15 || Terbatas Batasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jujur, baru kali ini saya merasakan hal yang berbeda saat bertemu dengan klien. Bisa jadi, ini dipicu dengan kejombloan saya yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Anehnya, dari sekian banyak klien perempuan, saya tidak tahu mengapa kegoyahan itu hadir saat berhadapan dengannya. Padahal, jelas saya tahu bahwa ia sudah memiliki suami. Perempuan ini berbeda. Perempuan ini membuat saya terus menerus mengulang kalimat di Pasal 77 ayat 1 dari Kode Etik Psikologi Indonesia supaya tetap waras dan berada di jalur yang benar.

Psikolog tidak terlibat keintiman/keakraban seksual dengan orang yang sedang menjalani pelayanan konseling psikologi/psikoterapi.

Ya Tuhan. Sepertinya saya harus segera menikah supaya terbebas dari godaan ini.

Pun ketika kemarin perempuan ini menghubungi nomor darurat dan meminta untuk bertemu. Sepertinya, dugaan saya benar bahwa kerenggangan hubungan antar dia dan suaminya akan berujung pada kejadian gawat darurat. Kekerasan dalam rumah tangga misalnya.

Namun, syukurlah, prediksi saya salah.

"Saya minta tolong, Mas. Barangkali, lewat Mas Chandra, suami saya bisa paham kondisi saya. Saya tau dia lagi sensitif tingkat dewa, tapi kayaknya kalo sesama lelaki bisa lebih pas ngobrolnya. Apalagi Mas Chandra psikolog. Gimana, Mas?"

Saya tersenyum, seperti default biasanya setiap menghadapi klien. "Kalau begitu, saya mohon izin menceritakan kondisi Mbak Laras seperti yang pernah Mbak ceritakan selama dua sesi konseling dengan saya, ya? Setelah itu, mungkin bisa kita jadwalkan konseling pasangan."

Tentu saja perempuan bernama Laras itu tidak menolak. Tampaknya, ia memang sudah kehabisan cara untuk menghadapi suaminya. Mulai dari obsesi dengan kucing, mendiamkan istrinya berhari-hari, dan sekarang jadi sensitif. Sepertinya, ada yang tidak beres dengan keluarganya. Yah, itu baru prediksi.

Maka, setelah saya selesai dengan klien-klien hari ini, saya pun menuju kamar rawat inap suami Mbak Laras—yang katanya bernama Juni Pebian dan bisa dipanggil Junpei, tetapi saya akan tetap memanggilnya Mas Juni. Saya suka ngebatin, namanya aneh banget serasa lagi manggil tupai. Junpei, tupai. Haha, saya ketawa sendiri. Padahal nggak lucu-lucu amat. Dasar receh.

Saya mengetuk pintu kamar, tetapi tentu saja saya buka tanpa persetujuan penghuninya. "Permisi."

"Siapa, ya?" Lelaki dengan kaos kuning dan setengah berselimut itu memicingkan mata ke arah saya. Satu kakinya yang digips berada lebih tinggi dari tubuhnya.

"Saya Chandra, salah satu psikolog di rumah sakit ini. Benar dengan Mas Juni, ya?"

Juni menangguk. "Masnya disuruh dokter meriksa saya, ya? Saya mau disuruh tes IQ atau tes apa ini?" Ia menegakkan sandarannya.

Saya sempat berpikiran nakal untuk mengiyakan asumsinya itu. Sedikit mengamini karena lelaki ini tidak ingat kalau saya adalah laki-laki yang membuat dia pergi begitu saja setelah menuduh Mbak Laras yang enggak-enggak. Untung tidak ingat, kalau ingat mungkin saya ditempeleng. Eh, tapi harusnya saya nggak perlu takut, sih. Kan, saya nggak ada apa-apa sama Mbak Laras. Dianya saja yang salah paham.

Mungkin dia memang perlu diberi psikotes. Siapa tahu saya jadi dapet data tambahan terkait orang yang sering membuat Mbak Laras menangis ini. Namun, karena kewarasan saya masih di tingkat tertinggi, saya menepis pikiran nakal itu dan kembali ke mode profesional. "Saya ke sini karena ada permintaan dari istri Mas Juni."

"Larasati? Dia ... Sebentar. Kalo diliat-liat, kayaknya saya pernah liat wajah Masnya ini." Juni mengerutkan dahinya dan meletakkan jari telunjuk serta jempol di dagu.

Matilah, saya sudah bersyukur dia nggak inget. Apa saya batalin saja bersyukurnya?

"Oh, saya inget."

Saya tetap berusaha memasang tampang datar sambil menimbang-nimbang, perlukah saya langsung meluruskan atau menunggu ditempeleng dulu dan lapor pihak rumah sakit baru kesalahpahaman ini bisa diluruskan?

"Ternyata Anda memang dokter di sini, ya."

"Psikolog, Mas. Bukan dokter."

"Iya, itu maksudnya. Saya pernah denger istri saya ke psikolog. Saya pengen tanya kenapa, tapi, yah, hubungan kami lagi nggak baik-baik aja."

Semoga Juni tidak melihat senyum tipis yang refleks terbentuk di wajah saya. Saya jadi bersyukur dan saya tambah bersyukurnya dua kali lipat karena ternyata Tuhan memudahkan jalan untuk masuk ke dunia laki-laki ini.

"Itu juga yang ingin saya bicarakan dengan Mas Juni karena Mbak Laras meminta tolong supaya saya bicara dengan Mas Juni. Boleh saya duduk? Karena sepertinya akan panjang pembahasan kita."

"Eh, ini saya jadi ada bayaran tambahan nggak, ya? Konsultasi ke psikolog, kan, bayar juga."

"Untuk yang sekarang, belum saya masukkan ke layanan berbayar, ya, Mas. Tapi, kalau Mas Juni, setelah berbincang dengan saya, mau untuk melakukan konseling pasangan bersama istri, itu bisa kita bicarakan nanti."

Juni terlihat mengatakan Ah tanpa suara. Hanya mulutnya saja yang ia buka lebar sambil mengangguk-angguk. "Silakan, Mas, katanya diminta Laras buat nyampein sesuatu."

Saya pun menceritakan semua keluhan dan hal-hal yang pernah Mbak Laras ungkapkan di sesi konsultasi, tanpa mengurangi sedikit pun, tetapi saya tambahkan beberapa asumsi dan penjelasan secara psikologis dengan bahasa yang mudah dipahami. Di saat-saat seperti ini saya merasa keren.

"Mungkin, karena sudah terbiasa sendiri dari segi hidup dan keuangan, Mbak Laras merasa kurang mendapatkan kasih sayang. Ditinggalkan bukan lagi menjadi kejadian biasa buat Mbak Laras, tetapi sesuatu yang sangat ia takuti. Makanya, Mbak Laras cukup terkejut dan merasa tidak berarti ketika suaminya tidak peduli dengannya. Dia pernah bilang, dia takut suaminya akan meninggalkannya karena Mbak Laran merasa selalu salah dan dianggap nggak bisa menyayangi kucing suaminya."

Saya bisa melihat raut wajah Juni sangat serius. Dahinya berkerut dan beberapa kali ia mengembuskan napas panjang seolah ada beban berat dalam dadanya. Kadang, saya takut salah ngomong kalau kasusnya sudah berhubungan dengan suami istri. Takut malah semakin merunyamkan hubungan. Yah, psikolog juga manusia. Seberapa berhati-hatinya saya, kadang ada saja kata-kata tak disadari yang terlontar, yang mungkin bisa ditangkap berbeda oleh orang lain.

"Bukan Laras yang salah. Tapi, saya."

Wah, saya tidak menduga akan langsung mendapat pengakuan seperti ini. Apa dia memang orang yang mudah terbuka atau gara-gara kepala kepentok tiang listrik bikin dia jadi lebih bijak dalam berpikir? Soalnya, kalau dengar dari cerita Mbak Laras, orang ini salah satu tipe yang sulit untuk diluluhkan pikiran dan perasaannya.

Halah, kesoktauan saya memang suka bikin saya menduga-duga sesuatu yang tidak saya ketahui dengan pasti. Bahasa kerennya, bermain penalaran dan hubungan sebab akibat. Sepertinya memang Juni pun memendam banyak hal. Itulah mengapa saya perlu melihat dari dua sisi manusia yang berseteru ini.

Kalau dari jurnal-jurnal yang pernah ditunjukkan Mbak Laras, saya bisa memprediksikan ada rasa takut yang sama dari Juni. Jadi, mereka seolah memang ditakdirkan bersama untuk berdamai dengan ketakutan yang serupa. Tapi, karena dua-duanya belum siap, jadi berantem, deh.

"Berkenan untuk menceritakan lebih lanjut, Mas?"

"Tapi, jangan dikasih tau ke Laras dulu."

Ingin bertanya kenapa, tetapi saya tahu itu tidak akan terjawab selain dengan belum berani, nggak begitu penting, atau alasan-alasan lainya. "Oke, silakan senyamannya Mas Juni saja."

Hening memenuhi ruangan selama beberapa saat. Mungkin, Juni sedang berpikir dari mana ia harus bercerita. Saya juga tidak mau memaksa dia mulai dari mana-mana karena bukan saya yang akan menentukan langkahnya ke mana setelah ini. Kadang, berada di situasi diam-diaman seperti ini, saya merasakan dua hal. Bosan dan gemas. Bosan karena saya ingin segera berbicara dan gemas karena saya ragu kapan baiknya saya bicara.

"Saya kira, cuma saya yang takut kehilangan orang dalam hidup saya lagi."

Akhirnyaaa! Keheningan ini sudah terpecahkan dengan suara berat seorang Juni Pebian. "He-em." Saya merespons singkat sebagai tanda saya siap sedia mendengarkan kalimat-kalimat setelahnya.

Juni pun menceritakan kisahnya dalam tiga puluh menit ke depan.

Sesuai dugaan saya. Bukan perihal keterbukaan Juni setelah kepalanya terbentur. Namun, perihal ketakutan yang sama, trauma yang sama, dan harapan yang tidak tersampaikan dengan baik karena ketakutan selalu membayangi.

Juni Pebian dan Larasati.

Lagi-lagi saya menemukan bahwa tidak ada yang mudah dalam kehidupan dua orang berbeda yang menjadi satu dalam hubungan pernikahan. Lagi-lagi saya menemukan bahwa masa kecil memang sebegitu berpengaruh bagi kehidupan seseorang di masa dewasanya.

Saya harap, mereka berdua mau berproses bersama untuk menjadi seutuhnya pasangan suami-istri.

***

~1282 words~


Psikolog Chandra yang receh tapi pinter


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro