26. Persimpangan yang Kehilangan Angan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lost in longing,
I’m standing still

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Dunia Tala hancur, bersamaan dengan luruhnya fragmen air mata yang pecah dan melebur. Daksa Langit sudah sempurna terkubur. Akan tetapi, tidak dengan rasa-rasa Tala yang menolak untuk mundur teratur, meski kenyataan dari partitur musik kehidupan sudah berkali-kali datang membentur. Tala terpekur. Ketika mengguratkan semua ini untuk terjadi, semesta pasti sedang berbicara melantur.

Omong kosong. Mana mungkin Langit meninggalkannya begitu saja, 'kan? Tala masih ingat dengan jelas, kok. Memori itu masihlah terekam dengan sempurna. Sebuah anggukan yang Langit berikan padanya, di seberang jalan sebelum keduanya berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing, tadi sore. Saat itu, Tala meminta Langit untuk tidak pernah menghentikan perjalanan, selagi Tala masih kewalahan untuk terus mengejar langkah kaki Langit di belakang.

Iya. Jelas-jelas Langit mengangguk, kok! Langit sudah berjanji untuk terus berlari di puncak sana. Langit tidak akan membiarkan Tala melangkah sendirian ... bukankah seharusnya memang begitu? Lantas kenapa Langit malah mengakhiri perjalanannya yang takkan pernah memiliki kesudahan ini? Tidak boleh ... garis finis itu bahkan belum kelihatan! Kenapa Langit memutuskan pergi seenaknya begitu?

"Pengecut ...." desis Tala di tengah napasnya yang memburu. Tenaganya tak lagi bersisa walau hanya untuk berdiri dengan kakinya sendiri. Dari balik punggung, Ibu Tala datang dan menarik lengan Tala untuk disampirkan pada bahunya. Kali ini, Tala tidak berontak ketika Ibu memapah tubuhnya untuk segera menepi, meninggalkan gundukan tanah yang masih basah tersebut. Gerimis masih ikut menangis di awan kelam sana.

Redum itu baru berhenti menumpahkan hujannya ketika waktu telah memasuki rentang tengah malam. Bersamaan dengan hujan di pelupuk mata Tala yang pada akhirnya reda juga dengan sendirinya. Kantung air matanya sudah kering. Indra penglihatan Tala terasa perih sekali meski sedari tadi hanya digunakan untuk mengamati pendar lampu di langit-langit kamarnya lamat-lamat.

Setelah pulang ke rumah pada lima belas menit yang lalu, Tala langsung membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan sweater biru dongker yang tebal dan nyaman. Ibu yang menyiapkannya tanpa diminta. Wanita menjelang usia kepala empat itu pasti ingin membuat suasana hati Tala lebih baik. Hanya saja, Tala tak bisa menanggapinya sama sekali. Sejak sampai di rumah sakit hanya untuk mendengar lelucon semesta, Tala sudah seperti mayat hidup.

Pucat pasi dan berantakan, seakan jiwanya sudah tak lagi menempel di raga Tala. Binar di manik cokelat terang itu sempurna padam, dan siapa pun tahu kalau menghidupkannya kembali adalah suatu hal yang tidak mudah. Tala kacau. Hari ini adalah hari yang menggulirkan siklus kehidupan Tala dengan cepat.

Tadi pagi, Tala masih terbahak senang di sisi Langit, sama-sama menikmati sensasi gugup demi menjemput detik-detik pengumuman. Siangnya, Tala kecewa berat. Tala kesal, marah, dan sibuk menyumpahi ketidakmampuan dirinya sendiri yang masih saja tidak lolos di olimpiade kompetisi sains nasional, tidak seperti Langit yang sudah melangit di atas sana. Di tengah keterpurukannya itu, Tala mengamuk pada Langit.

Bagaimanapun, itu kesempatan terakhirnya mengikuti KSN, mengingat pada satu tahun sebelumnya, ketika masih kelas sepuluh, Tala tak terpilih untuk menjadi delegasi SMANSABA di olimpiade bergengsi itu. Tala menyalahkan semesta yang tak pernah memihaknya. Lantas, masih di waktu yang sama, Langit menyemangati Tala. Selalu ada kesempatan yang lain ....

Benar. Kalimat Langit ampuh sekali. Karenanya, malam ini Tala teramat sangat semangat untuk mengerjakan latihan soal dalam porsi yang lebih banyak dari biasanya. Tala kembali merasakan gemuruh panggilan angkasa raya yang menyuruhnya untuk lekas mendaki lagi, meneruskan langkah yang sempat tertunda, lantas meraih mimpi-mimpi yang tergantung.

Akan tetapi, lagi dan lagi, kebangkitan angan itu malah mengkhianati Tala. Andai saja Tala tidak totalitas memaksimalkan usaha untuk pergi ke perpustakaan malam-malam begitu ... mungkin Tala akan menyadari pesan Langit lebih awal, lalu dirinya masih bisa merajut mimpi bersama Langit untuk terakhir kalinya. Oh, semesta ... Tala mohon! Satu keajaiban lagi saja ... sekali saja. Jangan dulu merenggut eksistensi lelaki itu dari kisah perjalanan hidupnya ....

Tala kalah. Tala sungguhan mengaku kalah telak. Jebakan rasa dan serangan kenyataan sudah menggempurnya habis-habisan, tanpa merasa segan atau sekadar kasihan sedikit pun. Kehilangan ... setelah kepergian ayahnya yang juga direnggut semesta dari kehidupan, kenapa Tala masih saja harus dihadapkan dengan kehilangan yang kedua kali? Untuk apa? Tidak puaskah semesta mempermainkan hidupnya?

Benar. Satu-satunya jalan keluar memanglah dengan melepaskan genggaman. Ya. Tidak ada yang benar-benar manusia miliki di dunia ini. Lantas, kenapa Tala masih saja merasakan kehilangan? Semuanya hilang dari genggaman ... apakah Tala memang pernah benar-benar menggenggamnya sejak awal?

Langit Maharaja ....

Pada empat tahun yang lalu, tak pernah Tala terpikirkan untuk mengajak lelaki itu berkenalan lebih dulu. Iya. Lelaki itu, tetangga barunya yang angkuh dan tampak tak mau didekati siapa pun itu. Tala mana berani menyapanya. Kalau tak sengaja berpapasan pun, Tala hanya akan curi-curi pandang dan membuang muka, lalu mengintip dari jendela kamarnya diam-diam.

Dulu, hanya ibunya Tala yang sering berinteraksi dengan penghuni baru di rumah seberang itu. Dari Ibu pulalah Tala akhirnya mengetahui kalau nama anak itu adalah Langit, satu angkatan, seumuran dengannya. Tala hidup tanpa interaksi berarti dengan Langit. Mereka bagai dua garis bersinggungan yang tumbuh bersama tetapi tidak saling mengiringi. Tala dan Langit seolah memiliki dunianya masing-masing.

Hingga akhirnya, Tala beranjak remaja, sedang sibuk-sibuknya melangitkan angan, lantas menyadari bahwa lelaki itu sedang menempuh perjalanan yang sama dengan Tala. Ya. Tala tidak melangkah sendirian. Karena itulah, Tala memutuskan untuk memasuki membran kehidupan Langit saat mereka naik ke kelas sebelas.

Meski sudah mengenal Langit hingga detik ini, bagi Tala, lelaki itu masihlah abu-abu. Tidak jelas. Selalu memiliki hal tak terduga yang melampaui ekspektasi. Netra hitam legam itu persis seperti lautan dalam yang terus menenggelamkan Tala sembari menyimpan berjuta misteri di baliknya. Sejak awal, Langit is a mystery that she want to solve. Akan tetapi, hingga jejaknya tak lagi tersisa di muka bumi sekalipun, Tala masih tak tahu apa pun tentangnya.

Penat. Tala memejamkan mata, bersiap mengunjungi alam mimpi. Atas segala hal yang terjadi begitu cepat hari ini ... Tala benar-benar perlu istirahat. Perlahan, tempo napas itu kembali normal, meluruh bersama kesadarannya yang mulai hilang.

Tala harap, semua ini tak lebih dari mimpi buruk yang akan segera berlalu.


Benar saja. Keesokan harinya, Tala sudah kembali menjalani hari sebagaimana biasanya. Lembaran baru telah dibuka. Dengan semangat meledak-ledak untuk menjemput setiap kesempatan yang ada, Tala berangkat menuju pangkal gang, tempat pemberhentian angkot. Bibir tipisnya bersenandung kecil, lantas angkat suara pada sosok lain yang mengiringi langkahnya. "Lang, pagi ini ada jadwal PELAKOR-nya Bu Yanti, ya? Balapan kayak biasa, 'kan? Aku yakin bisa dapat skor lebih tinggi! Aku udah baca materinya sekilas, tentang fluida dinamis!"

Tidak ada yang berbeda dari hari-hari biasanya. Tala menjawab banyak pertanyaan Bu Yanti dengan akurat dan begitu percaya diri. Akan tetapi, suasana hatinya yang sedang baik itu seketika musnah tak bersisa begitu jam istirahat berakhir. Ada anak baru. Namanya Bumantara. Dan hal paling menyebalkannya adalah ketika anak itu meminta teman-teman sekelas untuk memanggilnya Tara saja. Hei, bukankah itu terdengar jelas-jelas memplagiat Tala?

Sialan. Tala terus menggerutu dan mengeluhkan sikap narsistik sekaligus flirty-nya anak baru itu pada Langit. Akan tetapi, hari in Langit pendiam sekali! Dia hanya satu-dua kali menimpali, sisanya mengangguk-angguk seraya merekahkan senyuman lebar. Bahkan ketika Bu Yanti menyajikan latihan soal pun, Langit tidak seaktif biasanya. Pasti ada yang salah.

Tala baru mau menanyakan alasannya. Akan tetapi, lagi, spesies absurd bernama Tara itu malah mengikutinya hingga ke halte di dekat persimpangan. Tidak tanggung-tanggung, anak itu sampai pegang-pegang tangan Tala! Sumpah serapah sudah siap kembali mengudara dari mulut Tala, tetapi tertahan ketika mendengar satu kalimat itu ....

"Tal! Langit, kan, udah enggak ada!"

Langit ....

Mendadak, figur Langit di samping kirinya itu pecah menjadi berjuta partikel kecil. Partikel memori yang menyimpan netra hitam legam itu menyeruak, langsung berpindah untuk menyesaki kepala Tala. Bising. Meski begitu, Tala diam saja, bergeming di posisinya, hingga tak menyadari setetes cairan bening yang menjejaki buntalan tebal pipi anak perempuan itu.

Baru semalam Langit meninggalkannya ... dan Tala masih merasakan kehangatan tatapan manik hitam legam yang akan terus membersamainya itu.

Dari sana, Tala memulai perjalanan untuk menjelajahi masa yang telah lampau. Menyelami kembali memori yang telah mati ... lantas sadar seutuhnya.

Langit sudah tidak ada, bersama dengan angan-angan Tala yang turut pergi dari persimpangan itu.


Ya. Pada akhirnya, persimpangan kenangan itu benar-benar membawanya pergi, bersama dengan angan-angan yang lupa caranya untuk mempertahankan eksistensi di angkasa sana.

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Lost in longing,
I’m standing still

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro