Prolog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Tolong tap bintang dulu sebelum baca. Makasih]

♤♤♤

Dania Jordania. Dia keponakanku satu-satunya. Dania adalah anak dari Kak Diana, saudaraku satu-satunya. Aku dan Kak Diana terlahir dari keluarga berkecukupan. Sayangnya, kedua orang tuaku harus lebih dulu dipanggil Sang Kuasa karena mengalami kecelakaan. Saat itu, aku dan kakakku masih kecil. Aku masih duduk di bangku TK sedangkan kakakku di bangku SD. Setelah kepergian orang tuaku, aku ikut dengan bibi, saudara dari ibu. Kakakku ikut saudara dari ayah. Kami berdua terpisah saat kecil, dan kembali bertemu ketika kami sudah mandiri.

Beberapa bulan yang lalu aku membutuhkan pekerjaan, lalu bibi menyarankan agar meminta pekerjaan pada Kak Diana. Aku tak tahu jika Kak Diana sudah menikah, bahkan sudah dikaruniai seorang putri yaitu Dania. Pertama tiba di kota ini, aku tinggal di apartemennya. Kakakku sangat baik. Dia mencarikan pekerjaan sesuai keahlianku. Tak menunggu waktu lama, aku mendapat panggilan dari butik ternama di kota ini. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan. Aku diterima bekerja di butik itu. Tak hentinya aku berterima kasih padanya sampai saat ini. Kini, aku sudah tinggal di sebuah indekos dekat dengan tempat kerja. Kak Diana pun sudah pindah ke rumah pribadinya. Dia seorang wanita yang mandiri dan cantik. Tak heran jika dia terpilih menjadi model majalah. Terkadang, Kak Diana menitipkan Dania padaku ketika sedang ada pekerjaan di luar kota. Aku dengan senang hati menolongnya. Dania seakan pelipur hatiku di saat kesepian.

“Bunda. Kapan Mami pulang?”

Lamunanku buyar. Senyum kusungging ketika gadis kecil di hadapanku memasang raut meminta jawaban. "Mami sedang ada pekerjaan di luar kota, Dania. Kalau nggak besok, mungkin lusa Mami baru pulang. Sabar, ya. Dania ‘kan anak pintar." Aku mengusap kepalanya lembut.

“Tapi, kenapa Mami lama?” Dania masih meminta jawaban.
Memang tidak seperti biasanya Kak Diana lama seperti ini di luar kota. Biasanya, hanya dua atau tiga hari, tapi ini sudah lima hari dan dia masih belum pulang. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan dia di sana.

“Bunda kok diam?”

Pikiranku teralih. “Mungkin Mami sedang di jalan. Dania habiskan susunya, lalu tidur.”

“Nia mau telepon Mami.”

Sejak kemarin Kak Diana susah dihubungi. Semoga saja kali ini nomor dia aktif. Beberapa kali aku menghubunginya, tapi nomornya tidak aktif. Aku merasa khawatir dengan keadaannya.

“Mami mana, Bunda?” Dania masih merengek.

“Nomor Mami nggak aktif, Sayang. Mungkin Mami sedang di dalam pesawat. Dania tidur saja, ya. Nanti kalau nomor Mami sudah aktif, Bunda kasih tau Dania.” Aku menenangkannya. Tidak seperti biasanya Dania seperti ini. Biasanya dia tidak banyak bertanya mengenai Kak Diana.

Dania hanya mengangguk, lalu beranjak naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuh. Aku pun mengikutinya, tidur samping Dania. Tak lama, Dania terlelap tidur. Aku bergegas meraih ponsel untuk menanyakan keadaan Kak Diana pada asistennya.

To:  Kak Elin
Kak. Apa pekerjaan Kak Diana belum selesai? Tumben Kak Diana lama di luar kota. Ini Dania tanya Kak Diana, kenapa belum pulang-pulang? Aku juga sudah telepon Kak Diana, tapi nomornya nggak aktif sejak kemarin.

Setelah mengirim pesan, aku kembali merebahkan tubuh. Lama sekali tak ada balasan dari Kak Elin. Aku pun memejamkan mata karena mengantuk.

Aku mengerjapkan mata ketika mendengar deringan ponsel. Segera kuraih benda itu dan kutatap layarnya. Kak Elin menghubungiku.

“Halo,” sapaku.

“Sabrina. Cepat kamu ke rumah sakit sekarang. Diana kritis.”

“Apa?!” Aku membulatkan mata.

“Cepat, Sabrina. Diana mencari Dania. Aku Sms alamat rumah sakitnya.”

Aku bergegas turun dari ranjang. “Kak Elin nggak bercanda, ‘kan, Kak?”

“Ya Tuhan. Aku serius, Sabrina!”

“Tapi-“

“Cepat ke rumah sakit, kamu akan tau semuanya di sini.”
Ponsel kujauhkan dari telinga ketika panggilan terputus. Kak Elin memutuskan panggilan sepihak. Aku segera memesan taksi daring. Setelah itu, aku memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu siap-siap. Taksi pesananku tiba. Aku terpaksa menggendong Dania dalam keadaan masih tertidur untuk membawanya menuju rumah sakit sesuai permintaan Kak Elin.

Hatiku masih bertanya-tanya mengenai keadaan Kak Diana ketika sudah di dalam taksi untuk menuju rumah sakit. Kenapa aku tidak merasa curiga sebelumnya jika Kak Diana sakit? Saat dia akan pergi memang terlihat sedang kurang sehat. Tapi aku tidah curiga padanya. Semoga dia baik-baik saja dan tidak mengalami apapun.

Taksi ini tiba di rumah sakit sesuai alamat yang diberikan Kak Elin. Aku bergegas turun setelah memberikan uang pada supir taksi. tanya pada suster di mana kakakku dirawat setelah membayar taksi. Setelah bertanya pada sukster, aku bergegas menuju ruang rawat Kak Diana.

“Kak Elin,” panggilku ketika melihatnya berdiri di depan ruang ICU.

Kak Elin menatapkuu. “Sabrina.”

“Ada apa ini, Kak? Kak Diana kenapa?” tanyaku khawatir.
“Diana terkena kanker rahim stadium akhir”

“Apa? Kanker rahim?” tanyaku tak percaya.

Kak Elin mengangguk. “Diana ingin melihat Dania. Kamu masuk saja,” katanya sambil menunjuk pintu di belakangnya.

Langkah kuayun untuk masuk ke dalam sambil menggendong Dania. Tatapanku langsung tertuju pada Kak Diana yang sedang terbujur di tempat tidur dengan alat-alat yang menempel di tubuhnya. Air mata seketika mengalir di pipiku. Kak  Diana tersenyum ketika melihatku bersama Dania.

“Dania,” lirih Kak Diana.

“Iya, Kak. Ini Dania.” Aku mendekati Kak Diana, lalu duduk di kursi agar Kak Diana bisa menyentuh Dania.

“Brin. Kakak titip Dania. Jaga dia,” lirih Kak Diana sambil menyentuh kepala Dania.

“Kenapa Kakak nggak bilang kalau lagi sakit? Kenapa baru sekarang aku tahu Kakak sakit parah? Kenapa Kakak sembunyiin semua ini dari aku? Kenapa?” Aku tak bisa menahan tangis.

“Maafin Kakak, Brin.”

Aku meraih tangan Kak Diana untuk memberi kekuatan. “Kakak kuat. Kakak harus kuat demi Dania.”

Tak ada respon. Mata Kak Dania perlahan meredup. Alat detak jantung berbunyi tak seperti biasanya.

“Kak. Kak Diana!” Aku panik karena tak ada respon darinya. “Kak Elin! Dokter!” seruku.

“Bunda.”

Tatapanku beralih pada Dania. Dia terbangun.

“Ada apa, Sabrina?” tanya Kak Elin.

“Kak Diana, Kak. Dia nggak respon ucapan aku,” aduku pada Kak Elin. Khawatir pada keadaan kakakku.

“Bunda. Dania mau ketemu Mami.”

Aku memeluk tubuh Dania erat.

Dokter dan suster berdatangan masuk ke dalam ruangan ini. Aku dan Kak Elin disuruh menunggu di luar ruangan. Kami menunggu cukup lama. Aku berharap semoga Kak Diana baik-baik saja. Dia wanita kuat. Buktinya dia mampu mengasuh Dania sampai sekarang walaupun aku yakin dia sedang dalam keadaan sakit.

Pintu ruangan terbuka dan sosok dokter pun keluar. Aku bergegas menghampiri dokter itu.

“Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?” tanyaku pada dokter itu.

“Kami sudah berusaha, tapi kehendak Tuhan berbeda. Nyonya Diana memilih menyerah dan meninggalkan kita semua.”

“Nggak mungkin.” Aku membekap mulut karena masih tidak percaya Kak Diana akan meninggalkan aku dan Dania secepat ini. Air mata kembali mengalir di pipi.

“Silakan jika akan melihat jenazah sebelum jenazah dimandikan,” lanjut sang dokter.

Kak Elin memelukku sambil terisak. Aku pun terisak.

Kami kembali masuk ke dalam untuk melihat jenazah Kak Diana. Sungguh, aku masih tidak percaya jika Kak Diana akan meninggalkan aku dan Dania secepat ini. Bagaimana dengan Dania?

“Mami.” Dania meminta turun dari gendonganku.

Aku menurutinya, membiarkan Dania duduk di samping kakakku. Dania menyentuh wajah Kak Diana. Aku hanya bisa terisak melihat hal itu.

“Mami. Ada Dania di sini. Kok Mami tidur, sih?” tanya Dania polos.

Jika saja Dania tahu jika Kak Diana sudah tidak ada.

“Bunda. Bangunin Mami, dong. Dania mau ngomong sama Mami. Kenapa Mami nggak bangun-bangun. Dania mau cerita waktu Dania di rumah Bunda. Dania nggak nakal, 'kan.” Dania menatapku.

Lidah terasa kelu. Hanya air yang keluar dari mata. Aku tak tahu harus berkata apa padanya.

Beberapa suster datang ke ruangan ini. “Maaf, kami harus membawa jenazah untuk dimandikan,” kata salah satu suster.

“Sebentar lagi ya, Sus.” Aku meminta waktu.

Mereka mengangguk. Aku mendekati wajah Kak Diana, lalu mencium kedua pipinya. Air mata pun mengiringi.

Kak. Tenang di sana. Semoga Kakak bahagia di sana. Nggak ada lagi sakit yang Kakak rasa. Aku memang masih nggak percaya dengan kepergian Kakak. Tapi aku percaya bahwa ini takdir yang Allah gariskan untuk Kakak, aku, dan Dania.

Tangis tak bisa kubendung lagi. kepala kuanggukkan pada suster setelah menggendong Dania. Suster pun membawa Kak Diana untuk dimandikan.

“Bunda. Mami mau dibawa ke mana? Kenapa Mami nggak bangun? Kenapa Mami nggak mau lihat Dania?” tanya Dania ketika melihat jenazah Kak Diana dibawa oleh suster.

Jujur, aku tak sanggup menjelaskan pada Dania.

“Bagaimana pemakamannya?” tanya Kak Elin.

“Tolong atur saja, Kak. Aku nggak tau harus berbuat apa. Semua ini masih seperti mimpi.” Aku menatap Kak Elin dengan mata berkaca.

“Lebih baik kamu dan Dania pulang. Biar aku yag urus semuanya termasuk pemakamannya. Kasihan Dania kalau lama-lama di sini,” kata Kak Elin.

Benar. Kasihan Dania. Aku menuruti perintak Kak Elin, pulang ke rumah naik taksi daring.

***

Setibanya di rumah Kak Diana, aku bergegas merapikan rumah bersama pembantu untuk menyambut kedatangan jenazah Kak Diana. Dania kembali tidur saat perjalanan ke sini. Berat ujian yang harus aku jalani. Aku sudah kehilangan kedua orang tua, lalu sekarang harus kehilangan kakakku. Semuanya terasa sulit untukku. Kenapa Kak Diana harus dipanggil secepat ini?

Suara sirene terdengar jelas dari luar rumah. Sudah bisa dipastikan jika itu mobil yang membawa jenazah Kak Diana. Tangisku kembali pecah saat melihat jenazah Kak Diana dibawa masuk oleh beberapa orang. Aku memberanikan diri untuk mendekat. Dadaku terasa sesak saat melihat jenazah Kak Diana. Pandanganku mulai berkunang. Tubuh pun mulai tak seimbang. Kesadaranku hilang.

Aku membuka mata. Kepala terasa pusing.

“Lebih baik kamu istirahat saja, Brin. Jenazah Diana tinggal dimakamkan. Kalau kamu mau lihat, masih ada waktu. Tapi aku khawatir kamu akan pingsan lagi.” Kak Elin menatapku sedih.

“Aku mau lihat, Kak.” Air mata menggenang di pelupuk mataku.

“Dengan syarat kamu harus kuat.”

Kepalaku mengangguk lemah. Kak Elin membantuku turun dari tempat tidur. Aku pun berjalan menuju ruang utama untuk melihat Kak Diana yang terakhir kali. Air mata kembali mengalir deras di pipiku. Tak sanggup melihat mayat Kak Diana yang terbujur di hadapanku.

“Kamu harus kuat, Brin. Ini sudah takdir dari Tuhan.” Kak Elin menguatkan aku.

“Tapi kenapa harus Kak Diana? Bagaimana dengan Dania?” Aku terisak, memeluk Kak Elin.

“Diana sudah berjuang selama ini. Dia sudah berjuang melawan sakitnya. Aku pun salut pada kakakmu, berjuang membesarkan Dania dalam keadaannya sakit. Dia menutupi sakitnya demi kita.”

Hanya isakan yang keluar dari mulutku. Masih tidak menyangka jika Kak Diana harus pergi sekarang menghadap Sang Pencipta.

Jenazah Kak Diana dimakamkan pagi ini. Aku ikut mengiringi jenazah menuju pemakaman yang tak jauh dari tempat tinggal Kak Diana. Menyaksikan pengebumian jasad Kak Diana.
Aku harus ikhlas merelakannya. Benar. Mungkin ini yang terbaik untuk Kak Diana. Dia sudah menahan sakit selama ini. Mungkin dengan cara seperti ini Kak Diana tidak lagi merasakan sakit. Semoga Sang Pencipta menempatkan Kak Diana di tempat terbaik di sisiNya, Kak. Sabrina sayang Kakak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro