27. Validasi Korelasi Informasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Even if you pass me by ...
I will find you,
Then I’ll reach out again to you

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Tala seakan baru terbangun dari tidur panjangnya. Layaknya cangkang telur rebus yang dibenturkan keras-keras, sebuah membran pelapis kehidupannya mendadak mengelupas dan memperlihatkan kenyataan aslinya. Langit sudah tiada. Sejak bangun tidur dan sekolah hingga sore ini, Tala mengira figur lelaki itu masih mengiringi langkahnya. Hanya saja, Tara sukses menggedor dunia Tala yang dibatasi dinding tinggi, lantas menyadarkannya bahwa eksistensi Langit di kepalanya berupa tak lebih dari representasi memori yang menolak untuk mati.

Iya, Tara. Spesies asing yang belum satu hari merangsek masuk ke kehidupannya, tak jauh berbeda dengan virus atau patogen asing lainnya. Menyebalkan. Padahal, anak itu bukan siapa-siapa. Tara tidak pernah berkenalan atau bertemu dengan Langit. Tara bahkan baru mengetahui kalau Langit, nama yang selalu didengungkan bibir tipis Tala itu, adalah penghuni bangku Tara sebelumnya yang sudah meninggal dunia.

Kalau harus sadar diri dan posisinya di dunia Tala, tentu saja Tara cenderung lancang, tidak sopan sekali membeberkan kembali kenyataan pahit tersebut. Tara jahat. Dia bukan siapa-siapa, tetapi seenaknya menyingkap perisai yang Tala pasang untuk menutupi luka menganga di penjuru hatinya.

Meski begitu, justru karena adanya fakta bahwa Tara tidak tumbuh bersama Tala, membuat lelaki itu lebih ringan untuk membicarakan kepergian Langit. Iya. Setiap warga SMANSABA sudah tahu kalau Langit memang paling dekat dengan Tala, sejak awal kelas sebelas. Mereka tahu kalau Tala adalah anak yang paling terdampak dari kematian Langit, sehingga tidak ada satu orang pun yang berani menegurnya.

Sudah menjadi suatu rahasia umum, orang-orang menyadari soal tingkah aneh Tala yang terus berbicara seorang diri, seolah masih ada sosok Langit di hidupnya. Ketika berhasil menaklukkan soal fisika dari Bu Yanti dengan akurat dan dipuji habis-habisan, Tala berselebrasi seraya menyombongkan diri pada kursi kosong di sebelahnya. Ketika jam istirahat, di salah satu meja pojok kantin, Tala asyik menghafal biologi seraya berceloteh panjang pada udara hampa di hadapannya.

Bahkan ketika jam istirahat habis dan muncullah Tara, anak pindahan yang diminta wali kelas mereka untuk duduk di kursi kosong peninggalan Langit sekalipun, anak perempuan itu malah pasang badan, mencegah siapa pun untuk mengusir Langit yang memang sejatinya sudah tidak ada di sana. Tala marah sekali saat itu. Kepribadiannya yang memang sensitif dan pemarah itu seketika saja mengamuk habis-habisan, menolak kehadiran Tara mentah-mentah.

Kantung mata Tala yang berukuran besar itu menggelayut suram, seolah sedang memikul beban berat di sana. Lingkar mata Tala begitu hitam. Siapa pun tahu kalau Tala terguncang parah begitu mendengar kabar meninggalnya Langit. Mereka sudah mengira kalau Tala akan banyak diam dan menangis sepanjang waktu begitu masuk sekolah tadi. Akan tetapi, anak itu malah berperilaku sebagaimana biasanya dan bertingkah seolah Langit masihlah ada.

Fase denial ... salah satu dari lima fase seseorang ketika merasakan kesedihan. Namun, Tala langsung tersadar oleh tamparan tak kasat mata yang menghantamnya kuat-kuat. Tara pelakunya. Tak dapat dibendung lagi, rinai air mata pun berderai seketika dari manik cokelat terang itu. Tala memandangi Tara dan laju kendaraan di balik punggung lelaki itu, padat sekali, berseliweran melintasi persimpangan, beriringan dengan pergantian lampu lalu lintas yang terasa monokrom di mata Tala. Sorot mata itu begitu kosong, hampa ... rasanya Tara saja bisa jatuh terperosok ke dalamnya.

Angkot biru tua sudah melintas beberapa kali di hadapan keduanya, bahkan menekan klakson berulang-ulang untuk memastikan bahwa Tala dan Tara memang tidak akan naik untuk menumpang. Di sampingnya, Tara hanya bisa terdiam, lantas berdeham singkat dengan canggung. Tangisan Tala deras sekali, meski tidak mengeluarkan suara. Orang-orang tidak akan menganggapnya sebagai laki-laki sialan yang membuat seorang perempuan menangis, 'kan?

Ah, persetan soal apa kata orang. Lewat tatapan saja, Tara sudah tahu kalau manik cokelat terang Tala menyorotkan rasa sakit tak terdefinisi. Mana mungkin Tara memaksanya berhenti menangis, 'kan? Tala sedang menyalurkan emosi di dalamnya. Itu baik. Jauh lebih baik daripada terus-terusan dipendam dan malah menyesaki ruang hati. Kalau dibiarkan terus-menerus, anak itu bisa meledak suatu saat nanti, 'kan? Tara mengusap tengkuknya sendiri, bingung, tetapi masih bersikap tenang.

Seharusnya ... Tara berusaha untuk membuat anak perempuan yang duduk di sampingnya ini merasa nyaman, 'kan? Haruskah Tara merengkuh Tala dalam dekapan menenangkan?

Oh, tidak, tidak. Mereka baru saling mengenal hari ini. Sialan sekali kalau Tara langsung bertindak sejauh itu. Akan tetapi ... serius, deh! Tara tidak tahan kalau melihat orang yang menangis di sekitarnya, apalagi seorang perempuan. Tara seperti sedang melihat mendiang mamanya yang tersakiti ....

Kepala Tara mendongak, lamat-lamat mengamati pasukan mega jingga yang mengawal kepergian mentari di kaki langit. Tara menghela napas panjang. Ya. Dirinya tidak mengenal dunia Tala sama sekali. Namun, Tara merasa sudah paham luar-dalam mengenai apa yang tengah anak perempuan itu rasakan. Tatapan kosong, jerit tangisan dalam diam, netra basah yang mencoba memahami bagaimana cara kerja semesta, tetapi malah mendapati satu per satu pijaknya mulai direnggut kehidupan ....

Tara tahu, Tara memahaminya betul-betul. Hidup berdampingan dengan rasa kehilangan membuat Tara jauh lebih mahir untuk mengidentifikasi orang-orang yang dunianya hancur seperti dirinya.

Tak sadar, mereka sudah menghabiskan setengah jam lamanya untuk sekadar duduk di halte dekat persimpangan, dan berdialog senyap dengan angin petang yang berbisik. Tala tersentak. Memori yang diputar ulang secara otomatis di kepalanya sudah sempurna usai. Isi kepalanya mulai bertambah jernih. Kini, Tala bisa mengingat segala hal yang terjadi, termasuk rasa sakit itu, dengan rasa yang jauh lebih terkendali. Rasionalitasnya kembali bergulir, bekerja sebagaimana mestinya.

Langit ... Langit kita bisa tumbang. Juga tentang Langit yang membutuhkan buminya ....

Tidak. Tunggu. Bagaimana soal pesan-pesan misterius yang diterima Tala sejak pelaksanaan SMANSABA Day pada dua bulan lalu? Siapa pengirimnya? Sebentar ... kalau tidak salah mengingat, gumpalan kertas itu masih ada di sana ... belum Tala buang!

Dengan ledakan antusias yang dihantarkan seluruh sel sarafnya, Tala langsung melepas ransel di punggung, lantas menggeledah isinya. Mendapati aksi mendadak tersebut, Tara hanya bisa termangu menyaksikan anak perempuan yang sedang sibuk mengeduk isi tas, mengeluarkan buku paket yang setebal bantal, lantas meraih tiga gumpalan kertas dari sana. Tala menelan saliva susah payah. Kedua tangannya begitu tremor ketika menyentuh benda yang pada awalnya ia anggap sebagai tak lebih dari sampah, pencemaran lingkungan.

Tidak. Semua ini ... pasti menyimpan suatu hal krusial di baliknya. Soal kepergian Langit ... surat ini berkali-kali menyebut langit dan bumi, 'kan? Tentang langit kita yang bisa tumbang ... pelaku di balik semua pesan misterius ini pasti tahu betul bahwa Langit tidak cukup berkuasa untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi. Bagaimana bisa?

Demi mencari petunjuk tambahan, Tala pun membuka semua gumpalan kertas itu. Menganalisis, menghubungkannya, berspekulasi, membacanya kembali, berulang kali ....

Kedua alis tebal Tala mengernyit, mengikis jarak satu sama lain. Ada sesuatu yang ganjil. Ada petunjuk di sini. Pasti. Tala hanya perlu menajamkan rasa dan tingkat kepekaannya untuk memahami aksara yang tertera di sini dengan sungguh-sungguh. Tala harus memecahkan semua ini.

Teruntuk bentang dunianya ....

Aku mohon. Jaga kurva di lintang dirgantara itu.

Dunia ... bentang dunia ini merujuk pada Tala, Bentala, yang tak lain adalah sinonim dari bumi. Benar, 'kan? Dirgantara ... dirgantara itu sinonim dari langit. Kurva di lintang dirgantara ... dia meminta Tala untuk menjaga senyuman Langit?

Arakan awanku tak lagi mampu menahan segalanya untuk tetap baik-baik saja ....

Bantu aku menjaga langit kita.

Arakan awanku? Ini dia! Tala mencondongkan kepala untuk membaca surat di genggaman tangannya lebih saksama ....

[Selengkapnya tersedia di Persimpangan Angan versi cetak<3]

Tunggu. Mungkinkah? Manik cokelat terang itu membelalak. Jawaban yang dicarinya terasa dekat sekali ....


⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

No, everything is still filled with you,
I still can’t go anywhere

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro