Bagian 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menatapi ruangan yang kupijak saat ini. Rumah milik kedua orang tuaku yang mereka tinggalkan. Aku sudah membersihkannya sejak kemarin. Setidaknya tempat ini layak untuk kuhuni bersama Dania. Rumah, mobil, dan semua harta milik Kak Diana sudah dijual untuk menutupi hutangnya. Hanya tersisa uang sedikit dari hasil penjualan semua aset milik Kak Diana, dan akan kugunakan untuk keperluan Dania. Aku terpaksa melakukannya karena hutang Kak Diana menumpuk untuk membayar pengobatannya selama ini. Hanya ini jalan satu-satunya untuk melunasi semua hutang Kak Diana.

Sampai sekarang pun aku masih belum tahu siapa ayah kandung Dania. Kak Diana tak pernah menceritakan identitas suaminya padaku. Yang aku tahu, Kak Diana sudah bercerai dengan suaminya.

“Bunda.”

Lamunanku buyar. Pandangan kulempar ke sumber suara. Senyum kusungging, lalu menghampirinya. "Anak Bunda sudah bangun." Aku meraih tubuhnya.

“Nia mau ketemu Mami,” pintanya.

“Hari ini Dania mau ke sekolah, 'kan? Dania mandi dulu, ya. Atau mau sarapan dulu? Habis dari ke sekolah yang baru, nanti Bunda ajak jalan-jalan ke mal. Dania mau apa?” Aku mengalihkan topik.

“Dania nggak mau sekolah. Dania nggak mau mandi. Dania nggak mau makan. Dania mau ketemu sama Mami.” Dania masih merajuk.

“Bunda janji akan ajak Dania ketemu Mami, tapi Dania mandi dan makan dulu. Nanti Bunda ajak ketemu Mami,” janjiku.
“Janji?” Dania mengulurkan jari kelingkingnya.

Aku pun menautkan jari kelingkingku. “Janji.”

Dania tersenyum. “Dania mau makan nasi goreng seperti buatan Mami. Dania nggak mau pakai sayuran.”

“Sayang, Bunda belum belanja. Adanya telur sama sosis. Kita sarapan pakai itu saja dulu, ya. Besok kita sarapan pakai nasi goreng seperti buatan Mami.”

Dania mengangguk dengan raut sedih.

Maafkan Bunda, Dania. Bunda belum bisa memberikan yang terbaik seperti Mami. Tapi Bunda yakin, Bunda akan kasih kamu yang terbaik. Hanya Bunda yang kamu miliki saat ini.

***

Aku dan Dania tiba di sebuah mal yang cukup terkenal di kota ini. Niat mengajaknya ke tempat ini hanya untuk membeli peralatan sekolah Dania. Aku sengaja memindahkan Dania ke sekolah baru dekat tempat tinggal kami saat ini karena beberapa alasan. Pertama karena biaya. Sekolah Dania sebelumnya cukup mahal. Aku tak sanggup membiayai jika  mempertahankan Dania sekolah di sana. Kedua karena jarak. Sekolah Dania saat ini jaraknya cukup dekat dari tempat kerja sekaligus rumah kami.

“Bunda, Diana mau boneka itu.” Dania menunjuk boneka besar di salah satu etalase toko.

“Sayang, kita beli buku dulu, ya. Nanti kalau Bunda ada uang lebih, kita beli boneka itu.” Aku menasehatinya.

“Tapi Nia mau boneka itu. Coba saja ada Mami, pasti Mami beliin boneka itu buat Dania.”

Mataku seketika berkaca. Kak Diana benar-benar mencukupi kebutuhan Dania. Air mata segera kuusap sebelum jatu di pipi. “Kita beli es krim saja, yuk? Dania mau es krim rasa apa?” Aku mengalihkan.

“Tapi Bunda janji ya, nanti beliin boneka itu.”

“Iya, nanti Bunda beliin kalau sudah ada rezeki.”

Dania mengangguk. Aku mengajaknya menuju kedai es krim.

“Dania duduk di sini. Jangan ke mana-mana. Bunda mau pesan es krim dulu di sana.” Aku menunjuk stan es krim di seberang sana.

“Iya, Bunda.” Dania menurut.

Kepala Dania kuusap lembut, lalu bergegas meninggalkannya untuk memesan es krim yang kami inginkan. Aku segera memesan dua cup es krim kesukaanku dan Dania. Sesekali aku menoleh ke arah Dania. Terlihat seorang laki-laki mendekati Dania dengan membawa boneka yang dia inginkan.

“Mas, bisa cepat nggak?” kataku pada pelayan.

“Sebentar, Mbak,” kata pelayan itu.

“Bisa nanti antarkan ke sana?”

“Baik, Mbak.”

Aku bergegas meninggalkan stan es krim untuk menghampiri Dania.

“Maaf, Anda siapa?” kataku pada laki-laki yang ada di samping Dania.

Laki-laki itu menoleh. “Oh, maaf. Perkenalkan, saya Damian. Tadi saya lihat Dania menginginkan boneka ini. Saya hanya ingin berbagi dengan Dania,” tukasnya.

“Tapi saya tidak kenal dengan Anda.” Aku menatapnya curiga.

“Tapi Om Damian baik Bunda.” Dania membuka suara.

“Tapi kita tidak kenal dengan dia, Dania. Dania tidak boleh sembarangan menerima pemberian dari orang lain.” Aku menasehati Dania.

“Saya tidak memiliki maksud lain memberikan boneka itu pada Dania selain merasa peduli pada Dania. Saya teringat dengan keponakan saya yang hilang entah di mana. Usianya persis dengan Dania.” Laki-laki bernama Damian itu kembali bekata.

“Maaf, ini pesanannya.” Laki-laki penjaga stan es krim memberikan pesananku.

“Terima kasih, Mas,” kataku padanya.

Laki-laki itu berlalu pergi. Aku memberikan salah satu es krim pada Dania.

“Apa aku boleh duduk di sini?” pinta laki-laki bernama Damian.

Aku hanya mengangguk lemah. Tak mungkin aku menolak karena dia sudah baik pada Dania.

“Bunda. Om Damian baik, loh. Katanya Om Damian juga punya keponakan seperti Dania. Tapi Om Damian nggak tau keponakannya di mana.” Dania bercerita.

“Iya, Sayang. Cepat habiskan es krimnya.” Aku membersihkan sudut bibir Dania.

“Apa Dania ingin tambah es krimnya?” Damian menawarkan.
“Iya. Dania mau nambah lagi es krimnya.” Dania semangat menerima tawaran Damian.

“Maaf, Dania nggak boleh banyak-banyak makan es krim." Aku menolak. Tatapanku beralih pada Dania. "Sayang. Ingat ya. Kata Mami, Dania nggak boleh makan es krim banyak-banyak. Ingat pesan Mami nggak?” Aku mengingatkan Dania.

“Tapi kan cuma kali ini saja Bunda. Boleh, ya?” Dania merajuk.

“Punya Bunda masih banyak. Dania habiskan saja punya Bunda, ya.”

“Jika bertemu lagi, kapan-kapan Om ajak Dania makan es krim lagi di sini.” Damian menjanjikan.

“Om ke rumah Dania saja.”

“Terima kasih. Sepertinya aku dan Dania harus pulang.” Aku beranjak dari kursi. “Ayo, Sayang,” ajakku pada Dania.

Aku merasa risih dengan laki-laki itu. Kita baru kenal, tapi dia seperti ada maksud lain mendekati kami.

“Apa aku boleh minta alamat rumahmu?”

“Maaf, saya tidak bisa memberikan alamat rumah pada orang asing,” balasku terus terang, lalu menggandeng Dania untuk meninggalkannya.

“Tunggu.”

Gerakanku terhenti, lalu menatap lenganku yang dicekal olehnya.

“Maaf. Aku hanya ingin mengenalmu. Aku tidak punya saudara di sini. Bolehkah aku mengenalmu?” Dia melepas cekalannya.

“Maaf, saya tidak bisa.” Aku segera meninggalkan tempat ini sambil menggandeng Dania.

Dania melambaikan tangan pada Damian dan mengucapkan kalimat perpisahan. Entah apa maksudnya mendekati kami. Aku hanya ingin berhati-hati. Khawatir dia berbuat macam-macam.

“Bunda. Om Damian baik, ya?”

Baik? Aku tak sepenuhnya percaya jika dia baik.


***

Setelah mengantar Dania berangkat sekolah, aku menyempatkan untuk mengunjungi makam Kak Diana. Entah kenapa aku ingin sekali mengunjunginya. Tak ada apapun yang aku bawa untuk ditabur ke atas makam. Kak Diana tak suka bungan mawar.

Kak, maafkan aku jika selama ini memiliki salah padamu. Semoga kamu senang di sana. Aku akan terus mendoakan Kakak. Maafkan aku jika belum bisa memberikan yang terbaik untuk Dania. Hanya seperti ini yang bisa aku berikan untuknya.

Isakan tak bisa aku bendung, keluar begitu saja dari mulut karena rasa kalut di hati. Terisak dalam keheningan tempat ini karena tak ada orang di sekitarku. Rasa sesak menyergap hati. Air mata segera kuusap ketika mendengar seperti ranting diinjak. Aku menolek ke belakang. Tak ada siapapun di sana. Aku beranjak berdiri karena suasana mendadak seram, lalu meninggalkan makam Kak Diana.

Setelah dari makam, aku bergegas menuju toko alat tulis. Aku ingin membeli kertas origami untuk menghibur Dania. Dia sangat suka dengan burung dari kertas origami. Aku pun masuk ke dalam toko untuk membeli ertas itu.

Langkah kuayun untuk keluar dari toko setelah membeli beberapa keperluan alat tulis dan kertas origami. Aku harus segera menuju tempat kerja karena sudah terlambat beberapa menit. Karena aku tak fokus pada jalan, tiba-tiba seseorang menabrakku, mengakibatkan tas dan plastik berisi alat tulis terjatuh. Beberapa barang dari dalam tas keluar karena aku lupa menutupnya. Aku segera memunguti barang-barang yang keluar dari dalam tas.

“Maaf, aku tidak sengaja,” ucap laki-laki itu sambil membantuku.

Tatapanku beralih padanya. “Kamu,” lirihku.

“Kamu.” Damian pun masih ingat padaku.

“Aku minta maaf karena nggak fokus sama jalan,” ucapku tulus karena merasa bersalah sudah tidak fokus pada jalan.

“Tidak masalah.” Dia memberikan barang terakhir yang masih belum masuk.

“Terima kasih.” Aku menerima barang itu, lalu memasukkan ke dalam kantong plastik.  “Aku harus segera ke tempat kerja,” pamitku, lalu meninggalkannya.

Dia sepertinya baik. Aku telah salah menilainya selama ini.

***

Entah kemana dompetku. Terakhir, aku mengeluarkannya saat ke toko alat tulis. Apa dompetku jatuh ketika bertabrakan dengan laki-laki itu? Tapi sepertinya sudah masuk ke dalam tas karena tak melihatnya ikut keluar.

“Bunda, itu ada tamu.”

Terdengar ketukan pintu dari arah ruang tamu. Aku bergegas menuju pintu utama untuk memastikan orang yang datang di pagi buta seperti ini. Pintu pun kubuka.

Dia?

“Maaf jika pagi-pagi aku sudah mengganggumu. Aku hanya ingin mengembalikan dompetmu yang jatuh saat di depan toko alat tulis. Dan maaf karena aku baru bisa mengembalikannya sekarang.” Damian menyodorkan dompetku.

Aku menerima dompet itu. Jadi Damian yang menemukan dompet ini?

“Kemarin aku memanggilmu, tapi kamu tidak mendengar. Jadi aku simpan saja dompet itu dan baru sempat mengembalikan karena kemarin aku sibuk.”

“Ah, iya, nggak apa-apa. Terima kasih karena sudah mengembalikan dompetku. Aku sangat membutuhkan dompet ini. Syukurlah kamu yang menemukan dan mengembalikan. Aku bingung mencarinya. Sekali lagi terima kasih.”

Dia mengangguk. “Aku terpaksa membuka dompetmu untuk memastikan alamat agar mudah mengembalikannya,” katanya.

“Iya, nggak masalah.”

Kali ini aku bisa melihat wajahnya secara jelas dan dekat. Dia cukup tampan.

“Di mana Dania?”

“A- ada di dalam. Silakan duduk. Aku panggilkan Dania.”

Damian mengangguk, lalu duduk di kursi yang ada di teras rumah. Aku berlalu masuk ke dalam.

“Dania. Ada Om Damian di depan,” kataku pada Dania.

“Om Damian. Yang waktu itu beliin boneka buat Dania?” Dania menimpali.

“Iya,” balasku singkat.

Dania beranjak dari tempat duduknya, berlari menuju teras rumah. Aku pun mengikutinya dari belakang setelah menuangkan teh hangat untuk Damian.

“Om Damian!” pekik Dania.

“Hai, Dania. Apa kabar?” Damian mencubit pipi Dania gemas.

“Dania baik, Om.” Dania tersenyum senang pada Damian.

“Dania salim dulu sama Om Damian.” Aku meletakkan cangkir berisi teh di atas meja sambil mengingatkan Dania agar menghormati orang tua.

Dania mencium punggung tangan Damian. “Dania senang ketemu Om lagi,” katanya setelah melepas tangan Damian.
“Om juga senang bisa bertemu kembali dengan Dania.” Damian menimpali.

“Silakan di minum.” Aku menyela sambil duduk di kursi kosong.

“Terima kasih.” Damian tersenyum sekilas.

“Dania. Bukunya sudah dirapikan? Sebentar lagi kita berangkat.” Aku mengingatkan Dania.

“Sudah, Bunda,” sahut Dania.

“Oh, iya. Aku belum tau namamu. Aku Damian.” Damian mengulurkan tangan.

“Saya Sabrina, tantenya Dania,” balasku sambil menjabat tangannya.

“Jadi, kamu bukan ibu kandung Dania? Aku pikir kamu ibunya.” Nadanya terdengar tak percaya.

“Bukan. Aku adik dari ibunya Dania. Ibunya Dania sudah meninggal dua minggu yang lalu,” jelasku.

“Kenapa Dania ikut denganmu? Kenapa tidak ikut dengan ayahnya?” tanya Damian ingin tahu.

Senyum kusungging untuk membalas pertanyaannya. Tidak mungkin aku menceritakan masalah pribadi Kak Diana pada orang lain apalagi baru kenal.

“Maaf. Aku tak seharusnya ingin tahu seperti ini.” Damian meminta maaf. Dia mengerti keadaanku.

“Nggak masalah. Aku minta maaf, sepertinya aku harus pergi untuk kerja dan Dania harus sekolah.” Aku beranjak dari tempat duduk.

“Apa kamu perlu bantuan tumpangan?” tanya Damian.

“Terima kasih. Aku bisa naik ojek,” tolakku halus. Damian sudah baik padaku. Aku tak mau memanfaatkan kebaikannya.
“Aku sekalian jalan. Tidak masalah jika aku antar.” Damian kukuh memberiku tumpangan.

“Aku takut merepotkanmu.” Aku masih menolak.

“Tidak sama sekali. Aku tunggu di sini, dan kamu bisa bersiap-siap.” Damian kembali duduk.

“Terima kasih banyak,” ucapku tulus.

Damian hanya tersenyum dan mengangguk.

Langkah kuayun masuk ke dalam untuk bersiap-siap dan memastikan keperluan sekolah Dania. Setelah siap, aku keluar untuk berangkat kerja dan mengantar Dania ke sekolah.

“Maaf kalau sudah menunggu lama,” kataku pada Damian.

“Tidak masalah.” Damian membukakan pintu untukku.

Aku dan Dania masuk ke dalam mobil milik Damian.

“Bunda. Mami juga punya mobil, 'kan?” tanya Dania padaku.

“Iya, Sayang,” balasku singkat.

“Nia sedih mobil Mami dijual.” Dania mengingatkan aku akan kejadian itu.

Seketika mataku berkaca saat mengingat Kak Diana.

“Apa ada masalah?” tanya Damian.

Aku memalingkan wajah, mengusap air mata yang akan siap menetes. “Nggak ada. Kita ke sekolah Dania dulu, nanti setelah itu ke tempat kerjaku.”

Selama dalam perjalanan menuju sekolah Dania, aku hanya diam. Tak ingin memancing apa pun agar Dania diam dan menikmati perjalanan menaiki mobil Damian. Kemewahan membuat Dania ingat pada ibunya. Setelah mengantar Dania ke sekolah, aku pun diantar Damian ke tempat kerja.

“Aku minta maaf jika Dania berisik selama dalam perjalanan,” kataku pada Damian ketika menuju tempat kerja.

Dia hanya beergumam membalas ucapanku.

“Sekali lagi aku berterima kasih padamu karena sudah menolongku.”

“Itu belum seberapa,” balasnya singkat. Masih fokus menyetir.

Senyum kusunngging. Suasana kembali hening di antara kami sampai di tempat kerjaku. Tak lupa aku kembali berterima kasih pada Damian. Setelah itu, aku masuk ke dalam butik untuk bekerja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro