ia malah memejamkan mata, pura-pura tidur sepertinya. Entahlah. Kuanggap itu sebagai persetujuannya untuk menginap di rumah sakit sementara selagi aku mempersiapkan perizinanku.

Dengan sedikit ragu dan gemetar, karena takut Bang Jun tidak suka, aku mengusap pelan pipinya sebelum pergi dan melapor ke dokter. Kutinggalkan tas berisi baju-bajunya di samping ranjang supaya Bang Jun tidak bingung soal baju ganti. Kata perawat, nanti mereka yang akan membantu membawakannya ke kamar rawat inap. Tentu saja aku berterima kasih atas hal itu, walaupun memang melayani pasien adalah tanggung jawab mereka.

Sepanjang perjalanan pulang, aku memikirkan cara yang bisa kulakukan untuk berdamai dengan Bang Jun. Sejujurnya, aku pun heran dengan perubahan sikapnya yang drastis semenjak orang tuanya datang terakhir kali itu. Terlebih lagi, tanggapan ibunya Bang Jun yang seolah kecelakaan ini bukan apa-apa. Aku jadi ragu untuk meminta bantuan mertuaku menjadi penengah antar aku dan Bang Jun karena sepertinya hubungan mereka tidak sebaik yang kubayangkan.

Lalu, pikiran pintar itu terlintas.

Bagaimana jika aku minta tolong Mas Chandra untuk berbicara dengan Bang Jun?

Aku ingat pernah diberikan kontak psikolog itu untuk kondisi darurat. Kupikir, kontak itu diberikan hanya untuk klien-klien yang darurat, seperti yang mau bunuh diri atau semacamnya. Namun, aku tidak mengerti mengapa aku pun diberi kontak itu oleh perawat.

"Untuk jaga-jaga kalau Mbak Laras mengalami hal-hal yang butuh pendampingan psikologis segera," kata perawat waktu itu.

Ah, bodo amat. Aku coba hubungi saja. Ini juga kondisi darurat, kok. Sangat darurat sehingga aku butuh pandangan profesional terkait hubunganku dengan Bang Jun yang sedang dalam kondisi sensitif tingkat dewa.

***

~1503 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro