25. Harap Hirap dalam Senyap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Unfurling Singing star ...
Will it reach you?

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Engah napasnya pasrah,
Tiada henti berkilah,
Meski disapa lelah-lelah yang tak punya rumah,
Tak mau dunia buatnya menyerah lalu kalah.

Langit kita bisa tumbang.
Tidakkah kau mau bantuku menopang?
Demi kisah yang tak ingin berakhir sebagai kenang ....
Sayangnya, semesta memang tak pernah menyediakan tombol untuk memulai ulang.
Hingga semua itu tertinggal di belakang ....

Renggutan kehidupan,
Hangat sisa dekapan,
Coba 'tuk pertahankan,
Di sebuah persimpangan,
Yang menggantungkan berjuta angan.

Tak lagi soal besok atau nanti ....
Bisakah kau kembali jadi melodi yang sempat mati?

Kumohon ....
Langit membutuhkan buminya.

Tanpa sadar, setetes cairan bening terjatuh begitu saja dari pelupuk mata kiri Tala, lantas menjejaki buntalan pipinya yang tebal. Apa ini? Tala tidak tahu pasti dan memang tidak memahami apa maksud konkret dari tulisan ini. Akan tetapi, kenapa rasanya sakit sekali? Seolah ada pedang yang menikam dari gurat aksara suara lara di genggaman Tala.

Detik berikutnya, terbersit sebuah ingatan yang menggambarkan figur seseorang di benak Tala. Suatu kesadaran yang tak dapat terhindarkan demi mengantisipasi segala kemungkinan terburuk yang bisa direncanakan kenyataan untuknya. Pikiran Tala terasa penuh, bersamaan dengan deru hujan yang bertambah lebat di luar sana. Tala menyalakan layar ponselnya yang sejak pulang sekolah memang sengaja disenyapkan, suatu kebiasaan Tala agar kegiatan belajarnya tidak terdistraksi sama sekali.

Benar saja. Sebuah kontak menghubunginya berkali-kali, menjadi satu-satunya yang mengisi bar notifikasi gawai Tala. Empat panggilan tak terjawab dan satu pesan yang belum terbaca. Tak mau membiarkan keresahan memenuhi seisi kepalanya lebih dulu, lekas saja Tala membuka chatroom-nya dengan Langit.

Langlanglangit Rival Abadi

Kak Tala, tolong ....

Kak Tala? Apakah yang menghubunginya ini adalah adiknya Langit? Ada apa? Langit-nya ke mana?

Sepersekian detik kemudian, Tala cepat-cepat mengetikkan pesan balasan.

Apa? Kenapa? Ini Mega?

Tidak. Centang satu. Keterangan di bawah nama kontak itu menyatakan bahwa Langit terakhir kali mengaktifkan WhatsApp miliknya sekitar pukul setengah delapan malam. Terlambat sekali. Sial. Kenapa Tala tidak mengecek sejenak notifikasi ponsel, sih, sebelumnya?

Tak mampu mengelak, degup jantung Tala berpacu. Matanya berkedip dalam tempo cepat, tak tahan dengan gelisah tanpa alasan yang memenuhi kepala. Tala bolak-balik memutari kamarnya tidak jelas. Entah bagaimana penjelasan konkretnya, tetapi Tala sungguh merasa kalau semua ini adalah kesalahan. Ada sesuatu yang keliru di sini.

Tidak bisa. Semua ini membuatnya gila. Tala membuka pintu depan rumah, membiarkan angin kencang disertai cipratan air menerpa wajah. Setelah mengunci pintu kembali, anak perempuan itu mengembangkan payung ungu miliknya, lantas menerobos hujan yang deras untuk menuju rumah di seberang jalan itu.

Seolah berusaha menahan Tala di posisinya, angin kencang membuat payung Tala nyaris terbalik menjadi mangkuk. Tala memicingkan mata. Langkahnya tidak boleh hanya sampai di sini. Tala harus memastikan segalanya. Tidak apa-apa. Mungkin Mega memohon pada Tala via chat itu dalam rangka mewakili kakaknya yang gengsi untuk mengakui bahwa dirinya sudah kalah. Langit pasti tak sanggup lagi meneruskan kompetisi ini, mengingat kemauan dan kemampuan Tala yang meningkat pesat.

Iya. Langit pasti takut untuk berhadapan dengan Tala di ujian berikutnya ... pasti. Hanya karena itu. Bukan hal lain, 'kan?

Tala menggedor-gedor pintu depan rumah Langit, seraya berteriak memanggil-manggil nama itu di tengah deru hujan yang bising. Tidak ada sahutan. Lampu rumah menyala, kok. Kalau memang keluarga Langit bepergian ke suatu tempat, setidaknya waktu malam menjemput tadi, mereka masih berada di kediaman ini. Lantas, ke mana mereka sekarang? Sudah seperti rumah kosong saja.

"Langiiit! Mega! Di manaaa?" Dengan seluruh tenaga tersisa yang melampiaskan berjuta risau di setiap penjuru hati, Tala meninju pintu berkali-kali. Tak peduli dengan kepalan tangan yang sudah berdenyut nyeri tak terperi, Tala tak menghentikan aksinya sama sekali. Mati rasa. Selama dirinya belum menemukan salah satu saja anggota keluarga Langit, pikiran Tala akan terus kacau begini. Benar. Tala berantakan.

Menyadari kegaduhan yang ada, seorang tetangga yang kebetulan lewat pun menghampiri Tala. "Lagi apa, Tala? Ini hujannya deras banget. Anginnya juga kencang. Sudah malam. Mending kamu pulang ke rumah, belajar lagi kayak biasa."

Seolah mendapat secercah harapan menuju jalan keluar, Tala langsung menatap wanita berusia kepala empat yang baru pulang dari warung untuk membeli balsem tersebut. Ribut, Tala seolah tak punya waktu untuk sekadar menarik napas. "Langit ... Ceu Atik lihat Langit?"

"Oh, Langit. Tala enggak tahu?" Sesaat, Atik memasang muka prihatin. "Tadi, Langit dibawa ke Rumah Sakit Jasa Kartini. Sekeluarga, naik mobil. Ibu kamu juga baru tahu. Katanya mau minta diantar mobil Pak Slamet, ke sananya bareng Bu Haji Amir. Kalau udah dapat, kamu juga pasti diajak, Tal."

Tak peduli dengan rentetan informasi tidak penting selanjutnya yang dibeberkan Ceu Atik, Tala memilih untuk langsung berlari kembali ke rumahnya. Biarkan saja. Kalau Ceu Atik melaporkan ketidaksopanannya pada Ibu, itu masih bisa diurus nanti-nanti. Ada hal yang jauh lebih penting dari itu.

Rumah Sakit Jasa Kartini ... itu tidak jauh berbeda dengan jarak dari rumah ke sekolah. Akan memakan waktu lama, tetapi apa boleh buat. Dengan tubuh lemas yang dipenuhi berbagai pikiran buruk, Tala memaksakan diri untuk mengayuh sepeda, melintasi jalanan yang diguyur hujan lebat. Sayangnya, air yang berakhir di genangan itu tidak turut melunturkan resah-resah yang keras kepala untuk terus mengudara, belum juga menemukan tempatnya berpulang.

Dua puluh menit. Laju sepeda itu berkali-kali terhambat oleh banjir berskala kecil yang menggenangi pusat kota. Meski begitu, Tala tak berniat untuk memperlambat kecepatan pedalnya sedikit pun. Dengan napas terengah-engah dan bahu yang naik-turun, Tala akhirnya sampai di depan bangunan besar rumah sakit yang memakan setengah jam waktu tempuh.

Tanpa perlu pikir panjang, Tala membanting sepedanya di area parkir. Dengan sekujur tubuh yang basah kuyup, Tala memaksa masuk dan meneriaki bagian resepsionis untuk memberitahunya posisi kamar yang beratasnamakan Langit Maharaja. Ketemu. Lantai dua, ruangan 22.34. Meski badannya sudah sangat penat atas segala kejadian yang menguras emosi soal pengumuman KSN dan bahan bakar baru untuk mengejar mimpinya bersama Langit di persimpangan itu ... Tala tak berhenti. Ia ingin bertemu Langit. Tala baru bisa bernapas lega kalau sudah menemukan netra hitam legam itu kembali. Tidak mau tahu.

Tala merangsek masuk ruangan yang dimaksud. Benar saja. Di sana, ada Mega, Aksa, Tika, dan seorang lelaki yang terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit.

Bahu Tala merosot. Berbagai belalai yang tertancap di tubuh ringkih itu membuat darah Tala seakan tersirap seutuhnya, habis tak bersisa. Denting panjang alat elektrokardiogram memenuhi setiap sudut ruangan. Dari sana, siapa pun tahu dengan pasti. Tala sudah benar-benar terlambat. Waktu kehidupan tak lagi memberinya kesempatan untuk mewarnai halaman terakhir sebuah kisah yang memang sudah tak menyisakan spasi tambahan itu baginya.

[Selengkapnya ada di versi cetak!<3]

"Bohong, bohong ... katanya mau KSN sampai nasional tahun ini! Katanya mau raih angan bareng-bareng!"

Akan tetapi, mau sekeras apa pun Tala berseru, semesta hanya akan tetap membisu.


Ya. Sedari awal, manusia memang bidak kehidupan yang hanya bisa merajut harap, tak peduli meski tetap saja berakhir lenyap dalam senyap, hirap.

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

How far have you drifted?
Guide to the sky ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro