6. Flowers Mistery

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Please, tap bintang sebelum baca.
Makasih.
.
.

♡♡♡

Studio itu menjadi ramai sejak kedatangan Dannis sebagai fotografer. Tawaran dari perusahaan dan desainer datang silih bergantian untuk bekerjasama dengan studio yang kini dikelola olehnya bersama Rista. Hal itu membuat keduanya sibuk mengurus jadwal pemotretan. Dannis seakan menjadi pujian karyawan karena telah membawa keberuntungan. Bukan hanya parasnya saja yang memukau, tapi dari segi pemotretan menjadi kebanggaan tersendiri. Tak kalah hebat saat mendiang Gema masih ada. Seandainya mereka tahu bahwa Dannis yang menggaet perusahaan dan desainer itu agar bekerjasama dengan studio mendiang sahabatnya.

Suara pintu terbuka menjeda aktivitas Rista, membuatnya segera beranjak dari dapur. Terlihat sosok laki-laki yang dia tunggu berjalan masuk ke dalam. Langkah Dannis seketika terhenti saat melihat penampilan Rista. Dahinya berkerut karena tak percaya jika gadis itu akan berkutat di dapur.

"Apa yang kamu lakukan di dapur?" tanya Dannis sambil melajutkan langkah.

"Masak makan malam," balas Rista dengan nada tak yakin.

Sejak dia kamu bisa masak? Aku tak yakin. Dannis membatin sambil menyampirkan jas di kursi ruang makan.

"Kamu tunggu saja di ruang makan. Sebentar lagi jadi." Rista menginstruksi.

Dannis berjalan cepat menuju dapur tanpa memedulikan ucapan gadis itu. Aroma tak sedap mengganggu indera penciumannya. Dia menghela napas saat melihat pemandangan dapur yang berantakan. Tangannya bergerak cepat mematikan kompor karena mendapati masakan yang dimasak gadis mengeluarkan aroma tak sedap. Rista sontak membulatkan mata saat melihat masakannya gosong. Lupa mematikan kompor saat meninggalkan dapur.

"Kamu tahu tidak bisa memasak, tapi kenapa memaksa untuk melakukannya?" tanya Dannis dengan nada menahan amarah.

"Maaf," lirih Rista.

"Bersihkan semua ini. Semua harus sudah bersih sebelum aku keluar dari kamar." Dannis beranjak dari posisinya untuk menuju kamar.

Rista menghela napas karena telah membuat sang empunya rumah marah. Niatnya untuk memasak makan malam justru berantakan karena kecerobohan yang dia lakukan. Rista bukan tak bisa memasak. Jika hanya sekedar memasak telur dadar atau menggoreng sosis, dia bisa melakukannya. Beberapa menit yang lalu, dia berencana memasak sesuai resep dari internet, tapi kegagalan yang dia dapatkan. Terkadang, resep dari internet belum tentu sesuai dengan hasil yang didapat setelah melakukannya.

Suara bel membuyarkan pikiran Rista, menjeda aktivitasnya membersihkan dapur. Dia beranjak dari dapur untuk memastikan seseorang yang menekan bel itu. Hati Rista pun dipenuhi tanda tanya. Khawatir jika yang datang adalah sahabat atau pacar Dannis. Rista menatap video door phone di samping pintu untuk memastikan seseorang di luar sana. Terlihat petugas keamanan berdiri di depan pintu.

"Ada apa?"

Pertanyaan itu membuat Rista terkesiap. Dia melempar pandangan ke sumber suara. Terlihat Dannis berdiri di depan pintu kamarnya. Bel kembali menggema, mengalihkan perhatian keduanya. Dannis mengayun langkah untuk menghampiri pintu, sedangkan Rista beranjak dari posisinya untuk kembali ke dapur.

Pintu pun terbuka. Rupanya pesanan Dannis telah tiba. Dia berterima kasih pada petugas keamanan setelah menerima barang pesanannya. Pintu kembali ditutup. Dannis mengayun langkah untuk menuju ruang makan.

"Kemari." Dannis menginstruksi Rista agar menghadapnya.

Rista sontak menatap laki-laki yang sedang berdiri di dekat meja makan. Pandangannya beralih pada sesuatu di tangan laki-laki itu. Dia mengayun langkah untuk mendekat. Tatapan Rista masih mengarah pada benda di tangan Dannis.

"Ini untukmu." Dannis mengulurkan benda yang ada di tangannya untuk gadis yang ada di hadapannya saat ini. Tahu jika Rista sangat menyukai benda hidup itu.

Tak ada respon. Gadis di depannya masih bergeming tanpa ingin menerima pemberian Dannis. Apa yang sedang Rista pikirkan?

"Hei ... what are you thinking?" tanya Dannis heran karena gadis di hadapannya hanya terdiam. Seharusnya Rista senang, bukan malah terdiam tanpa ekspresi.

"Apa kamu yang kirim bunga ke studio waktu itu?" tanya Rista balik mengabaikan pertanyaan laki-laki itu.

"What do you mean?" Dannis menatap Rista bingung.

"Tolong jangan bercanda. Aku serius nanya sama kamu, apa kamu yang kirim bunga di hari jadian aku sama Mas Gema selama dua tahun? Dan saat itu juga kamu datang ke studio buat ketemu aku, tapi aku lagi di makam Mas Gema karena masalah bunga itu."

Dannis tersenyum hampa karena sudah dituduh mengirim bunga saat di mana dia ingin menemui pemilik studio Gema. Tak mengerti apa yang sedang Rista maksudkan.

"Dengar. Aku tidak pernah mengirim bunga apa pun ke studio Gema. Aku memang tahu saat itu hari jadi kalian dan hari di mana kalian akan menikah, tapi aku tidak berpikir untuk mengirim kamu bunga," jelas Dannis.

"Lalu kenapa kamu beli bunga itu dan kasih ke aku?"

"Karena Gema pernah bilang padaku jika kamu menyukai bunga ini. Aku beli bunga ini untuk memberimu semangat. Apa aku salah?"

Terus siapa yang kirim bunga itu kalau bukan Dannis? Apa dia sedang bohong sama aku?

"Kenapa kamu mempermasalahkan sesuatu yang tidak penting?"

"Mungkin hal ini nggak penting buat kamu, tapi penting buat aku karena menyangkut Mas Gema. Hanya Mas Gema yang selalu kasih bunga itu ke aku, dan nggak ada orang lain yang tau masalah bunga itu."

"Lalu kenapa kamu menuduhku?"

"Karena kamu orang yang paling dekat dengan Mas Gema, dan mungkin kamu yang mengirim bunga itu."

"Tapi aku bukan pengirim bunga itu. Dan aku tidak suka sembunyi-sembunyi memberikan sesuatu pada orang lain, terlebih menyangkut Gema."

"Terus siapa yang kirim bunga itu?" tanya Rista dengan ekspresi frustrasi.

"Bisa saja Gema."

"Nggak mungkin. Aku tau toko bunga langganan Mas Gema. Aku sudah nanya ke sana, dan toko itu bukan pengirimnya."

Lalu siapa pengirim bunga itu? Apa maksudnya mengirim bunga itu pada Queen?

Setelah perdebatan masalah bunga selesai, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Bunga yang Dannis beli untuk diberikan pada Rista pun teronggok di atas meja tanpa disentuh. Bunga berlambang kebahagiaan itu amat Rista sukai. Masalahnya saat ini bukan karena bunga pemberian Dannis, melainkan pengirim  misterius yang saat itu mengirim bunga ke studio di hari jadinya yang kedua tahun bersama Gema.

Dannis menatap sekilas ke arah gadis yang masih duduk di ruang makan di sela aktivitasnya membuat makan malam. Dua piring kosong diisinya dengan nasi goreng yang telah dia masak. Hanya tersisa bahan seadanya untuk membuat nasi goreng karena stok bahan sebelumnya telah digunakan Rista sebagai eksperimen. Hasilnya gagal total. Dannis membawa dua piring berisi nasi goreng untuk disajikan.

"Jangan terlalu dipikiran. Aku akan membantumu mencari pengirim bunga itu." Dannis menyajikan nasi goreng di hadapan Rista.

Pikiran Rista seketika buyar. Dia menatap makanan di hadapannya. "Terima kasih. Tapi aku nggak mau merepotkan kamu lagi. Aku bisa cari tau sendiri."

"Aku membantumu karena penasaran akan orang itu sudah membawa nama Gema, dan terutama karena kamu sudah menuduhku. Aku ingin membuktikan padamu jika bukan aku pengirimnya," jelas Dannis setelah duduk di kursi kosong.

Jika bukan karena Gema, aku tentu tidak ingin melakukannya. Dannis membatin sambil menyantap makanannya karena tak mendapat respon dari gadis di hadapannya.

***

Sudah beberapa hari ini Dannis dan Rista menjadi pusat perhatian karyawan kantor karena selalu bersama saat datang ke studio. Mereka hanya tahu jika Dannis fotorgafer di studio itu, sekaligus sahabat dekat Gema. Tapi tidak untuk masalah kepemilikan studio itu atau apartemen milik Rista. Bahkan April pun belum mengetahui dua hal tersebut. Keduanya masih menjadi rahasia Dannis dan Rista.

"April. Ke ruanganku sekarang," perintah Rista saat memasuki studio dan mendapati April sedang berbicara dengan karyawan lain.

April menuruti perintah atasannya, berjalan mengikuti Rista dari belakang, lalu disusul Dannis. Tiga orang itu sudah di dalam ruangan tujuan. Rista meraih buket bunga yang sudah mulai mengering, masih dalam balutan kertas pelapis. Bukan hanya bunga saja, tapi Rista pun mengeluarkan notes yang dia simpan karena berhubungan dengan bunga itu.

"Ini bunga dan pesan yang waktu itu dikirim ke sini atas nama Mas Gema. Aku sama sekali nggak tau siapa pengirimnya. Tulisan itu bukan ditulis Mas Gema, tapi dia selalu menulis kata-kata itu kalau kasih bunga ini ke aku," ungkap Rista saat bukti sudah terkumpul di atas meja.

Sebenarnya ada apa? Kenapa Rista menunjukkan barang-barang ini pada Dannis? tanya April bingung di dalam hati.

Dannis meraih kartu ucapan tersebut, menatapnya seksama. "Bisa saja ini memang dari Gema melalui orang lain," ucap Dannis.

"Tapi siapa? Kenapa harus sembunyi-sembunyi seperti ini?" tanya Rista.

"Aku ingin lihat CCTV depan," pinta Dannis.

Di saat yang sama, pintu ruangan itu diketuk seseorang. Rista mengizikan orang tersebut masuk.

"Pak Iwan sudah datang, Mbak." Karyawan mengungkapkan.

"Aku akan menemui Pak Iwan. Kamu akan diantar April ke ruang CCTV." Rista membagi tugas.

Semua orang di ruangan itu bergegas meninggalkan posisi untuk melakukan tugaa masing-masing. Rista menemui tamu, sedangkan Dannis dan April memastikan CCTV mengenai pengirim bunga pada tempo hari.

Saat tiba di ruangan yang dituju dan menyaksikan sekilas rekaman CCTV, Dannis langsung menyalin rekaman tersebut ke dalam ponselnya tanpa izin terlebih dahulu. Dia harus bertindak cepat untuk mencari dalang pengirim bunga itu. Setelah keperluannya selesai, dia keluar dari ruangan itu diikuti April dari belakang.

"Aku akan keluar sebentar," ucap Dannis pada April tanpa membalikkan tubuh.

"Tapi dua jam lagi ada pemotretan," timpal April.

"Aku akan kembali sebelum waktu pemotretan. Pastikan semuanya sudah siap sebelum aku tiba."

April menghentikan langkah saat Dannis berjalan menuju pintu keluar. Dia hanya menatap punggung laki-laki itu yang tak lagi terlihat karena sudah keluar dari studio. Helaan napas terlihat jelas pada rautnya. Dia kembali mengayun langkah untuk menuju ruang pemotretan.

***

"Cari tahu toko bunga dalam video yang aku kirim dan pengirim atas nama Gema Narendra. Aku tunggu sampai lusa," ucap Dannis pada asisten pribadinya. Asisten sekaligus wakil yang selalu menggantikannya dalam keadaan darurat.

"Baik, Tuan." Sang asisten mengangguk.

Dannis berlalu dari hadapan sang asisten setelah mobil yang akan dia kendarai tiba di lobi. Masih ada waktu 20 menit untuknya agar segera tiba di studio karena harus melakukan pemotretan. Dannis menancap gas untuk melajukan mobilnya menuju studio.

Deringan ponsel mengalihkan perhatian Dannis dari kemudi. Sekilas, dia menatap ke layar ponsel yang tergeletak di dasbor. Nama Rista menghiasi layar ponselnya. Perangkat jemala segera dia pasangkan ke telinga, lalu menekan tombol untuk menerima panggilan telepon dari gadis itu.

"Kamu di mana? Kamu lupa kalau sebentar lagi ada pemotretan? Kenapa kamu malah pergi?" tanya Rista saat panggilan telepon tersambung.

Jika tahu akan mendapat omelan, lebih baik aku tak angkat telepon darinya.

"Dannis!"

"Pastikan semuanya sudah siap. Lima menit lagi aku sampai di studio." Dannis mematikan sambungan telepon sepihak setelah mengucapkan kalimat itu.

Mobil yang dia kendarai melaju cepat agar segera tiba di studio. Meeting yang dia kira tak membutuhkan waktu lama, ternyata tak sesuai prediksi.

Dannis bergegas keluar dari mobil setelah tiba di halaman studio. Jas dan dasi masih menghiasi tubuhnya. Dia menjadi pusat perhatian karyawan karena penampilannya. Hal itu membuat Dannis menatap tubuhnya sendiri. Jas segera dia lepas dari tubuhnya, disusul dasi yang melingar di kerah kemejanya, lalu menyampirkan keduanya di sembarang tempat. Langkah Dannis terayun cepat menuju ruang pemotretan.

"Semua sudah siap?" tanya Dannis ketika tiba di ruang pemotretan.

Perhatian semua orang di ruangan itu beralih pada sumber suara. Terlihat Dannis berjalan mendekat ke tempat kamera, meraih salah satu kamera yang sudah di siapkan.

"Ayo! Semuanya kembali fokus!" seru April.

Pandangan Rista masih terfokus pada laki-laki yang sedang memastikan kamera. Aku pikir dia akan terlambat, tapi ternyata tepat waktu seperti ucapannya.

Rista terkesiap saat mendapati Dannis ikut menatapnya dengan dahi berkerut. Dia beranjak dari posisi untuk fokus pada pemotretan. Malu karena tertangkap basah memerhatikan laki-laki itu.

Seperti biasa, Dannis terlihat totalitas dalam melakukan tugasnya. Meski Rista tahu jika laki-laki itu memiliki kesibukan lain yang lebih penting, tapi Dannis rela meluangkan waktu untuk ikut mengembangkan studio milik mendiang sahabatnya.

***

Siapa yang sudah nuduh Dannis kirim bunga itu?
Kira-kira siapa yang kirim bunga itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro