Bagian 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak kejadian beberapa hari yang lalu, aku sengaja tidak berinteraksi dengan Damian. Dia sepertinya sudah tahu peristiwa malam itu. Entah dia ingat atau diingatkan oleh Jordan, aku tak tahu. Damian pun seperti menjaga jarak. Aku kini lebih hati-hati dengannya.

Langkah kuayun menuju ruang setrika untuk mencari pakaian yang akan aku kenakan. Setelah menemukan pakaian itu, aku bergegas menyetrikanya. Konsentrasiku teralih saat mendengar suara dehaman. Aku tak menatap sumber suara karena tahu itu Damian. Dia meletakkan pakain di keranjang setrika.

Apa Damian ingin kemejanya disetrika? Ira sedang sibuk di dapur. Apa lebih baik aku setrika saja kemeja Damian?

Untuk meringankan pekerjaan Ira, akuu membantunya menyetrika kemeja Damian. Dia pasti lelah karena banyak yang harus dia kerjakan di rumah ini. Aku pun mulai menyetrika kemeja Damian. Aku ingin meringankan pekerjaan Ira. Setelah selesai, aku bergegas meninggalkan ruang setrika untuk menuju kamar dan mengganti pakaian. Aku bergegas keluar kamar setelah semuanya rapi. Terdengar suara gaduh dari arah ruang makan. Seperti suara Damian sedang marah-marah. Apa Marina atau Ira melakukan kesalahan?

“Ada apa?”

Perhatianku teralih ketika mendengar pertanyaan Jordan. “Kurang tau, Kak,” balasku sambil berjalan menuju dapur.

“Aku memberikan pekerjaan itu pada kalian, bukan pada Sabrina!” bentak Damian pada Ira.

“Ada apa dengan aku?” Aku menyambar.

“Jangan pernah ikut campur dengan tugas yang aku berikan pada pembantu!” Damia tak menatapku. Tangannya menggenggam kemeja yang sudah aku setrika. Aku mulai mengerti akar kemarahannya.

“Aku hanya membantu mereka. Mereka sudah lelah bekerja, maka dari itu aku membantu menyetrika kemejamu. Apa kemejamu rusak? Apa aku salah menyetrika? Jika ada kesalahan, seharusnya kamu menegur aku, bukan mereka.” Aku menanggapi.

“Kamu bukan siapa-siapa di sini, jadi jangan ikut campur dan jangan menyentuh apa pun di wilayah yang seharusnya tidak kamu sentuh!”

"Damian! Jaga ucapanmu!" Jordan angkat suara.

“Aku minta maaf. Aku memang tidak memiliki hak di dalam rumah ini. Tapi jangan memarahi mereka jika kesalahan itu terjadi dari aku.”

“Setrika ulang!” Damian melempar kemejanya di atas meja bar, lalu beranjak pergi meninggalkan dapur.

Napas kuhela. “Kalian nggak apa-apa?” tanyaku pada Ira dan Marina.

Mereka menggeleng.

“Aku minta maaf atas nama Damian jika dia telah berkata kasar pada kalian. Aku nggak tau kalau kejadiannya akan seperti ini,” kataku pada mereka.

“Tidak, Sabrina. Aku yang harusnya mewakili Damian memintaan maaf pada kalian. Aku bertanggung jawab atas kalian semua.” Jordan menimpali.

“Kalian lanjutkan saja pekerjaannya. Bekerjalah seperti biasa. Dan anggap tadi hanya kejadian kecil,” lanjutku.

Ira meraih kemeja Damian, lalu pamit untuk menyetrika pakaian itu. Marina pun kembali bekerja di dapur. Aku dan Jordan menuju ruang makan untuk memastikan Dania. Ini terakhir kali aku mengerjakan pekerjaan rumah yang menyangkut Damian.

***

Dania mulai nyaman dengan lingkungan rumah, sekolah, dan teman-teman. Aku senang melihat perkembangannya. Dia sudah mulai belajar melakukan segala hal tanpa bantuanku. Akhir-akhir ini, dia mulai nyaman dengan  ayahnya, bahkan beberapa hari terakhir Dania tidur bersama Jordan.

“Bunda!”

Lamunanku buyar saat mendengar seruan Dania. “Dania sudah selesai?” tanyaku.

“Belum. Mainan Dania jatuh di kolam.” Dania menunjuk mainannya.

Terlihat mainan Dania mengapung di kolam renang khusus dewasa. Suasana sudah cukup sepi karena hari ini hanya beberapa anak saja yang belajar. Dania tak mau mengambil sendiri karena dia sudah berganti pakaian, dan tak mungkin aku meminta tolong pada orang lain. Aku terpaksa mengambil mainan Dania. Jujur, sebenarnya aku  takut dengan kedalaman kolam renang karena tak bisa berenang. Di saat aku sedang berusaha meraih mainan Dania, ada seseorang yang menyenggolku sehingga pijakanku tak seimbang, dan tubuhku terjerembab masuk ke dalam kolam. Aku berusaha naik ke atas permukaan, tapi rasanya susah. Dada terasa sesak karena air masuk ke hidung dan mulut. Berharap ada yang membantuku. Ingin sekali teriak minta tolong, tapi tak bisa.

Terdengar seseorang masuk ke dalam kolam lalu menarik tubuhku. Dia membawaku naik ke atas permukaan dan mendudukan aku di tepi kolam. Aku segera menghirup udara sebanyak-banyaknya. Hidungku terasa sakit. Napasku masih tersengal.

“Kamu nggak apa-apa?”

“Dania.” Aku mengedarkan pandangan untuk mencarinya.

“Bunda.” Dania memelukku.

Aku memeluk Dania erat. Khawatir terjadi sesuatu dengannya.

“Kamu nggak apa-apa?”

Pandanganku beralih pada orang itu. Dia yang sudah menolongku. Aku hanya menganguk padanya.

“Apa dadamu sesak?” tanyanya lagi.

Kepalaku kembali mengangguk.

“Aku akan memukul punggungmu agar air yang masuk ke dalam tubuhmu keluar. Kamu tahan. Pukulanku tidak sakit,” katanya.

Setelah mendapat respon dariku, dia bersiap untuk memukul punggungku agar air yang tertelan keluar. Rasanya lega saat air itu keluar dari mulut.

“Bagaimana?” tanyanya memastikan.

“Cukup.” Aku mengangkat tangan.

“Lain kali hati-hati.” Dia mengingatkan.

“Terima kasih banyak.” Aku mengangguk.

Dia pamit pergi setelah aku berterima kasih padanya. Aku mengajak Dania ke ruang ganti karena pakaianku basah kuyup. Napas kuhela saat teringat tak membawa pakaian ganti. Terpaksa aku masih dalam keadaan seperti sampai rumah. Lebih baik aku dan Dania segera pulang daripada kedinginan.

Tidak seperti biasanya Alex terlambat seperti ini. Biasanya, dia sudah menunggu sebelum aku dan Dania keluar dari tempat ini. Sudah sepuluh menit aku menunggunya, tapi Alex belum tiba di sini.

“Bunda, kok Om Alex lama datangnya?” tanya Dania.

“Bunda juga nggak tau, Sayang. Bunda coba telepon Om Alex, ya.” Aku meraih ponsel untuk menghubungi Alex.

“Iya, Mbak.” Alex menyapaku ketika panggilan telepon tersambung.

“Kamu di mana, Lex?” tanyaku.

“Maaf, Mbak. Mobil Tuan mogok. Saya akan suruh orang kantor untuk jemput Mbak dan Nona Dania.”

“Nggak usah, Lex. Aku bisa naik taksi,” tolakku. Akan lama jika menunggu orang kantor sedangkan aku sudah kedinginan.

Panggilan terputus. Aku menatap layar ponsel, lalu mengembuskan napas karena baterai ponselku habis. Terpaksa menanti taksi lewat agar bisa pulang.

“Dania. Kita naik taksi, ya. Mobil Ayah mogok, jadi Om Alex nggak bisa jemput,” kataku pada Dania.

Dania mengangguk.

“Dania belum pulang?”

Perhatianku teralih saat mendengar pertanyaan itu.

“Belum, Pak Guru. Mobil Ayah mogok, jadi Dania mau naik taksi.” Dania menimpali.

“Sudah pesan taksi?” tanyanya.

“Ini lagi nunggu taksi lewat sini.” Aku menimpali.

“Taksi nggak ada yang lewat sini. Ini kawasan khusus. Adanya di jalan depan.” Dia menunjuk ke tempat yang tak aku mengerti.

Bagaimana mungkin taksi tak lewat kawasan ini? Bagaimana aku dan Dania?

“Gimana dong, Bunda?” Dania menatapku.

“Butuh bantuan? Saya bisa antar Anda dan Dania sampai rumah.” Dia menawarkan tumpangan.

Apa aku harus menerima tumpangan darinya?

“Saya bukan orang jahat.” Dia beranjak turun dari mobil.
“Tapi-“

“Baju Anda basah. Saya khawatir Anda kedinginan.” Dia membuka pintu mobil untukku.

Aku terpaksa menerima bantuan darinya. Niatnya baik ingin menolongku. Tampangnya tidak seperti orang jahat.

“Kenalkan. Saya Nathan, asisten guru renangnya Dania.” Dia mengenalkan diri.

"Saya Sabrina, tantenya Dania.” Aku mengenalkan diri.
"Oh, saya kira ibunya Dania.”

Hanya senyuman yang kusungging sebagai balasan.

“Kita mau ke mana?” tanyanya. “Maksud saya, alamat rumahnya Dania.” Dia meralat.

“Oh, iya. Perumahan Adara di jalan panglima.” Aku menimpali.

Tak ada balasan. Suasana menjadi canggung. Tubuhku mulai kedinginan karena terkena udara AC. Aku melempar pandangan ke luar kaca. Suasana semakin hening saat mendapati Dania tertidur. Sepertinya dia lelah. Mobil yang kami naiki tiba di halaman rumah Jordan. Aku segera menggendong tubuh Dania, lalu keluar dari mobil.

“Terima kasih untuk bantuannya,” kataku pada Nathan.

“Sabrina. Apa semuanya baik-baik saja?”

Perhatianku teralih saat mendengar pertanyaan Jordan. Dia terlihat khawatir. “Aku baik-baik saja, Kak. Pak Nathan memberi tumpangan untuk mengantar aku dan Dania sampai rumah,” balasku menenangkannya.

Jordan menatap pakaianku. “Sepertinya pakaianmu basah?” tanyanya.

“Nanti akan aku jelaskan. Aku mau masuk dulu untuk menidurkan Dania di kamarnya.” Aku mengalihkan.

“Akan saya jelaskan.” Nathan menimpali.

Aku bergegas masuk ke dalam untuk menidurkan Dania dan mengganti pakaian.

***

Saat hari libur tiba, aku cukup santai menjalani aktivitas. Setelah subuh, aku kembali tidur, dan sampai saat ini belum keluar dari kamar. Dania tak tidur bersamaku, tapi tidur di kamar ayahnya. Aku membebaskan Dania tidur di mana saja. Terkadang di sini bersamaku, atau di kamarnya bersamaku, dan terkadang dia tidur di kamar Jordan.  Aku bergegas keluar dari kamar setelah merapikan tempat tidur dan menyiram tanaman di teras kamar. Ada beberapa tanaman yang sengaja aku tanam di sana untuk memanjakan mata.

“Mbak Sabrina. Sudah ditunggu Tuan Jordan di ruang makan.”

Keranjang pakaian kotor kuberikan padanya, lalu bergegas menuju ruang makan.

“Ada apa, Kak? Apa Dania sudah bangun dan meminta sesuatu?” tanyaku pada Jordan ketika tiba di dekatnya.

“Tidak. Duduklah. Ada yang ingin kubicarakan padamu,” perintahnya.

Tubuh kudaratkan di atas kursi. Siap menyimak ucapannya.

“Hari ini aku akan mengajak Dania ke Jakarta. Aku rasa ini waktu yang tepat untuk memberitahu Dania jika ibunya sudah tidak ada. Urusan kantor sudah kuserahkan pada Damian. Sudah waktunya dia kembali melanjutkan bisnis yang sempat terpuruk.” Jordan mengulas.

“Jika ini untuk kebaikan Dania, maka aku setuju saja.” Aku mengangguk.

“Siapkan semua keperluan Dania selama di Jakarta.”

“Iya.” Aku beranjak dari kursi, meninggalkan ruang makan untuk menuju kamar Dania, menyiapkan keperluan Dania selama di Jakarta. Memang sudah waktunya Dania tahu jika Kak Diana sudah pergi menghadap Sang Kuasa.

“Bunda!”

Gerakanku terhenti saat mendengar seruan Dania dari arah luar kamar ini. Aku beranjak untuk keluar. “Iya, Sayang. Bunda di sini!” seruku sambil menutup pintu.

Terlihat sosok Dania berjalan dalam keadaan masih memakai pakaian tidur dan rambutnya berantakan. Aku menahan senyum. Dania merentangkan tangan meminta digendong. Aku menghampirinya.

“Ada apa?” tanyaku ketika Dania sudah dalam gendongan.

Dania menggeleng. Mungkin dia kaget dan mendapati tidak ada siapa-siapa di kamar ayahnya. Kata Dania, jika tidur bersama sang ayah, saat bangun keadaan kamar gelap. Mungkin dia takut. Dania terbiasa tidur dalam keadaan lampu menyala.

“Dania!”

Terdengar suara Jordan menyerukan nama Dania. Suaranya terdengar seperti singa mencari anaknya. “Dania ada bersamaku,” kataku ketika melihatnya mencari Dania.

Dia terlihat menghela napas. “Syukurlah. Apa semuanya sudah siap?” tanyanya.

“Tinggal sedikit lagi. Aku mau memandikan Dania dulu.”

“Kita harus sudah di bandara pukul sepuluh.”

“Iya. Aku pastikan semuanya siap sebelum jam sepuluh.”

“Aku akan menyuruh Marina untuk menyelesaikan tugasmu menyiapkan keperluan Dania.”

“Iya.” Aku berlalu dari hadapan Jordan untuk memandikan Dania.

“Kita mau ke mana, Bunda?” tanya Dania ketika aku mulai melepas pakaiannya.

“Kita mau ke Jakarta.” Aku membalasnya.

“Ketemu Mami?” tanya Dania antusias.

Hanya anggukan yang kuberikan. Lebih baik aku diam agar tidak membuat Dania banyak bertanya. Lhawatir jika aku akan sedih karena membahas Kak Diana. Dania terlihat bahagia saat tahu akan menemui maminya. Tapi aku justru sedih.

Setelah semuanya siap, aku pun keluar dari kamar. Dania sudah terlebih dahulu menghampiri ayahnya. Dia tidak sabar ingin segera sampai di Jakarta.

“Aku sudah siap,” kataku pada Jordan ketika tiba di teras rumah.

“Kamu masuk saja ke mobil, nanti aku menyusul.” Jordan menyuruhku masuk ke dalam mobil.

Aku menurutinya, masuk ke dalam mobil. Napas kuhela. Tinggal satu langkah lagi untuk memberitahu Dania dan setelah itu, aku tidak dibayangi rasa bersalah pada Dania karena tidak memberitahunya tentang kematian ibunya.

Jordan pun menyusul masuk dan mobil ini melaju menuju bandara.

***

Akhirnya kami tiba di bandara Soekarno Hatta tepat pukul dua belas siang. Aku segera masuk ke dalam mobil yang sudah Jordan siapkan untuk kami selama di Jakarta. Dan pengemudi mobil yang kami naiki adalah Nathan. Aku tak tahu kenapa Nathan bisa ada di sini. Jordan tidak memberitahuku tentang ini. Aku hanya diam selama perjalanan. Ingatanku hanya satu. Makam Kak Diana.

“Kita ke rumah dulu.” Jordan bersuara.

Aku masih terdiam. Aku bersyukur karena Dania tidur. Ini lebih baik daripada dia masih membuka mata. Akan banyak pertanyaan yang dia lontarkan sebelum bertemu dengan Kak Diana. Jika saja dia tahu bahwa ibunya sudah tidak ada. Aku menatap keluar kaca karena rasa sedih mengingat kejadian ketika Kak Diana akan pergi. Aku pun merasa bingung ketika mobil ini menuju jalan yang tak asing menurutku. Ya, ini jalan menuju rumah Kak Diana. Aku masih bisa mengingat jelas. Air mata yang kutahan pun tumpah. Aku terisak.

“Maafkan aku jika membuatmu kembali mengingat tentang istriku.”

Tatapan kualihkan pada Jordan. Lidahku kelu.

“Aku membelinya rumah ini saat dilelang. Semua aset milik istriku yang terjual sengaja aku beli berapapun harganya. Aku mungkin kehilangannya, tapi aku tidak ingin kehilangan kenangannya. Ini pun sengaja aku beli untuk Dania agar dia selalu ingat dengan ibunya.”

Tangis tak bisa kutahan, Karena tangisku, Dania pun terbangun dari tidurnya. “Maafin Bunda, Sayang,” kataku pada Dania sambil membelai pipinya.

“Kita sudah sampai?” tanya Dania.

Aku mengangguk sambil mengusap air mata.

Dania beranjak duduk. Dia menatap bangunan yang ada di luar sana. “Ini rumah Mami.” Dia mengingat.

“Iya, Sayang.” Jordan menimpali.

“Asyiikkk .... Dania ketemu Mami. Dania mau turun, mau ketemu Mami.” Dania bergegas turun dari mobil.

“Dania!” seruku.

Dania tak merespon. Dia turun dari mobil. Aku segera turun dari mobil untuk mengejar Dania. Langkah kuhentikan saat tiba di teras rumah. Ingatanku langsung tertuju pada peristiwa ketika aku pertama kali menginjakan kaki di rumah ini. Mengingatkan aku ketika Kak Diana menarik tanganku agar masuk ke dalam. Mengingatkan aku ketika kami bercanda bersama, makan bersama, tidur bersama. Semua itu masih jelas dalam ingatan. Aku pun kembali terisak.

“Bunda. Mami mana? Cepat telepon Mami. Nia kangen sama Mami. Mami pasti lagi kerja.” Dania tak sabar ingin masuk.

Lidah terasa kelu untuk berbicara. Entah apa yang harus kujelaskan pada Dania.

Jordan menghampiri kami dan membuka pintu utama rumah ini. Dania masuk ke dalam dengan raut bahagia.

“Masuklah.” Jordan mengajakku.

Kepalaku menggeleng lemah. Air mata masih mengalir di pipi.

“Supaya lebih cepat, lebih baik setelah asar kita ajak Dania ke makam istriku,” katanya membelakangiku.

Lidah ini masih kelu untuk berkata.

Jordan pun masuk ke dalam.

Langkah kuayun untuk masuk ke dalam rumah setelah hatiku cukup tenang. Lebih baik aku tak menemui Dania untuk saat ini. Aku masuk ke dalam kamar yang biasa kutempati ketika datang rumah ini. Urusan Dania kuserahkan pada Jordan dan Marina. Ini alasan Jordan membawa Marina. Dia tahu aku akan seperti ini.

“Bunda!”

Mata kukerjapkan saat mendengar suara Dania menyerukan namaku. Aku beranjak duduk. Ponsel kuraih untuk memastikan jam. Mataku terbuka lebar saat melihat jam menunjukkan puku 15:50. Seruan Dania memanggil namaku kembali terdengar. Au melempar ponsel ke atas tempat tidur, lalu beranjak menuju pintu untuk membukanya.

“Bunda. Kita ‘kan mau jemput Mami. Bunda kok belum siap?” Dania mendengus.

Ingatanku tertuju pada ucapan Jordan jika sore ini akan ke makam Kak Diana. “Bunda siap-siap dulu. Dania mau di kamar Bunda atau mau sama Ayah?”

“Dania mau sama Ayah dulu. Bunda cepat mandinya, ya?”

Dania berlalu dari hadapanku setelah mengatakan hal itu. Aku pun kembali masuk untuk bersiap-siap. Setelah selesai siap-siap aku bergegas keluar kamar karena Dania dan ayahnya sudah cukup lama menunggu.

“Bunda lama banget,” gerutu Dania saat aku tiba di teras rumah.

“Sudah sore. Ayo kita jalan sekarang.” Jordan menginstruksi agar aku dan Dania  masuk ke dalam mobil.

Aku bergegas masuk ke dalam mobil. Nathan melajukan mobil menuju makam Kak Diana. Pandangan kulempar ke luar kaca. Tak ada obrolan selama dalam perjalanan kecuali celoteh Dania. Dia banyak bertanya mengenai Kak Diana pada ayahnya, tapi tak ada balasan dari kami. Sampai pada akhirnya kami tiba di area pemakaman. Aku bergegas turun dari mobil ketika Nathan membuka pintu mobil. Dania langsung memelukku ketika dia melihat pemandangan pemakaman. Aku mengajaknya untuk berjalan menuju makam maminya.

“Bunda. Kita kok ke sini? Kita ‘kan mau ketemu Mami.” Dania kembali bertanya.

“Iya.” Aku tak bisa banyak bicara padanya.

Kami tiba di makam Kak Diana. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tidak jatuh. Demi Dania.

“Bunda. Mana Mami?” tanya Dania.

“Dania. Mami ada di sana.” Jordan menunjuk ke arah makam Kak Diana.

Air mata pun lolos walaupun aku berusaha menahannya.
“Nggak! Mami kan masih kerja. Iya ‘kan, Bunda?” Dania menatapku.

Aku tak bisa menahan isakan. Air mata terus mengalir di pipi.
“Ayah. Bunda kenapa nangis? Mana Mami?” Dania masih mencari maminya.

Tubuh dania kupeluk erat. “Maafin Bunda, Sayang. Bunda sudah bohong sama Dania. Allah lebih sayang dengan Mami, jadi Allah ambil Mami dari kita. Dania pasti tau 'kan kalau Mami sedang sakit? Allah ambil Mami supaya Mami nggak sakit lagi.” Aku menjelaskan sambil terisak.

“Jadi Mami sudah meninggal?” tanyanya dengan nada polos.

“Iya, Sayang.” Aku mengangguk lemah.

“Dania mau kasih bunga Buat Mami?” Jordan menawari.

Aku menurunkan tubuh Dania. Dia menerima buket bunga dari Marina. Jordan dan Dania meletakkan buket bunga lili di atas makam Kak Diana.

“Doakan Mami, semoga Mami bahagia di sana. Semoga Allah selalu melindungi Mami.” Jordan terdengar sedih.

Kak. Semoga kamu tenang di sana. Semoga Allah menjagamu. Kami rindu kamu, Kak. Dania sudah bersama ayahnya. Aku sedih karena Kakak tidak ada di sini setelah Dania menemukan ayahnya. Semoga Kakak bahagia di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro