Bagian 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak ingin membuat Dania sedih. Walaupun dia betah di Jakarta, tapi jika dia harus mengingat semua kenangan tentang Kak Diana, lebih baik aku dan Dania tinggal di Bali. Setidaknya di sana Dania lebih tenang dan ada kegiatan. Aku pun sama seperti Dania, banyak mengingat tentang Kak Diana selama di Jakarta. Jordan tidak keberatan jika aku dan Dania kembali tinggal di Jakarta untuk liburan beberapa hari. Tapi ada yang berbeda dengannya akhir-akhir ini. Dia seperti ada masalah di Bali. Aku tidak mau berpikir buruk tentangnya. Aku sudah berbicara dengannya mengenai aku dan Dania akan kembali ke Bali hari ini. Ya. Satu pekan sudah cukup bagiku untuk tinggal di Jakarta. Sekarang waktunya kembali menyatukan Dania bersama ayahnya.

“Mbak. Kita sudah sampai.”

Lamunanku buyar saat mendengar ucapan Nathan. Aku bergegas turun dari mobil saat Nathan membukakan pintu untukku. Seperti biasa, Dania selalu tidur jika di jalan. Mungkin karena lelah selama di dalam pesawat sangat aktif.

“Nathan. Apa kita nggak salah tempat?” tanyaku pada Nathan sambil menatapbangunan rumah di hadapanku. Ini bukan rumah Jordan.

“Nggak, Mbak. Ini memang alamat yang diberikan Tuan Jordan.” Nathan menjawab pertanyaanku.

Langkah kuayun untuk mengikuti Nathan menuju teras. Dia menekan bel. Tak lama, pintu utama rumah ini terbuka. Terlihat sosok Ira membuka pintu lebar. Aku dan Nathan masuk ke dalam rumah ini.

“Selamat datang Sabrina.” Jordan menyambutku.

Senyum kusungging. Masih penasaran maksudnya membawa aku dan Dania ke sini.

“Berikan Dania pada Ira. Aku ingin berbicara padamu,” kata Jordan padaku.

Aku memberikan Dania pada Ira.

“Kalian bisa pergi dan lanjutkan tugas masing-masing di rumah baru ini.” Jordan memberi instruksi setelah Dania berada dalam gendongan Ira.

   Marina, Ira, dan Nathan pun meninggalkan ruangan ini.

“Ikut aku.” Jordan melajukan kursi rodanya.

Entah apa yang akan dia bicarakan sampai mengusir semua orang. Sepertinya hal penting. Aku membuka pintu yang terhubung dengan kolam di belakang rumah. Terlihat jelas pemandangan alam dari tempatku berpijak saat ini.

“Aku tahu kamu pasti bingung.” Jordan menghentikan kursi rodanya. “Duduklah,” lanjutnya.

Tubuh kudaratkan di atas sofa warna abu dekat kolam renang.

“Aku sengaja membeli rumah ini untuk tempat tinggal kita. Akhir-akhir ini hubungan aku dan Damian kurang baik. Puncaknya beberapa hari yang lalu. Aku memutuskan meninggalkan rumah itu karena menurutku, Damian harus belajar untuk tidak bergantung pada siapa pun. Selama ini aku sudah membantu mengembangkan bisnisnya yang hampir bangkrut. Sekarang saatnya dia belajar mengembangkan sendiri tanpa bantuanku. Walaupun rumah itu dibeli dari hasil bersama, tapi aku merelakan rumah itu untuknya.” Jordan menjelaskan.

“Apa semua ini terjadi karena kedatangan aku dan Dania di antara kalian?” tanyaku tanpa menatapnya.

“Tidak."

“Lalu?” Aku menatapnya.

“Aku dan dia memiliki sifat berbeda. Kamu tentu bisa melihat.”

Ya. Aku bisa melihat jika Damian seperti yang dikatakan Jordan. Dia keras kepala, kasar, dan egois. Sangat berbeda dengan Jordan yang banyak mengalah, perhatian, dan bijak pada adiknya.

“Di depan rumah ini ada ruko. Aku ingin, kamu ada kegiatan selain mengurus Dania. Maka dari itu, aku sengaja mengosongkan satu ruko yang lebih dekat dengan rumah. Semuanya sudah kusiapkan. Kamu tinggal melihatnya saja nanti.”

Jordan menyewakan aku ruko? Dia ingin aku usaha?

“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Jordan.

Aku masih belum percaya dengan semua ini. Apa masalah yang mereka hadapi separah ini sehingga membuat mereka harus berpisah?

“Sabrina.”

Aku terkesiap, lalu menatap Jordan. “Aku masih bingung dengan semua ini.”

Jordan tersenyum. “Kamu jangan bingung. Anggap saja aku, kamu, dan Dania sedang belajar mandiri. Aku mandiri dengan usahaku sendiri tanpa campur tangan orang lain, kamu usaha untuk masa depan, dan Dania mandiri dengan aktivitasnya tanpa bantuan orang lain.”

   Senyum kusungging meski masih merasa bingung.

“Istirahatlah. Aku tahu kamu pasti lelah. Nanti malam aku ingin mengajak kamu makan malam di restoran depan. Sekaligus  menunjukkan ruko yang akan kamu kelola.”

Setelah obrolan selesai, aku pamit pada Jordan untuk menuju kamar baru yang akan kutempati. Aku kembali beradaptasi dengan rumah. Pandangan kuedarkan ketika tiba di kamar ini. Tak jauh berbeda dengan kamarku di rumah sebelumnya. Di sini lebih rapi. Teras kamarnya pun cukup luas. Sudah ada beberapa tanaman di sana. Senym kusungging ketika menatap teras kamar dari balik pintu kaca.

Tak terasa malam pun tiba. Setelah semuanya siap, Jordan mengajak aku dan Dania untuk makan malam di luar. Aku tidak bisa menolak karena Dania merajuk. Tempat makan malam pun tak jauh dari rumah ini. Kami berjalan kaki dari rumah ke restoran. Aku masih mendorong kursi roda Jordan, sedangkan Dania berjalan di sampingku. Jordan menunjuk sebuah penginapan. Aku menghentikan laju kursi roda.

“Ada apa?” tanya Jordan.

“Tidak apa-apa. Hanya ingin memastikan tempat yang akan kita tuju.” Aku memastikan.

“Aku tidak salah tempat.” Jordan menimpali.

“Tuan Jordan.” Seseorang mengenakan seragam hitam menghampiri kami.

“Bantu saya masuk,” perintah Jordan.

Tubuhku bergegas minggir, memberi ruang pada orang itu untuk membantu Jordan.

“Ayo masuk.” Jordan mengajak aku untuk masuk.

Aku menggandeng Dania untuk mengikuti Jordan. Semua pelayan di restoran ini menundukan kepala pada Jordan ketika kami masuk. Kami tiba di ruangan tertutup. Aku duduk berdampingan dengan Dania di sofa yang ada di ruangan ini. Seseorang berpakaian rapi ikut masuk bersama kami.

“Tuan mau makan apa?” tanya orang itu pada Jordan.

“Dania. Kamu mau makan apa, Sayang?” tanya Jordan pada Dania.

“Dania mau ini Ayah.” Dania menunjuk sebuah steak.

“Buatkan steak terbaik untuk putriku. Siapkan makanan yang paling istimewa di sini untuk aku, Sabrina, dan Dania.” Jordan berkata pada orang itu.

“Baik, Tuan. Ada lagi?” tanya orang itu.

Pandangan kualihkan pada tempat lain karena sekilas melihat Damian di luar sana. Mungkin hanya perasaanku saja. Ruangan ini hanya berdinding kaaca. Dari luar ruangan ini tak terlihat, tapi dari sini bisa melihat pemandangan luar.

“Sabrina.”

Aku terkesiap. Pandangan terlempar ke arah Jordan. “Iya, Kak?” tanyaku.

“Aku sedang memesan es krim. Kamu mau es krim apa?” tanyanya.

“Nggak usah, Kak. Untuk Dania saja.” Aku menolak.

“Sudah. Kamu boleh pergi.” Jordan mengusir orang itu.

Laki-laki itu pamit pergi dari tempat ini. Aku masih tak mengerti dengan sikap Jordan di sini. Perhatianku teralih saat mendengar ketukan pintu.

“Masuk!” seru Jordan.

Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian formal menghampiri Jordan. “Tuan. Ada Tuan Damian ingin bertemu dengan Anda,” katanya.

Jadi benar jika Damian ada di tempat ini.

“Bilang saja aku tidak ingin bertemu dengannya.” Jordan menanggapi santai. “Dan jangan ganggu makan malamku,” imbuhnya.

“Baik, Tuan.” Orang itu berlalu pergi.

Kenapa Jordan tidak mau menemui Damian?

Suara ketukan kembali terdengar. Jordan kembali menyuruhnya masuk. Seorang pelayan masuk sambil membawa beberapa minuman dan es krim untuk kami. Mereka menyajikan minuman itu di hadapan kami. Setelah menyajikan semua ini, pelayan itu pamit pergi.

“Es krim rasa vanila untuk Dania.” Jordan menyuguhkan es krim kesukaan Dania.

“Terima kasih, Ayah.” Dania terlihat senang. Dia mulai menyantap es krim sambil menunggu menu utama datang.

“Sama-sama, Sayang,” balasnya lembut. “Ini untukmu, Sabrina.” Jordan menyuguhkan jus mangga untukku. Dia tahu minuman kesukaanku.

   Pintu kembali berdecit tanpa ketukan terlebih dahulu. Suara tepuk tangan menggema di ruangan ini. Tatapanku tertuju pada sumber suara. Seketika dahiku berkerut.

“Damian,” gumamku.

“Maaf, Tuan. Saya sudah mencegah beliau, tapi beliau memaksa masuk.”

Jordan mengangkat tangannya dan menginstruksi orang itu pergi.

“Luar biasa.” Damian masih bertepuk tangan.

“Om Damian.” Dania menyapa omnya.

Jordan masih diam. Dia tak merespon apa pun mengenai kedatangan Damian.

“Jadi mereka lebih penting daripada bertemu denganku, Adikmu?” Damian lalu tertawa.

“Dania makan saja, ya. Om Damian mau bicara sama Ayah.” Aku berbisik pada Dania.

“Jika kedatanganmu ke sini untuk masalah penting, aku akan menanggapi. Jika kedatanganmu hanya untuk membuat masalah, maka pergilah.” Jordan angkat suara.

“Sejak awal aku sudah curiga jika wanita yang ada di depanmu akan menjadi benalu dalam kehidupanku dan kehidupanmu. Dia akan menghancurkan kita perlahan. Apa kamu tidak menyadari?” Damian menimpali.

Apa wanita yang diucapkan Damian adalah aku?

“Jaga ucapanmu, Damian!” Jordan mengacungkan jari telunjuknya. “Sabrina wanita baik-baik. Di sini ada Dania, jadi berbicaralah dengan sopan.”


Jadi benar jika aku penyebab hubungan mereka renggang?
“Sandi!” teriak Damian.

Laki-laki berpakaian formal itu pun masuk. “Iya, Tuan,” katanya.

“Bawa Dania pergi dari sini.” Damian memerintah.
Sandi menatap Jordan.

“Bawa Dania dan Sabrina pergi dari sini.” Jordan menimpali.
Sandi mengangguk.

“Biarkan Sabrina di sini. Dia harus tahu semuanya.” Damian membalas.

“Urusanmu denganku. Tidak ada hubungannya dengan Sabrina.” Jordan menatap Damian.

“Ayo, Dania.” Aku beranjak dari sofa, meraih tangan Dania, lalu mengajaknya untuk keluar dari ruangan ini.

Damian mencekal lenganku. “Kamu tetap di sini. Ada yang perlu kamu tahu,” katanya dengan nada lirih, tapi tegas.

“Aku akan membujuk Dania untuk main-main di sekitar restoran,” kataku.

“Lepaskan tangan Sabrina dan biarkan dia menjaga Dania. Kamu tidak berhak memaksanya.” Jordan mengingatkan.

“Tidak apa-apa, Kak. Aku akan kembali dan ingin tahu apa yang Damian inginkan.” Aku berlalu pergi dari tempat itu setelah melepaskan cekalan Damian.

Aku sudah menduga, sejak awal kerenggangan hubungan Jordan dan Damian karena aku. Aku ingin tahu apa alasan Damian dan apa alasan Jordan. Aku tak ingin seperti ini.

“Dania. Dania di sini sama Om Sandi, ya? Bunda mau bicara dulu sama Ayah dan Om Damian di dalam. Nanti kalau sudah selesai, Bunda panggil Dania.” Aku membujuk Dania.

Dania menggeleng. Mungkin dia belum mengenal Sandi. Sepertinya Sandi manajer di kafe ini.

“Dania pernah ketemu Om di kantor Papa. Dania masih ingat?” Sandi menatap Dania dengan senyum ramah.

Dania hanya mengangguk dengan ekspresi datar.

“Om punya mainan untuk Dania. Syaratnya Dania harus ikut Om.” Sandi masih membujuk Dania.

“Mbak Sabrina!”

Terdengar suara Alex menyerukan namaku.

“Apa Tuan Damian sudah ke sini?” tanyanya.

“Iya.” Aku menimpali. “Lex, kamu bisa bantu aku ajak Dania jalan-jalan dulu? Aku ingin bicara dengan Damian dan Kak Jordan,” kataku pada Alex.

“Bisa, Mbak.” Alex menyanggupi.

Alex mulai membujuk Dania. terdengar nada bicara Damian menggema keluar.

‘Dania ikut Om Alex, ya. Bunda tunggu di sini sama Ayah. Nanti Dania ke sini lagi sama Om Alex.” Aku menatap Dania.

Dania mengangguk. Dia mau ikut dengan Alex. Aku bergegas masuk ke dalam setelah Alex membawa Dania pergi. Khawatir jika Damian melakukan sesuatu.

“Jangan mengkambinghitamkan aku agar menikahi Sabrina demi keuntungan pribadimu! Seharusnya kamu yang menikahinya! Bukan aku!” Damian menatap Jordan tajam.

“Aku peduli pada masa depanmu, Damian. Sabrina wanita baik dan tepat untukmu. Ditambah kamu sudah mempermalukannya tempo hari ketika mabuk. Itu alasanku menjodohkan kalian. Aku sudah mengingatkan padamu tentang wanita. Aku melakukan semua ini demi masa depan kalian.” Jordan menimpali.

“Hanya karena itu kamu ingin menikahkan aku dengan dia?” Damian tertawa setelah mengucapkan hal itu.

“Cukup!!!” Aku membuka pintu lebar.

Dua laki-laki itu terdiam dan menatapku.

“Jika kedatangku dalam kehidupan kalian membuat kalian seperti ini, maka aku akan pergi dari sini. Sejak awal Damian memang tak menyukaiku. Aku tak tahu apa alasannya. Ya. Mungkin benar katanya, aku benalu. Aku benalu dalam kehidupan kalian. Aku sadar. Maka dari itu, aku akan pergi supaya kalian bisa kembali seperti sebelum aku ada di sini.” Aku mengungkapkan dengan mata berkaca.

“Tidak, Sabrina.” Jordan menghampiriku.

“Aku tidak apa-apa, Kak.” Aku mengusap air mata. Senyum paksa kusungging.

Tepuk tangan kembali menggema. “Kamu pandai bersandiwara.” Damian mengejekku.

Aku bergegas meninggalkan tempat ini, berlari keluar dari restoran.

Aku lelah dengan semua ini. Jika aku harus pergi dari dunia Dania demi mereka berdua, maka akan aku lakukan.

Tangan kulambaikan saat melihat taksi lewat. Taksi itu berhenti. Aku bergegas masuk. Air mata mengiringi kepergianku.

“Mau ke mana, Mbak?” tanya sopir taksi.

“Jalan saja, Pak, nanti saya tunjukan alamatnya.” Aku menimpali.

Lebih tepatnya aku bingung. Bingung akan ke mana. Aku tidak mungkin meninggalkan Dania begitu saja. Dia pasti mencariku. Aku harus bagaimana?

“Pak. Apa di daerah sini ada masjid?” tanyaku pada sopir taksi itu.

“Ada, Mbak, tapi lumayan jauh.”

“Nggak apa-apa, Pak. Aku mau ke sana.”

“Baik, Mbak.” Sopir taksi itu mengangguk.

Setelah menempuh perjalanan cukup lama, taksi ini tiba di halaman masjid. Aku bergegas turun dan membayar taksi itu. Saat ini sudah cukup malam. Mungkin aku akan menginap di sini untuk malam ini. Aku duduk di teras masjid. Suasana di sini sudah sepi.

Aku terkesiap ketika seorang laki-laki paruh baya menyapaku dengan salam. “Wa alaikumussalam,” balasku sambil mengangguk.

“Mbak sedang apa malam-malam di sini?” tanya beliau.

“Saya mau numpang istirahat sebentar, Pak.”

“Oh, ya sudah.” Laki-laki itu berlalu pergi.

Deringan ponsel mengalihkan perhatianku. Tanganku bergegas merogoh tas untuk meraih ponsel. Napas kuhela saat melihat nama Jordan menghiasi layar ponsel. Aku bergegas menggeser layar ke warna hijau.

“Iya, Kak,” sapaku.

“Kamu di mana Sabrina?” tanyanya dengan nada khawatir.

“Aku mau pulang ke Jakarta, Kak. Aku nggak mau merusak hubungan Kakak dengan Damian. Lebih baik aku pulang.”

“Di mana kamu sekarang?”

“Maaf, Kak.” Aku mematikan sambungan telepon.

Maafin aku, Kak. Aku terpaksa melakukan semua ini. Lebih baik aku menjauh dari kehidupanmu demi kebaikan kita semua. Aku tidak ingin menjadi penyebab keretakan hubunganmu dan adikmu.

Langkah kuayun untuk masuk ke dalam masjid. Ingin mengadu pada Sang Pencipta mengenai masalah yang sedang aku hadapi. Lebih baik, besok aku pulang ke Jakarta. Semoga ini pilihan yang terbaik.

***

“Mbak Sabrina.”

Mataku mengerjap saat mendengar suara menyebut namaku. Seperti suara Alex. Samar terlihat Alex di depanku saat ini. Aku beranjak duduk karena Alex ada di sini.

“Tuan menunggu Mbak di luar,” katanya.

“Aku nggak mau ikut kalian. Lebih baik kalian pulang saja. Aku mau pulang ke Jakarta.” Aku menolak.

“Nona Dania mencarimu. Nona Dania menangis sejak tahu Mbak Sabrina pergi. Jika Mbak Sabrina mau pulang, pulanglah dengan cara baik-baik, bukan dengan cara seperti ini.” Alex menasehati.

Benar kata Alex. Seharusnya aku tidak seperti ini. Jordan membawaku ke sini dengan cara baik-baik, tapi kenapa aku pergi dengan cara seperti ini?

“Aku akan keluar,” kataku akhirnya.

Alex berlalu dari hadapanku untuk keluar, sedangkan aku mengikutinya dari belakang. Ternyata aku ketiduran setelah berdoa pada Sang Khalik. Aku menundukan kepala ketika akan tiba di hadapan Jordan. Malu karena sudah pergi dengan cara yang tidak benar.

   “Aku minta maaf,” kataku ketika tiba di depan Jordan.

“Aku yang seharusnya minta maaf padamu. Aku minta maaf karena telah melibatkanmu dalam masalahku bersama Damian,” balasnya. “Ini sudah dini hari. Lebih baik kita pulang. Kita bicarakan di rumah saja,” ajaknya.

Tak ada pilihan. Aku harus ikut bersamanya untuk kembali ke rumah. Memang seharusnya aku tak pergi dengan cara seperti itu. Kasihan Dania karena kepergianku. Aku segera memeluk Dania ketika masuk ke dalam mobil.

Maafin Bunda, Sayang. Bunda tidak bermaksud meninggalkan Dania. Bunda hanya bingung menghadapi masalah antara Ayah dan om Damian. Aku terisak sambil memeluk Dania dan berlang kali meminta maaf padanya dari hati.

Mobil yang kami naiki tiba di rumah Jordan. Aku menggendong Dania, membawanya masuk ke dalam rumah. Tubuhnya kubaringkan di atas ranjang ketika tiba di kamar. Aku mengecup kedua pipinya bergantian. Perhatianku teralih saat mendengar pintu kamar itu terbuka.

“Ada yang ingin aku bicarakan padamu.”

Aku membetulkan posisi duduk, lalu mengaggukkan kepala.

“Aku harap, kamu masih mau tinggal di sini. Dania masih membutuhkanmu. Masalah Damian, aku harap kamu bisa memaklumi. Dia masih belum bisa bersikap dewasa dan mandiri. Dia khawatir padaku. Terutama dia frustasi masalah wanita. Semoga kamu paham.” Jordan membuka obrolan.

“Maaf. Aku sudah mengambil keputusan jika aku akan pulang ke Jakarta besok pagi.” Aku menolak.

“Apa kamu sudah tidak menyayangi Dania? Apa kamu sudah melupakan janjimu pada Ana untuk menjaga Dania? Aku rasa kamu masih ingat.”

“Bukan masalah itu. Aku hanya tidak mau menjadi penyebab keretakan hubungan Anda dan Damian.”

“Kamu salah. Semua ini terjadi karena kesalahan Damian sendiri.”

Kepalaku menggeleng. “Aku sudah cukup jelas dengan kata-kata Damian.”

“Kamu percaya jika aku memanfaatkanmu dan Damian dengan cara menikahkan kalian untuk keuntunganku?”

“Bukan seperti itu,” balasku ragu.

“Lalu apa?”

Aku harus jawab apa?

“Sabrina.”

“Mungkin ucapan Damian benar.”

“Jadi kamu percaya pada ucapan Damian?”

“Aku bukan percaya pada Damian, tapi ucapan Damian ada benarnya. Untuk apa Kak Jordan menjodohkan aku dengan Damian? Apa karena kejadian malam itu? Apa karena Kak Jordan khawatir aku akan meninggalkan Dania? Apa karena-“

“Cukup Sabrina.” Jordan memotong. “Kalau begitu, aku yang akan menikahimu,” lanjutnya.

Aku menatap bola mata Jordan. Mencari keseriusan dari bola matanya mengenai ucapan dia.

“Tolong jangan bercanda,” balasku.

“Aku tidak pernah bercanda jika menyangkut keluarga.” Suaranya terdengar serius.

Dia memang bukan tipe orang yang suka bercanda saat kondisi sedang tegang.

“Aku tidak mau menikah karena terpaksa. Aku tahu Kakak masih mencintai Kak Diana sampai saat ini. Jadi, biarkan aku pergi dari sini.” Aku beranjak dari tempat duduk untuk berlalu pergi.

“Aku serius untuk menikahimu. Buktikan pada Damian jika aku tidak memanfaatkan kalian berdua. Aku ingin Dania dibesarkan oleh wanita yang menyayangi dia sepenuhnya. Kita menikah untuk Dania.”

Langkahku terhenti sebelum membuka pintu. Sesaat aku terdiam.

“Jika kamu bersedia, lusa aku akan melamarmu. Beri aku jawaban nanti malam. Jika kamu menolak, aku tidak akan memaksamu lagi untuk tinggal di sini. Kamu boleh pulang ke Jakarta.”

Pintu segera kubuka, bergegas meninggalkan kamar Dania menuju kamarku. Napas kuhela. Pikiranku masih terngiang kata-kata Jordan.

Bagaimana dengan perasaan kakakku jika aku menikah dengan Jordan?

Tanpa kusadari, azan Subuh berkumandang. Aku segera menghadap Sang Khalik untuk mengadukan masalah yang sedang kuhadapi. Berat rasanya mengambil pilihan yang diberikan Jordan. Aku merebahkan tubuh di atas hamparan sajadah karena merasa pusing. Perlahan mataku terpejam.

“Bunda!”

Mataku mengerjap, memaksanya untuk terbuka meski terasa berat. Seruan Dania membuyarkan alam mimpiku. Dania masih terdengar menyerukan namaku di luar sana. Aku beranjak duduk, melepas mukena, lalu bergegas menghampiri pintu untuk membukanya. Sudah tentu Dania mencariku karena kejadian semalam. Pintu kamar itu terbuka. Dania langsung menubruk tubuhku dan memeluk erat.

“Bunda semalam ke mana? Dania cari-cari Bunda semalam sama Om Alex. Apa Bunda dimarahi Ayah sama Om Damian? Dania nggak mau Bunda pergi lagi. Dania mau ikut Bunda.” Dania menangis.

“Bunda nggak ke mana-mana, Sayang. Bunda ada di sini.” Aku mengusap kepalanya lembut, lalu mengajak Dania masuk. Tubuhnya kuraih agar duduk di pangkuanku.

“Bunda bohong. Kata Ayah, Bunda mau pergi dari sini.” Dania melingkarkan tangannya di leherku. Nadanya terdengar takut.

“Hari ini Dania sudah mulai sekolah.” Aku mengalihkan obrolan.

“Nggak! Dania nggak mau sekolah kalau nggak sama Bunda!”

Napas kuhela. Ini yang kukhawatirkan. Aku memikirkan Dania.

“Bunda antar Dania ke sekolah. Bunda janji nggak akan pergi dari sini.” Aku menenangkannya.

“Janji?” Dania mengacungkan jari kelingkingnya.

Aku menautkan jari kelingkingku di jari kelingkingnya. Setelah itu, kami bersiap untuk ke sekolah. Ucapan Jordan kembali melintas. Aku belum menemukan jawaban mengenai tawarannya. Bagaimana mungkin aku menikah dengannya secara mendadak seperti ini?

Langkahku terhenti saat tiba di ruang makan. Aku menatap sekitar. Tak ada siapapun di sini. Biasanya, Jordan sudah lebih dulu duduk di ruang makan untuk menyambut kami saat pagi.

“Dania. Ayah ke mana?” tanyaku pada Dania.

“Tadi pagi Ayah pergi. Dania nggak tau ayah pergi ke mana.” Dania duduk di kursi yang biasa dia duduki.

Ke mana Jordan?

“Mbak. Ada titipan dari Tuan.”

Pandangan kualihkan pada sumber suara. Terlihat Ira menyodorkan sebuah amplop putih padaku. Aku menerima amplop itu lalu membukanya.

Sabrina. Aku tahu kamu wanita baik. Aku percaya jika Dania akan tumbuh menjadi wanita baik jika dia dididik oleh wanita baik pula. Maka dari itu, aku titip Dania padamu. Aku tahu kamu akan menolakku karena masih memikirkan Ana. Aku mengerti. Jaga Dania baik-baik. Mungkin ini jalan terbaik untuk aku, kamu, Dania, dan Damian. Aku berterima kasih banyak padamu.

Apa maksud surat ini? Kak Jordan pergi meninggalkan Dania?

“Dania. Dania tunggu di sini. Bunda mau keluar untuk ketemu Om Nathan," kataku pada Dania. "Ira. Tolong awasi Dania.” Aku menatap Ira.

Aku bergegas meninggalkan ruang makan untuk menuju halaman rumah. “Nathan. Apa kamu tahu Kak Jordan ke mana?” tanyaku tanpa basa-basi ketika tiba di dekat Nathan. Tak peduli jika dia sedang berbicara dengan orang melalui sambungan telepon.

Nathan menjauhkan ponselnya dari telinga, lalu memasukkan benda itu ke dalam saku pakaiannya. “Saya hanya mengantar Tuan sampai Bandara. Masalah Tuan ke mana, saya tidak tahu karena Tuan tak bicara ap pun,” balasnya.

“Ya sudah.” Aku meninggalkannya.

Kemana Kak Jordan? Jika dia naik pesawat, berarti dia tidak ada di Bali.

Ponsel kuraih dari dalam saku, lalu mencari nama Jordan di kontak. Lebih baik aku menghubunginya secara langsung saku. Nomornya tidak aktif. Langkah kuayun untuk kembali masuk karena Dania menyerukan namaku.

Setelah Dania selesai sarapan, kami bergegas ke sekolah. Aku kembali meraih ponsel untuk menghubungi Alex. Dia salah satu orang terdekat Jordan, jadi dia pasti tahu. Tersambung.

“Halo, Mbak,” sapa Alex di seberang sana.

“Lex, kamu di mana?” tanyaku padanya.

“Ada di rumah Tuan Damian, Mbak.”

“Kamu tahu Kak Jordan di mana?” Aku kembali bertanya.

“Tuan Jordan? Saya belum bertemu dengan  beliau hari ini. Apa ada masalah?” Alex bertanya balik.

“Tidak. Terima kasih, Lex.”

Aku mematikan sambungan telepon, lalu memasukan ponsel ke dalam tas. Dari beberapa orang yang dekat dengan Jordan tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Apa mereka sengaja tidak memberitahuku karena perintah Jordan. Aku tidak mau berpikir negatif. Mungkin saja mereka memang tidak tahu.

Mobil ini tiba di depan gerbang sekolah Dania. Aku meminta Nathan untuk menunggu karena setelah Dania masuk ke dalam kelas, aku akan pergi untuk mencari Jordan.

Apa lebih baik aku bertanya pada Damian? Dia adiknya, barangkali dia tahu tentang kepergian Jordan. Tapi, aku takut dia akan menuduhku yang tidak-tidak. Sudah cukup tuduhan yang dia tudingkan untukku. Lebih baik aku mencari Jordan ke kantornya sambil menunggu kabar dari Alex atau Nathan. Semoga Kak Jordan baik-baik saja. Semoga dia tidak serius untuk menjauhi aku dan Dania.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro