17 || Masih Sama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gila.

Ngurusin izin nggak ke kampus aja aku harus mendengar omelan dosen ketua peneliti dengan segala penekanan terkait tanggung jawab, dedikasi, dan komitmen. Ya, maaf-maaf aja, aku pun punya komitmen untuk mengurus suamiku yang habis kecelakaan. Emangnya, beliau mau bayarin pengobatan Bang Jun kalo Bang Jun kenapa-kenapa dan nggak bisa ngurus diri di rumah? Kakinya itu, lho, masih perlu digips. Ya kali Bang Jun kubiarin masak sendiri, ngurusin Tamtam yang tingkahnya kayak reog kalo laper dan caper, apalagi mandi sendiri.

Bisa, sih. Aku percaya Bang Jun bisa ngurus dirinya sendiri. Tapi, sebagai istri yang baik hati dan berbakti meski sudah disakiti berulang kali, aku tetap mau menjadikan itu sebagai alasan untuk memperbaiki hubungan yang renggang beberapa waktu ini.

Meminta bantuan Mas Chandra untuk bicara dengan Bang Jun adalah keputusan yang tepat—menurutku saat ini—karena kurasa sesama lelaki akan lebih memahami satu sama lain. Sebagai pihak yang netral pun, Mas Chandra pasti bisa melihat dari kedua sisi. Aku tidak berharap dibela jika memang salahnya ada di aku. Hanya saja, Bang Jun juga seharusnya mau disalahkan kalau dia memang salah—salah karena nggak peduli sama istrinya sendiri.

Duh. Tiba-tiba sebel lagi.

Untungnya, rekan-rekan asisten penelitian membelaku saat mendapat omelan dan hampir tidak dapat izin dari dosen ketua penelitian. Alhasil, pengurusan izin tidak ke kampus dengan berjanji tetap mengerjakan data-data penelitian semampunya di rumah, lolos juga dapat izin dengan wajah sang dosen yang asem banget rasanya—mengingatkanku dengan wajah Squidward setiap kali dia melihat SpongeBob.

"Tenang, Sha. Urusin suami dulu aja. Nanti kita bantu kerjaannya. Toh, dikit lagi selesai ini tinggal finishing draft sama ajuin ulang ke jurnal internasional." Siska, rekan asisten penelitian satu ini, baik banget memang.

Waktu dua hari yang kuajukan ke Bang Jun untuk menginap di rumah sakit akhirnya hanya menjadi satu hari saja. Supaya Bang Jun nggak semakin ngambek padaku dan supaya Tamtam juga nggak ngereog terus karena cuma aku yang ada di rumah, lebih baik Bang Jun cepat pulang saja.

Aku membawakan jajanan favorit Bang Jun—tahu bulat yang digoreng dadakan. Sepertinya, terakhir kali aku lihat Bang Jun makan tahu bulat adalah saat kami survei tempat untuk pernikahan. Waktu itu dia bilang, "Proses kita kayak cemilan kesukaanku, ya."

"Apa?" tanyaku yang masih sibuk foto-foto suasana di luar calon gedung resepsi kami.

"Itu." Jarinya menunjuk ke sebuah arah yang tak lama baru kusadari kalau dari arah sana ada suara khas abang tahu bulat keliling.

Ya, aku tahu, seharusnya Bang Jun makan makanan sehat dulu untuk pemulihan. Tapi, sekali ini saja tidak apa-apa, kan? Supaya mood-nya Bang Jun bagus, keluar dari zona sensitif tingkat dewa, dan kami bisa pulang dengan tenang tanpa adu mulut dengan berbagai hal.

Saat membuka pintu kamar, aku cukup terkejut melihat ada sosok yang kukenal dengan snelli putih di samping ranjang Bang Jun. Saking tidak sabarnya untuk memastikan, aku langsung menyapa dengan suara keras dan membuat mereka terdiam.

"Kok diem?"

Pertanyaanku itu malah membuat Mas Chandra berdiri dan berpamitan dengan alasan tidak mau membuat klien-kliennya hari ini menunggu.

"Tadi ngobrolin apa aja sama Mas Chandra?" tanyaku sambil duduk di kursi samping kasur Bang Jun—menggantikan posisi Mas Chandra.

Bukannya dijawab, Bang Jun malah memalingkan muka ke samping kiri dan memejamkan matanya. Astaga, kupikir bicara dengan Mas Chandra bisa membuat Bang Jun berubah. Setidaknya, tidak lagi mengabaikanku. Harusnya, Mas Chandra udah nyampein semua ceritaku ke Bang Jun, kan?

"Ini aku bawain tahu bulat kesukaan Abang. Dan aku mau bilang kalau Abang bisa pulang hari ini. Ini aku mau urus adminis—"

Belum selesai aku bicara, aku sudah dikagetkan dengan aksi Bang Jun yang lompat dari ranjang, tapi terus oleng karena sepertinya dia lupa kalau kaki sebelahnya digips.

"Ah!"

"Ya ampun, Bang Jun!" Segera aku memutari ranjangnya—karena Bang Jun lompat ke sisi kiri sedangkan aku di sisi kanan—dan membantunya bangkit setelah berguling seperti sosis di lantai. "Inget, Bang, kaki masih digips!"

Suamiku itu tidak merespons kata-kataku. Aku membantunya berdiri dan mendudukkannya lagi di tepi kasur. Bang Jun merintih dengan wajahnya, tanpa suara karena ia hanya mengerutkan seluruh otot wajahnya sebagai tanda menahan sakit. Ya, lagian tiba-tiba loncat kayak kodok. Mau jadi pangeran kodok apa kodok beneran? Tau, ah.

"Kebelet apa, sih, Bang, pakai loncat begitu?" tanyaku dengan nada halus sambil memijat-mijat bagian kaki yang tidak digips. Sebenarnya, tangan Bang Jun memegangi bagian kaki yang digips. Entah apa yang dia rasakan, tetapi sepertinya kalau tiba-tiba berdiri dan kakinya kaget, ada kemungkinan ada otot yang tertarik. Jadilah kupijat bagian lainnya.

"Tamtam nyariin aku nggak?"

Hah!

Oke, aku akan belajar terbiasa dinomorduakan walau dalam hati kumembatin, Gila, sih. Gue yang susah-susah izin buat ngurusin dia, pakai kena omelan dosen, belom lagi kemarin ngurusin Tamtam yang ngereog terus, malah Tamtam lagi yang ditanyain.

Segala umpatan rasanya ingin kukeluarkan saat itu juga. Namun, umpatan dan kata kasar rasanya tidak cocok untuk aku yang terlalu lembut dan penuh kasih sayang ini. Akhirnya, aku pun tersenyum dan menjawab, "Baik."

Sudah, kan?

Satu kata cukup menggambarkan kondisi Tamtam yang selalu baik karena selalu bisa ngereog setiap menemukan cicak di rumah. Di balik Tamtam yang selalu baik, ada aku yang harus membersihkan makanannya yang berceceran ketendang kakinya yang gesit mengejar cicak. Ya Tuhann...

"Ya udah, sana urusin administrasi. Aku mau pulang."

Iya, iya, ya ampun, iya pulang. Kalo Abang nggak ngereog juga barusan, kan, aku nggak perlu pijit-pijit kakimu dulu, Bang! Duh.

"Nggak bapaknya, nggak kucingnya, sama aja."

"Kamu bilang apa?"

Aku tersentak. Kurasa aku mengucapkan perbandingan itu dalam hati, tapi sepertinya tanpa sadar terucap secara lisan. Bodo amat. "Aku bilang kalau aku mau ke administrasi dulu."

"Kayaknya tadi—"

Aku bangkit dan berjalan keluar kamar sebelum Bang Jun menyelesaikan ucapannya. Setelah menutup pintu kamar rawat, aku diam di depan pintu. Beberapa kali aku menarik napas dan mengembuskannya. Kata Mas Chandra, teknik box breathing 4-4-4-4 bisa membuatku lebih rileks dan tenang setiap kali kesal karena hal-hal tertentu. Salah satunya, ya, kalau kesal karena kelakuan Bang Jun.

Aku menarik napas dalam 4 hitungan, menahannya selama 4 hitungan, mengembuskannya selama 4 hitungan, dan menahan lagi 4 hitungan sebelum menarik napas baru. Kulakukan teknik box breathing ini dalam 5 putaran. Setelah merasa lebih rileks, kucoba untuk tersenyum dan barulah berjalan menuju bagian administrasi.

Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada sepatah kata pun dari aku dan Bang Jun. Ah, sebenarnya ada, beberapa kali aku menanyakan terkait topik yang Bang Jun obrolkan dengan Mas Chandra. Namun, Abang hanya menjawab, "Ada, lah."

"Abang ditawarin konsultasi pasangan, kan? Mau dateng?"

Hening.

"Bang?" Untuk pertanyaan ini aku butuh jawaban supaya aku tahu apakah aku akan konsultasi sendiri lagi atau bersiap konsultasi bersama Bang Jun.

"Liat nanti."

Oke, oke. Aku diam. Terserah Bang Jun, lah, mau gimana. Kupikir, meminta tolong Mas Chandra bisa membawa perubahan sedikit pada Bang Jun. Nyatanya, sama saja. Dia masih belum mau menatapku, berbicara panjang padaku, dan hanya menatap ke luar jendela.

Sampai di depan rumah, aku membantu Bang Jun turun dari mobil—kami naik taksi online dari rumah sakit—membantunya memakan kruk, dan memapahnya berjalan sampai dalam rumah. Mari hitung mundur. Tiga hitungan setelah pintu dibuka, pasti yang dicari adalah Tamtam.

Satu... Dua...

"Tamtam! Aku pulang! Kamu di mana?"

Yak, nggak sampai tiga. Sepertinya Bang Jun kangen berat sama kucing hitam itu. Bahkan, ucapan terima kasih pun tidak kudapatkan darinya. Padahal, siapa yang membantunya, merawatnya, dan menyiapkan makanan enak di meja makan khusus untuk menyambut kepulangannya?

Bukan Tamtam, tapi aku.

Dan masih saja, Tamtam yang memenangkan nominasi sosok paling dipedulikan Bang Jun. Sepertinya, predikat runner up untuk kategori paling dipedulikan Bang Jun tetap saja bukan untukku.

Tapi, ya, sudahlah. Abang bahagia, aku juga bahagia. Walau bahagianya maksa dan sedikit pura-pura, setidaknya satu saja harapan yang ingin kuwujudkan.

Terus bersama Bang Jun, meski harus terus mengalah dan tidak mendapatkan perhatian utamanya.

Masih sakit, sih, di hati. Tapi, ya, mau bagaimana lagi?

***

~1299 words~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro