16 || Gengsi Mengalihkan Dunia Kita

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak menyangka kalau selama ini Larasati kesulitan menghadapi sikapku. Jujur, awalnya memang aku menikahinya karena aku menemukan sosok yang kucari. Sosok yang penuh perhatian, periang, mandiri, ah ... Larasati sebenarnya segalanya buatku—setelah Tamtam. Hm, kupikir begitu.

Namun, seiring berjalannya waktu, usai perkenalan lebih dekat dan saat Larasati sah menjadi istriku, aku semakin tidak mau kehilangan dia. Namun, aku takut ketika aku memberikan perhatianku, kasih sayangku, dan dia memberikannya kembali dengan porsi yang sama atau lebih, aku tidak siap kehilangannya.

Tamtam menjadi pengalih semua itu. Setiap aku meminta Larasati untuk mengisi makanan Tamtam, aku ingin Larasati juga sadar dan ingat untuk makan. Setiap kali aku mengingatkan supaya ia tidak lupa mengurus Tamtam, sebenarnya aku juga berharap agar ia tidak lupa mengurus dirinya sendiri. Lihat saja, cantik-cantik begitu, kok, kantung matanya tebel banget. Aku tahu pekerjaannya sangat padat dan ia terus-terusan dikejar deadline. Tapi, aku tidak tega melihatnya seperti itu.

Setiap melihat Larasati sudah di rumah dengan wajah semringah, aku bisa membedakan wajahnya yang benar-benar sedang baik-baik saja dengan yang tidak. Kalau aku mencari Tamtam setelah dia menyambutku di depan pintu, artinya aku tahu ada yang tidak baik-baik saja dari dirinya. Tamtam menjadi sumber obrolanku untuk membuatnya menceritakan keluhan-keluhannya padaku. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk tidak peduli padanya.

"Kalau boleh saya bilang, semua yang Mas Juni ceritakan ini sepertinya terbangun dari asumsi-asumsi pribadi yang menganggap Mbak Laras bisa menangkap perhatian itu, ya?"

Sejujurnya, aku sedikit tersentak saat psikolog bernama Chandra ini mengucapkan kalimat itu. Tampaknya, memang selama ini aku hanya membangun asumsi dan harapan bahwa Larasati akan mengetahui maksud dibalik semua perilakuku.

"Tapi, bukannya setiap orang punya asumsi yang berbeda? Dan mungkin Mbak Laras tidak bisa menangkap perhatian Mas Juni karena ia pun bingung dengan sikap suaminya. Seolah-olah suaminya hanya peduli dengan kucing, padahal itu salah satu cara Mas Juni mencoba membangun hubungan yang lebih erat dengan Mbak Laras."

"Saya terlalu takut jadi bergantung pada kasih sayangnya Larasati. Kalau tiba-tiba saya kehilangan lagi setelah mendapatkan apa yang selama ini saya butuhkan ... Ah, entah. Saya nggak tahu bisa bertahan atau enggak." Aku menggelengkan kepalaku yang masih sedikit nyut-nyutan. Ternyata, kecelakaan itu nggak enak, ya.

"Memangnya, Mas Juni pernah kehilangan apa?"

"Ibu saya."

Aku tidak tahu mengapa obrolan ini terasa sangat mengalir seperti aku sudah kenal lama dengan Psikolog Chandra. Memang, beberapa hari ini aku banyak memikirkan tentang keluarga dan hubunganku dengan Larasati. Terlebih, setelah dia benar-benar pergi dari rumah dan tak bisa kutemukan di mana-mana.

Saat aku ingat kalau Larasati pernah bilang soal psikolog, aku pun mencoba mendatangi layanan psikolog terdekat dan itu ada di rumah sakit ini. Bodohnya aku, ketakutan akan kehilangan Larasati sepertinya sudah menguasai sehingga saat lihat dia dengan dua laki-laki tampan—yang kurasa lebih tampan dariku yang sudah super tampan idaman wanita ini—aku lepas kendali.

Eh, malah ketabrak mobil. Suka bodoh memang si Junpei ini.

Saat nggak sadarkan diri sampai detik ini, setiap aku tidur selalu memimpikan ibuku. Ibu kandungku yang pergi dari rumah setelah mengetahui Bapak punya perempuan lain, yang lebih kaya, yang lebih bisa mewujudkan impian-impian materiil Bapak.

Ibu kandungku yang setelah pergi dari rumah tiba-tiba dikabarkan tenggelam di sungai. Ibu kandungku yang menyayangiku dan aku menyayanginya, yang pergi tiba-tiba meninggalkanku yang sudah terbiasa dengan perhatian dan kepeduliannya.

Kupikir, aku akan dapatkan lagi semua itu dari ibu tiriku karena sejak Bapak menikah dengan perempuan itu, kami hidup lebih layak, di rumah besar dan penuh kenyamanan. Hah, percuma. Dia tampaknya hanya peduli dengan anak perempuannya yang tinggal di luar negeri. Dia pun selalu membawa-bawa jasanya yang mengangkat derajat Bapak sehingga Bapak seperti suami yang takut istri.

Untuk apa hidup bersama kemewahan yang terasa seperti penjara?

Pergi dari rumah dan hidup sendiri adalah pilihan satu-satunya bagiku yang ingin hidup tenang. Sedikit memanfaatkan status sebagai anak Bapak, aku minta dimodali untuk membuat kafe. Awalnya, ibu tiri menolak. Namun, aku berjanji untuk mengembalikan modal saat usahaku sudah lebih maju.

Di saat itulah aku bertemu Tamtam.

Di saat itulah aku semakin dibenci oleh ibu tiriku yang benci dengan hewan berambut.

Padahal, burungnya Bapak selalu dipuji-puji, kenapa kucingku selalu dimaki-maki? Aneh. Mungkin karena burung itu berbulu, bukan berambut.

Abaikan.

Tamtam, walau aku tahu akan ada waktu bagi setiap makhluk hidup mati, tetapi Tamtam tidak memberikan kasih sayang seperti manusia. Hanya aku yang memberinya kasih sayang dan tentu hal itu tidak akan membuatku bergantung padanya. Aku lebih siap kehilangan Tamtam, daripada kehilangan manusia. Walau saat ini, aku pun sadar bahwa kehilangan Tamtam juga tidak lebih baik dari kehilangan manusia.

Mungkin, itu yang dinamakan keterikatan pada hewan peliharaan.

Aku ingat pernah membaca sedikit jurnal yang dicetak Larasati di kamar kami. Katanya, keterikatan yang amat dalam dengan hewan berhubungan dengan rasa kesepian dan ketidakpercayaan pada hubungan dengan manusia.

Haha, aku tertawa miris membaca jurnal itu. Sungguh merepresentasikan kondisiku.

"Saya jadi bingung harus gimana, Mas," ujarku pada Psikolog Chandra. "Saya nggak mau kehilangan Larasati juga. Tapi, saya takut kalo saya memberikan semua perasaan itu, dia pasti akan membalasnya, dan itu yang bikin saya takut bergantung."

Aku bisa melihat, Psikolog Chandra mengangguk-anggukkan kepalanya sembari mengerutkan dahi. Mungkin, dia juga berpikir bagaimana caranya menghadapi orang nggak jelas kayak aku ini.

"Sebenernya, Larasati udah pernah ngajak saya ke psikolog. Tapi, saya nggak merasa permasalahan saya ini bisa diselesaikan dengan konsultasi ke psikolog. Saya takut ditertawakan karena yang jadi awal masalah saya dan Larasati adalah kucing. Astaga." Aku tertawa setelah menyelesaikan kalimatku sambil menutup wajah. Menertawai diri sendiri tampaknya memang perlu kulakukan.

Di saat orang lain masalah rumah tangganya karena orang ketiga atau mertua, lah, aku dan Larasati cuma gara-gara kucing. Haha, lucunya.

"Setelah mendengar cerita Mas Juni, saya rasa bukan kucing yang sebenarnya jadi masalah kalian. Tapi, ini soal komunikasi."

"Komunikasi?"

Psikolog Chandra mengangguk. "Saya sudah menceritakan tentang ketakutannya Mbak Laras juga, kan? Bagaimana jika kalian sama-sama membicarakan ketakutan itu untuk bisa saling berkompromi?"

Aku menegakkan kembali posisi dudukku yang semakin merosot. Perbincangan ini membuat kepalaku berat dan punggungku pegal. Ingin tidur saja rasanya. "Mas, Mas Chandra, kan, cowok juga. Gengsi nggak, sih? Maksud saya, ya ampun, ini ... Aduh, saya nggak mau harga diri saya sebagai laki-laki jatuh."

"Jatuh ke mana?"

Ke hatimu. Astaga, Junpei, kenapa masih saja kebawa pick up line nggak jelas itu, sih. "Ya, jatuh. Saya, kan, laki-laki. Masa selemah ini?"

"Memang laki-laki nggak boleh lemah?"

"Ya, enggak dong, Mas. Saya, kan, harus ngelindungin kucing saya, istri saya—"

"Kucing duluan yang dilindungi?"

Aku diam, mencoba mengulang ucapanku dan baru sadar soal urutan penyebutan. "Ya ampun, urutan aja dipermasalahin, Mas?"

"Kadang, tanpa sadar itu yang memang jadi prioritas. Sepertinya, Mas Juni ini sangat terikat dengan kucingnya, ya."

Dengkusan kasar keluar dari mulutku. "Nggak tau, lah, Mas." Aku sebenarnya setengah kesal, tapi sudah setengah tertampar. Apa aku tanpa sadar malah benar-benar sebegitu tidak pedulinya dengan Larasati yang notabene adalah istriku?

"Kalo saya tawarkan konseling pasangan, apa Mas Juni berkenan? Barang kali, kita bisa merumuskan lebih jauh penanganan untuk masalahnya Mas Juni dan Mbak Laras."

"Bilang aja kalo pengen dibayar."

"Ya, wajar dong, Mas. Saya jadi psikolog juga nggak murah biaya pendidikannya."

Psikolog Chandra tertawa kecil dan membuatku tertawa juga mendengar tanggapan itu. Ah, serasa punya teman. "Boleh di—"

"Selamat siang! Kayaknya seru banget ngobrolnya?"

Aku memalingkan wajahku ke arah pintu. Perempuan yang jadi tokoh utama perbincanganku dengan Psikolog Chandra muncul dari balik pintu. Sejujurnya, aku tidak ingin menyembunyikan senyumku setiap kali melihat wajah Larasati yang semringah itu. Namun, gengsi ini sepertinya masih menguasaiku.

"Kok diem?"

Ya, karena kamu dateng, batinku dalam hati.

"Silakan, Mbak Laras."

"Mau ke mana, Mas?" tanyaku pada Psikolog Chandra yang berdiri dan seperti mau pergi.

"Saya harus jaga. Kasian klien-klien saya nanti nunggu terlalu lama. Silakan Mbak Laras dan Mas Juni bicarakan dulu, ya. Saya tunggu kabarnya."

Bisa-bisanya dia kabur di saat seperti ini. Mana mungkin aku bisa membicarakan semuanya dengan Larasati. Saat Larasati mendekat pun, aku hanya bisa memalingkan wajah.

Ya ampun, aku ini kenapa, sih?

Sudah tahu kalau Larasati kesulitan dengan sikapku, tetapi aku masih saja seperti ini. Kan, nggak lucu kalau aku dapat cap "berselingkuh" dengan kucing. Ya ampun, tiba-tiba aku kangen Tamtam.

"Tamtam gimana?"

Melihat senyum yang hilang seketika dari wajah Larasati, aku baru kembali menyadari bahwa pertanyaanku lagi-lagi untuk Tamtam.

Ya, mau gimana, lagi?

Mau bilang aku kangen Larasati, toh, dia sudah ada di hadapanku saat ini. Kangenku terobati.

Apa aku salah lagi?

***

~1416 words~

Nurunin gengsi nggak bikin ketampanan turun. Iya, nggak, Bang Junpei?

Wkwk, besok balik lagi ke POV Laras a.k.a Sasha yaaa!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro