7. Memutus Kenangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy enjoyyy
Selamat membaca.
Jangan lupa tap ☆



"Sebelumnya, apartemen ini milik seorang model ternama, Pak. Setiap ruangan tanpa minus karena pemilik sebelumnya sangat menjaga apartemen ini," jelas makelar pada Dannis perihal apartemen yang sebelumnya tempat tinggal Rista.

Dannis mengayun langkah, menyusuri setiap ruangan di apartemen itu diikuti sang makelar. Langkah Dannis terhenti saat melihat warna dinding pada suatu ruangan, mengingatkannya pada kejadian perihal warna bersama Gema. Warna kesukaan sabahatnya berpadu dengan warna kesukaan Rista.

Apa Gema sering datang ke sini? Apa mereka ...? Untuk apa aku membeli apartemen ini jika akan membuat aku dan dia teringat pada Gema? Aku tidak perlu membeli apartemen ini. Biarkan dia melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang Gema. Aku harus menyingkirkan kenangan bersama Gema dalam hidupnya.

"Bagaimana, Pak?"

Pertanyaan sang makelar membuat Dannis terkesiap. "Apartemen ini terlalu sempit. Saya membutuhkan apartemen yang lebih luas dari ini," ungkapnya. Langkah Dannis kembali terayun untuk keluar dari apartemen itu.

"Ini unit nomor dua, Pak. Apa masih kurang luas untuk ukuran apartemen nomor dua? Yang lebih luas tentu harganya lebih tinggi dari ini."

Langkah Dannis seketika terhenti. Senyum sinis menghiasi rautnya. "Apa Anda pikir saya tidak sanggup membeli apartemen yang lebih mahal dari tempat ini?" tanya Dannis sinis.

"Bukan seperti itu, Pak. Saya-"

"Terima kasih atas waktunya. Saya akan mencari apartemen yang lebih luas dari ini." Dannis beranjak dari posisinya setelah mengatakan hal itu.

Jika saja makelar itu tahu bahwa Dannis adalah pemilik unit termewah di apartemen itu, mungkin dia akan terkejut. Awalnya, tujuan Dannis meninjau apartemen itu untuk memastikan dan berniat membeli kembali. Tapi niatnya terurung saat mengingat ada banyak kenangan Gema di apartemen itu yang akan menghambat Rista untuk move on.

Lift terbuka. Dannis bergegas keluar, lalu masuk ke dalam apartemen miliknya. Setelah pulang dari studio, dia tidak langsung pulang ke apartemennya, melainkan bertemu dengan makelar apartemen yang pernah dihuni Rista. Sedangkan Rista sudah lebih dulu pulang ke apartemen Dannis.

Langkah Dannis terhenti saat melihat tubuh Rista terbaring di atas sofa. Mata gadis itu terpejam. Sepertinya dia kelelahan menanti Dannis sampai membuatnya tertidur di atas sofa. Dannis menghampiri Rista, merendahkan tubuh di hadapan gadis itu. Wajahnya terlihat polos, tenang, dan damai. Tanpa Dannis sadari, senyum tercetak jelas pada bibirnya. Cukup lama dia menatap gadis di hadapannya yang sedang terpejam.

Setelah tersadar sudah cukup lama memerhatikan gadis itu, Dannis bergegas meninggalkan ruang tamu. Dia mengayun langkah menuju ruang makan. Beberapa makanan sudah tersaji di atas meja. Tatapan Dannis beralih ke arah dapur. Khawatir jika gadis itu kembali membuat kekacauan di ruangan itu. Semua terlihat rapi dan aman. Ada kelegaan di dalam hatinya karena gadis itu tidak memasak. Sudah tentu makanan yang tersaji hasil membeli dari luar. Pandangannya kembali mengitari sekitar, lalu menangkap sesuatu di sisi ruang makan. Bunga yang dia beli terpajang satu per satu pada gelas yang sudah berisi air. Dia menyadari jika di dalam rumahnya tak memiliki vas. Senyum kembali menghiasi wajah Dannis. Senyum yang tak biasa dia kembangkan.

Dannis meninggalkan ruang makan untuk menuju kamar, meraih selimut untuk gadis yang kini menjadi tanggung jawabnya karena amanah dari sang sahabat. Sebelum keluar kamar, Dannis mengirim pesan pada sang asisten --Kelvin-- untuk mencari vas dan mengirimkan segera ke apartemen. Setelah itu, dia keluar dari kamar untuk menyelimuti tubuh gadis itu.

"Kamu sudah pulang?"

Pertanyaan itu sontak membuat Dannis terkejut. Persis di belakang tubuhnya saat keluar dari kamar. Hampir saja selimut di tangannya terjatuh jika Rista tak ikut menopang. Dannis masih bergeming, menatap raut gadis di hadapannya yang hanya berjarak beberapa centi. Dehaman Rista membuatnya tersadar, fokus pada dunia nyata.

"Aku berniat menyelimutimu, tapi rupanya kamu sudah terbangun," ucap Dannis memecah kecanggungan.

Senyum kikuk terlihat jelas pada parah ayu Rista. Malu pada laki-laki di hadapannya karena sudah ke sekian kali merepotkan.

"Aku sudah pesankan makan malam buat kamu." Rista beranjak dari posisinya untuk menuju ruang makan.

Dannis kembali masuk ke dalam kamar, meletakkan selimut di sofa, lalu kembali keluar untuk menuju ruang makan. "Kenapa kamu memesankan makanan itu? Aku bisa pesan atau masak sendiri," susulnya, menatap kembali menu makanan di atas meja.

"Anggap saja sebagai salah satu rasa terima kasihku karena kamu sudah membantuku selama ini."

Bantuan dariku? Sebesar apa pun bayaran itu tidak akan bisa menggantikan apa yang sudah aku lakukan padamu. Terlalu mahal jika kamu ingin membayarnya. Kecuali dengan nyawa.

Sebenarnya, makanan yang Rista pesankan bukan kesukaan Dannis. Jika tidak menyinggung Rista, tentu dia akan membuang makanan itu. Bukan karena masalah harga, tapi selera yang membuatnya teliti dalam memilih makanan.

Keduanya sudah duduk di ruang makan, saling berhadapan, hanya terhalang meja. Dannis mulai menyendok makanan yang tersaji, sedangkan Rista masih diam tanpa ada niatan untuk ikut makan.

"Kamu tidak makan?" tanya Dannis memastikan.

"Tidak. Aku tidak pernah makan malam."

Bukankah dia sudah tidak menjadi model? Lalu kenapa masih menjaga pola makan ketat?

Dannis meletakkan sendok dan garpu di sisi piring. "Jika kamu tidak makan, aku pun tidak akan makan," protesnya.

"Jangan begitu." Rista terlihat bingung. "Kamu tau kalau aku nggak biasa makan malam," lanjutnya.

"Kamu sudah bukan lagi model."

"Apa menjaga pola makan hanya boleh dilakukan oleh seorang model."

"Temani aku makan atau aku tidak makan sama sekali."

"Tolong jangan seperti ini," mohon Rista.

Perdebatan mereka terjeda karena suara bel. Dannis beranjak dari kursi untuk membuka pintu karena dia tahu siapa orang yang datang. Sesuai dugaan, Kelvin berdiri di depan pintu, membawa pesanan Dannis.

"Apa sudah ada petunjuk mengenai pengirim bunga itu?" tanya Dannis sambil menerima kotak berisi benda pesanannya.

"Alamat tokonya sudah dapat. Pas saya ke sana tokonya sudah tutup. Besok akan saya kunjungi lagi sekaligus cari informasi mengenai pengirim itu," balas Kelvin.

"Lakukan yang terbaik. Aku tunggu hasilnya secepat mungkin."

Kelvin mengangguk pada sang atasan, lalu pamit pergi. Setelah mengizinkan sang asisten pergi, Dannis bergegas masuk ke dalam. Rista masih terduduk di posisi sebelumnya. Kotak di tangan Dannis diletakkan pada sisi meja makan. Sontak menjadi perhatian Rista.

"Buat kamu," ucap Dannis setelah meletakkan kota itu, lalu beranjak duduk di kursi sebelumnya yang dia duduki.

"Buat aku?" tanya Rista tak percaya.

"Iya. Bisa buka nanti. Sekarang, temani aku makan, dan tidak ada penolakan."

"Tapi-"

"Tidak ada tapi-tapi," potong Dannis.

Rista tersenyum getir karena harus menuruti permintaan laki-laki itu. Menolak pun tak bisa karena khawatir Dannis akan marah dan tidak mau makan makanan yang dia pesan. Dengan gerakan terpaksa dia ikut makan meski hanya sedikit demi menghargai sang empunya rumah. Keduanya sama-sama terpaksa menyantap makanan yang tersaji demi menghargai satu sama lain.

Kira-kira apa isinya di dalam kotak ini? tanya Rista dalam hati sambil menatap kotak di sisi meja dekat tangannya.

"Kamu bisa buka sekarang," kata Dannis karena tahu jika gadis di hadapannya penasaran akan isi di dalam kotak itu.

Rista sontak menatap laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu manginstruksinya dengan lirikan mata pada kotak berisi benda yang Rista butuhkan saat ini. Rista beranjak dari kursi, lalu membuka perlahan kotak tersebut. Sesaat dia tertegun. Lalu pandangannya beralih pada bunga Peony yang dia susun satu per satu dalam gelas  di atas meja yang ada di sudut ruangan itu. Bunga kesukaannya yang dibelikan Dannis kemarin malam.

"Akan lebih bagus jika disusun dalam satu tempat atau dibagi menjadi dua jika vasnya tidak cukup," imbuh Dannis.

"Makasih," ucap Rista tulus sambil mengeluarkan vas tersebut dari dalam kotak. Dia begegas membawa vas ke dapur untuk mengisinya dengan air terlebih dahulu.

"Apa alasanmu menyukai bunga itu?" tanya Dannis ingin tahu.

"Karena bungannya saat mekar terlihat cantik," balas Rista.

"Hanya itu?"

Dannis menatap gadis itu karena tak mendapat jawaban. Terlihat Rista berjalan melewatinya sambil membawa vas yang sudah di isi dengan air. Setiap gerik gadis itu menjadi pusat perhatiannya. Gadis itu terlihat terampil menata setiap bunga ke dalam vas.

"Auh."

Erangan itu membuat Dannis segera beranjak dari duduknya. Terlihat jari Rista mengeluarkan darah saat dia tiba di dekat gadis itu. Dannis sontak meraih jari Rista, berniat menyelupkannya ke dalam gelas berisi air, tapi Rista menarik tangannya, memasukkan jarinya yang mengeluarkan darah ke dalam mulut. Tangan Dannis sontak terlepas dari tangan gadis itu karena merasa jijik.

"Kenapa kamu memasukkan jari ..." ucapan Dannis terpotong karena mengingat kejadian di mana Gema pernah melakukan hal itu pada tangannya saat terluka.

"Cuma luka kecil, jadi kamu nggak perlu khawatir."

Dannis segera membuka laci untuk mengambil kotak obat. Dibukanya kotak obat, lalu meraih plaster untuk membalut luka di jari Rista.

"Jangan melakukan hal itu lagi," peringat Dannis sambil menyodorkan plaster.

"Kenapa?"

"Menjijikan."

"Aku nggak minta kamu buat liatin."

"Tetap saja." Dannis berlalu dari hadapan gadis itu.

Kedua bahu Rista terangkat bersamaan. Tak mengerti dengan maksud ucapan Dannis. Mungkin karena laki-laki itu tak pernah melakukannya. Sudah terbiasa dengan hal-hal steril.

***

Seperti pada pagi sebelumnya, Dannis lebih awal keluar kamar daripada Rista. Bisa jadi dia pun lebih awal bangun daripada gadis itu. Tujuannya keluar kamar lebih awal untuk membuat sarapan. Dia pemilik rumah, tapi dia juga yang harus menyiapkan sarapan untuk penumpang. Pemandangan bunga di ujung ruang makan selalu menjadi perhatiannya saat melewati ruangan itu. Kali pertama memberikan bunga untuk wanita selain yang tidak memiliki hubungan khusus dengannya.

Bosan dengan sarapan berat, kali ini Dannis berniat membuat wafel. Beberapa bahan sudah ada di atas meja dan siap untuk dieksekusi. Tangannya bergerak cepat membuat adonan wafel. Banyak hal yang dia pelajari selama menjalani wajib militer, terutama kedisiplinan dan memasak. Ada kebanggaan tersendiri saat bisa menerapkan apa yang dia dapat saat menjalani tugas negara meski sebenarnya dia bisa membayar orang untuk melakukannya, tapi saat ini kondisi memaksanya untuk melakukan hal tersebut.

Beberapa tumpuk wafel sudah tersaji di atas piring. Cukup untuk sarapan dua orang. Dannis membawa piring berisi wafel ke meja makan. Di saat yang sama Rista keluar dari kamar. Senyum getir menghiasi raut gadis itu. Aroma wafel menggoda indera penciuman lalu menjalar ke perutnya. Seketika mnejadi lapar dan ingin segera menyantapnya.

"Bisa bantu aku ambilkan jus jeruk di kulkas?" pinta Dannis sambil berjalan ke dapur setelah meletakkan piring berisi wafel di atas meja makan.

Rista mengangguk cepat, beranjak dari posisinya untuk menuju kulkas, meraih benda cair perrmintaan Dannis. Sedangkan laki-laki itu kembali fokus dengan alat dapur untuk membuat saus stoberi.

"Apa aku harus menyiapkan piring?" tanya Rista menawarkan.

"Jika kamu tidak keberatan," balas Dannis tanpa menatapnya.

Gadis itu bergegas mendekati kitchen, meraih dua piring dari dalam sana, lalu menatanya di atas meja. Dia tak ingin diam saja sedangkan sang empunya rumah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Tak hanya piring, gelas pun Rista siapkan untuk melengkapi perlengkapan makan. Lalu menyusul garpuh dan pisau disiapkan karena dua benda itu sangat penting untuk menyantap wafel.

Saus buatan Dannis telah jadi. Dia segera menyajikannya di atas meja karena sudah tak sabar ingin menyantap sarapan buatannya sendiri. Rista beranjak duduk setelah menuang jus jeruk ke gelas masing-masing. Keduanya mulai sibuk menyiapkan wafel di atas piring masing-masing, lalu menuang saus ke atasnya.

"Tunggu."

Gerakan tangan Rista seketika terjeda saat mendengar kalimat itu.

"Kamu bisa menambahkan gula jika sausnya kurang manis. Aku tidak menambahkan gula terlalu banyak dalam saus itu," peringat Dannis.

"Iya," balas Rista singkat dengan nada lega. Dia pikir ada masalah serius sehingga Dannis menghentikan gerakannya.

Jika biasanya Rista menikmati wafel di restoran ternama yang ada di Jakarta atau di Eropa, berbeda dengan saat ini, dia bisa menikmati makanan itu di dalam rumah. Kali pertama dalam hidupnya. Setiap masakan yang Dannis buat mengingatkannya pada negara Eropa.

"Aku sudah membuat jadwal jika hari Jumat studio libur. Kamu pasti tau alasannya," ungkap Rista.

"Alasan libur?" Dannis terlihat bingung.

"Jadi kamu nggak tau? Atau Mas Gema nggak pernah cerita mengenai tanggal sembilan di bulan September?" Rista memastikan.

"Tidak," balas Dannis singkat tanpa memikirkan apa yang Rista ucapkan.

"Tanggal itu. Bulan itu. Mas Gema selalu memperingati hari kelahirannya. Aku selalu memberi kejutan padanya di tanggal itu. Karena dia sudah nggak ada, jadi aku akan berkunjung ke panti sendirian untuk merayakannya bersama anak-anak. Apa kamu benar-benar nggak tau?"

Gerakan tangan Dannis seketika terhenti. Hampir saja Dannis lupa jika gadis itu tidak menjelaskan. Dia pernah diajak Gema membeli kue ulang tahun berbenruk kecil, lalu merayakan ulang tahun bersama, persis di tanggal dan bulan yang sama. Gema mengatakan padanya jika dia ingin ulang tahun dia tepat di tanggal itu.

"Aku minta maaf kalau ucapanku membuatmu tersinggung."

Ucapan gadis di hadapannya membuyarkan pikiran Dannis. "Tidak. Aku masih ingat semua itu. Aku akan mengantarmu ke sana."

"Apa kamu nggak sibuk?"

"Aku akan mengosongkan jadwal di hari itu."

"Aku akan ke makam dulu sebelum ke panti. Apa kamu mau ikut juga?"

"Iya," balas Dannis singkat.

Obrolan tentang ulang tahun Gema membuat selera makan Dannis hancur seketika. Kejadian tempo lalu silih berganti hadir dalam ingatannya, mengulang kejadian di saat mereka bersama. Keadaan hati yang tadinya cerah, kini dibayangi awan mendung. Dannis menatap gadis di hadapannya yang sedang menikmati wafel.

Apa separah ini sakit yang kamu rasa karena kepergian Gema, melebihi rasa sakit yang aku rasakan saat mengingatnya?

***

Kalo udah tau napa nanya sih, Dannis!
Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya kan nyesek.
Iya kalo nggak ditinggal mati, lah ini.

Aku mau ngasih tau kalo di cerita ini nggak ada horrornya.
Cerita ini pure roman, ya. Ada misterinya dikit. Hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro