Bagian 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Entah aku harus berbuat apalagi untuk mencari Jordan. Sudah hampir satu pekan aku mencarinya, tapi belum ada tanda-tanda keberadaannya. Aku sudah mencarinya ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Kini aku pasrah. Tak tahu lagi harus mencarinya ke mana. Aku sedih. Sedih karena Jordan benar-benar serius meninggalkan Dania dan aku. Seharusnya aku yang pergi, bukan dia.

“Mbak Sabrina.”

Air mata segera kuusap sebelum jatuh ke pipi. Pandangan kualihkan pada Ira.

“Ada tamu mau bertemu Tuan Jordan.” Dia menyampaikan.

“Siapa?” tanyaku.

“Dokter Vera, Mbak.”

Aku mengangguk, beranjak dari tempat duduk, lalu meninggalkan Dania yang sedang belajar berenang bersama Nathan. Terlihat seorang wanita berpakaian kasual sudah duduk di ruang tamu. Aku menghampirinya. Dia beranjak dari sofa.

“Selamat sore. Saya Vera, teman Jordan. Lebih tepatnya, saya dokter yang menangani Jordan. Saya ingin bertemu dengan Jordan.” Dia mengulurkan tangan.

Senyum kusungging, lalu menjabat tangannya. “Saya Sabrina, adik ipar Kak Jordan. Maaf, Kak Jordan sedang tidak ada di rumah.” Aku menyampaikan.

“Oh, sepertinya dia sedang sangat sibuk. Tidak masalah. Senang bisa bertemu denganmu. Dia pernah bercerita tentang Anda padaku.”

Aku menginstruksinya agar duduk karena dia seperti ingin masih di sini. Kami duduk berseberangan. Ira datang membawa minuman untuk kami dan menyajikanya.

“Sudah sepekan saya menghubungi Jordan tapi nomornya tidak aktif. Beberapa hari yang lalu dia seharusnya cek up untuk memastikan kondisi kakinya. Saya sudah menunggunya, tapi dia tak datang. Saya khawatir jika dia tidak segera menjalani operasi, kakinya akan mengalami kelumpuhan total.” Dokter Vera menjelaskan.

Apa sakitnya separah itu? Kenapa Kak Jordan tidak mau menjalani terapi?

“Saya sudah membujuknya dengan segala tapi dia tetap keras kepala. Sepertinya saya butuh bantuan Anda untuk membujuk Jordan agar mau menjalani operasi.”

“Saya akan berusaha untuk membujuknya.” Aku meyakinkannya.

“Usahakan secepatnya.” Dia menatapku.

Entah kenapa masalahnya menjadi rumit seperti ini. Keberadaannya saja belum ditemukan, bagaimana aku bisa membujuknya?

“Bunda!”

“Saya tinggal ke belakang dulu karena Dania sepertinya sudah selesai berenang.” Aku beranjak dari sofa.

“Kalau begitu, saya pamit pulang.” Dokter Vera pun beranjak dari tempat duduknya.

Setelah berjabat tangan dengan Dokter Vera, aku pun menghampiri Dania. Dia sudah selesai belajar renang. Aku segera mengganti pakaian Dania.

Bagaimana aku membujuk Kak Jordan? Dia masih belum kuketahui keberadaannya. Harus dengan apa aku membujuknya?

Aku menyandarkan tubuh pada kepala ranjang setelah selesai mengganti pakaian Dania. Kepala terasa pusing, perut terasa mual, dan tubuhku terasa panas. Lebih baik aku tidur untuk menghilangkan semua rasa itu. Mungkin aku hanya kelelahan.

“Mbak Sabrina.”

Mataku mengerjap karena mendengar panggilan seseorang. Kepala masih terasa pusing.

“Badan Mbak Ana  panas.”

Senyum kusungging. “Aku nggak apa-apa, Mbak.”

“Tapi badan Mbak Ana panas. Akhir-akhir ini Mbak Ana jarang makan. Mbak Ana juga kurang istirahat. Kita ke dokter, ya?” Marina membujuk.

“Bunda kenapa?”

Tatapan kualihkan pada Dania yang berdiri di samping Marina. “Bunda baik-baik saja, Sayang.” Aku menyentuh pipinya.

“Bunda jangan sakit, ya? Kalau Bunda sakit, nanti yang jagain Dania siapa? Ayah nggak ada.” Dania terlihat sedih.

Perutku terasa mual. Aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuh ini. Tawaran Marina terpaksa kuterima. Aku tidak mau mengambil resiko. Jika aku sakit, siapa yang akan menjaga Dania? Aku khawatir pada Dania.

“Aku mau ke dokter, Mbak,” kataku pada Marina.

“Dania mau ikut Bunda.” Dania merajuk.

“Saya panggil Mas Nathan sama Ira. Dania tunggu di sini ya, jagain Bunda.” Marina berlalu pergi setelah mengatakan hal itu.

“Bunda.” Dania naik ke atas ranjang lalu memelukku.

Aku mengusap kepala Dania lembut. Aku nggak boleh sakit. Aku harus kuat demi Dania. Rasa mual di perutku tak kunjung reda. Tubuhku terasa lemas.

Semua penghuni rumah sudah berkumpul. Mereka membantuku keluar dari kamar. Nathan melajukan mobil menuju rumah sakit setelah kami memasuki mobil. Semoga aku baik-baik saja.

“Bunda jangan sakit, ya.” Dania kembali berkata seperti itu.

Pikiranku entah ke mana. Ucapan Dania pun aku abaikan.

Tak lama, mobil yang kami naiki tiba di rumah sakit. Aku langsung dilarikan ke UGD. Dokter memeriksa tubuhku dan menanyai apa yang aku keluhkan. Aku menjawab berdasarkan apa yang terasa. Suster memasang infus di pergelangan tanganku. Dokter menyarankan agar aku melakukan beberapa rangkuman tes. Aku hanya bisa pasrah menuruti perintah dokter.

“Ra, aku titip Dania,” kataku lirih pada Ira.

“Iya, Mbak. Mbak nggak usah khawatir. Dania akan baik-baik saja. Mbak fokus saja dengan kesehatan Mbak.” Ira mengingatkan aku.

Aku menggenggam tangan Dania erat untuk mencari kekuatan. Dia sudah pulas tidur dalam gendongan Ira. Dania terpaksa ikut masuk ke dalam ruangan ini karena tidah ada pilihan.

***

Sudah dua hari aku dirawat di rumah sakit ini. Aku positif tifus. Akhir-akhir ini aku memang susah makan, kurang istirahat, dan banyak pikiran. Terpaksa harus dirawat beberapa hari di sini untuk memulihkan kesehatanku. Aku harap, Jordan mengetahui hal ini dan mau kembali. Aku ingin menyampaikan sesuatu padanya.

Perhatianku teralih ketika mendengar pintu ruangan ini terbuka. Terlihat Dania masuk ke dalam ruangan ini. “Bunda!” Dia berlari kearahku. Rautnya terlihat gembira.

Senyum kusungging untuk menyambutnya. "Hari ini Dania belajar apa?" tanyaku ketika dia sudah mendekat.

“Bunda. Lihat siapa yang datang.” Dania menunjuk ke arah pintu.

Pandangan kulempar ke arah pintu. Aku terdiam menatap sosoknya. Dia benar-benar datang ke sini. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Aku minta maaf jika sudah membuatmu khawatir. Aku tidak memiliki pilihan lain selain-“

“Meninggalkan Dania,” potongku.

“Sabrina.”

“Aku tidak butuh penjelasanmu. Jika aku tidak seperti ini, mungkin kamu tidak akan menemui aku dan Dania.” Aku berusaha mengontrol emosi agar tetap tenang.

“Sabrina. Aku minta maaf.”

Aku tak membalas.

"Apa aku harus memohon agar kamu mau memaafkan aku?”

Entah kenapa aku sangat kesal dengannya.

“Dania. Ayah mau pergi lagi. Jaga Bunda baik-baik. Bunda tidak mau memaafkan Ayah. Lebih baik Ayah pergi saja.”

“Bunda. Kan Bunda yang bilang kalau kita harus maafin orang lain kalau orang lain berbuat salah sama kita. Kok Bunda nggak mau maafin Ayah?” Dania mengingatkan aku.

“Dania. Boleh Bunda minta tolong panggilkan Om Nathan?” Aku menatap Dania.

“Iya, Bunda.” Dania bergegas meninggalkan ruangan ini.

Ponsel segera kuraih untuk menghubungi Nathan.

“Iya, Mbak.” Nathan menyapaku ketika panggilan telepon bersamanya tersambung.

“Nathan. Tolong bawa Dania jalan-jalan, aku ingin bicara dengan Kak Jordan, dan jangan ada yang masuk ke ruangan ini  sebelum aku memanggil kalian.”

“Baik, Mbak.”

Panggilan telepon aku akhiri. Tatapan kembali kulempar ke arah Jordan.

“Apa kamu baik-baik saja? Jangan membuatku khawatir.” Jordan menatapku khawatir.

Aku justru lebih khawatir padamu. Aku khawatir dengan kakimu. Aku tidak mau kamu lumpuh total, Jordan.

“Sabrina.”

Perhatianku teralih. Semoga keputusanku tidak salah. Semoga kamu mengerti tujuanku, Kak Diana. Aku tidak bermaksud menghianatimu. Ini demi kebaikan Dania dan Kak Jordan.

“Sabrina. Sebenarnya ada apa denganmu?”

Aku menatap Jordan. "Aku mau menikah denganmu,” ucapku yakin.

Jordan terdiam seketika. Dia seperti kaget.

“Jangan gila kamu, Sabrina. Pernikahan adalah janji sakral.” Jordan menimpali.

“Aku sadar dengan apa yang sudah aku ucapkan. Aku mau menikah denganmu.” Aku meyakinkan.

Jordan membuang wajah. “Apa semua ini karena Dania? Atau Damian yang memaksamu?”

“Ini keputusanku. Bukan karena Dania ataupun karena Damian. Ini murni atas keinginan dari hatiku.”

“Ini tidak mungkin.” Jordan mengusap wajahnya kasar.

“Kenapa Kak Jordan merasa ragu? Bukankah Kak Jordan yang ingin menikahiku? Kenapa sekarang Kakak merasa ragu seperti ini setelah aku setuju?"

“Bukan seperti itu. Aku hanya masih belum percaya dengan semua ini. Aku ...” Jordan menggantungkan kalimatnya. Dia terlihat ragu.

“Aku apa?" tanyaku.

“Aku akan memikirkannya.”

“Ternyata sikapmu mudah berubah.”

Aku khawatir jika Jordan berubah pikiran. Itu akan menyulitkanku untuk membujuknya menjalani operasi. Semoga saja dia tetap dalam pendiriannya untuk menikahiku.

Obrolan kami terjeda saat ponselku berdering. Aku segera meraih benda pipih itu untuk memastikan. Nathan menghubungiku.

“Iya, Nathan.” Aku menyapanya setelah telepon tersambung.

“Nona Dania minta masuk, Mbak,” balasnya.

“Iya, masuk saja.”

Sambungan telepon terputus. Pintu ruangan ini pun terbuka.

“Aku akan memberi keputusan jika kamu sudah diizinkan pulang. Kamu fokus dengan kesehatanmu untuk sementara ini.” Jordan kembali membuka obrolan.

“Bunda. Tadi Om Nathan larang Dania masuk ke sini. Emang ada apa, sih?” tanya Dania mengadu.

“Nggak apa-apa, Sayang.” Aku mengusap kepala Dania lembut.

“Dania. Kita pulang, yuk? Dania belum ganti baju. Nanti sore Dania mau belajar berenang.” Jordan mengajak Dania pulang.

“Nggak mau. Dania mau di sini sama Bunda. Dania nggak mau pulang. Iya 'kan, Bunda? Dari kemarin saja Dania ke sini waktu pulang sekolah. Dania mau tidur sama Bunda. Kalau Ayah mau pulang, Ayah saja sana yang pulang.” Dania menolak.

“Dania nggak boleh bicara seperti itu sama Ayah. Minta  maaf sama Ayah dan janji nggak akan seperti itu lagi.” Aku menegurnya.

“Maafin Dania, Ayah. Dania janji nggak akan mengulanginya lagi. Tapi Ayah juga janji nggak akan suruh Dania pulang ke rumah sebelum Bunda sembuh. Dania sayang Bunda.” Dania mengacungkan jari kelingkingnya.

Jordan mengangguk. Dia menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking putrinya. “Ayah janji tidak akan memisahkan kalian.”

Dania beranjak naik ke atas tempat tidurku, lalu merebahkan tubuh dan memelukku. Aku bangga pada Dania. Sejak aku masuk rumah sakit, dia selalu menemaniku. Dia yang menguatkan aku.

Setelah berganti pakaian dan makan siang, Dania tidur di sampingku. Jordan pun menemani di ruangan ini. Aku merasa risih ketika dia di sini. Biarlah. Semoga dia tetap pada keputusannya untuk menikahiku.


***

Setelah menjalani perawatan beberapa hari di rumah sakit, akhirnya aku dibolehkan pulang karena kondisiku sudah membaik. Beberapa hari tinggal di rumah sakit membuatku rindu akan rumah ini. Rindu akan suasana di dalamnya. Rindu mengantar Dania ke sekolah. Mungkin untuk sepekan ke depan aku akan lebih banyak istirahat. Dokter melarangku untuk bekerja berat, menjaga pola makan agar teratur, lalu jangan terlalu banya pikiran. Tak ada jawaban lain selain menuruti.

“Bunda! Bunda di mana?!” seru Dania mencariku. Dia sudah pulang dari sekolah.

“Bunda di sini, Sayang!” seruku. Saat ini, aku berada di teras samping rumah, menikmati hijaunya taman hijau di sana. Sudah beberapa hari aku tak menyirami mereka karena harus menginap di rumah sakit.

“Bunda. Dania dapat bintang empat dari Bu Guru.” Dania duduk di sampingku sambil menunjukkan bukunya.

“Anak Bunda pintar.” Aku mengusap kepalanya. "Dania ganti baju, lalu makan siang, habis itu istirahat," lanjutku.

“Sama Bunda.”

Aku menurutinya, beranjak dari tempat duduk untuk menuju kamar Dania.

“Sabrina. Aku ingin berbicara denganmu.”

Langkahku terhenti. "Apa ada masalah?" tanyaku tanpa menatapnya.

“Tidak. Aku hanya ingin berbicara padamu masalah kemarin.”

Tatapan kualihkan pada Dania. “Dania ke kamar dulu, ya. Nanti Bunda menyusul. Bunda mau bicara dulu sama Ayah,” kataku padanya.

“Marina!” seru Jordan.

“Iya, Tuan.” Maria menyahut dari arah dapur. Dia menghampiri kami.

“Temani Dania. Aku ingin berbicara dengan Sabrina.” Jordan berlalu dari posisinya setelah mengatakan hal itu. Dia melajukan kursi rodanya menuju area kolam renang.

Pandangan kembali kulempar pada Dania. Senyum kusungging saat dia menatapku. “Dania ganti baju sama Mbak Marina. Setelah itu Dania makan. Bunda mau bicara dulu sama Ayah di dekat kolam renang. Kalau Sudah selesai, Dania boleh panggil Bunda.”

Dania hanya mengangguk. Tugasku sementara diwakilkan pada Marina. Mereka berlalu dari hadapanku untuk menuju kamar Dania. Aku beranjak dari posisi untuk menemui Jordan.

“Ada apa?” tanyaku memecah keheningan ketika tiba di belakang tubuh Jordan.

“Apa alasanmu menerima tawaran dariku?” tanyanya tanpa basa-basi.

Tubuh kudaratkan di atas gazebo. “Kamu baik, bertanggungjawab, dan penyayang.” Aku menimpali pertanyaannya.

“Kamu bisa lihat. Aku cacat, Sabrina.”

Tidak, Kak. Kamu tidak cacat. Kamu hanya tidak mau sembuh. Aku tak tahu alasan yang membuatmu tidak mau sembuh.

“Sudah kuduga kamu akan ragu.”

“Tidak. Aku tetap pada keputusan. Masalah kaki Kak Jordan, itu tidak masalah untukku. Jika aku siap menikah denganmu, berarti aku pun harus siap menerima semua kekuranganmu. Bukankah tujuan pernikahan untuk saling melengkapi satu sama lain?” Aku meyakinkan.

“Tapi-“

“Kakak ragu?” Aku memotong.

“Bukan seperti itu.”

Aku beranjak dari tempat duduk lalu akan beranjak pergi.

“Sabrina.”

Langkahku terhenti. “Aku rasa jawabanmu sudah pasti. Kamu tidak berniat menikahiku.” Aku kembali melangkah setelah mengatakan hal itu.

Aku gagal meyakinkannya. Dia tidak berniat untuk menikah denganku. Harapanku untuk membujuknya menjalani operasi gagal. Aku tak tahu harus dengan cara apa untuk membujuknya menjalani proses penyembuhan.

***

Dokter Vera terlihat kecewa saat aku mengungkapkan belum bisa membujuk Jordan untuk melakukan operasi. Cara utamaku untuk membujuk Jordan tidak berhasil. Aku sengaja menemui Dokter Vera untuk meminta saran lain agar bisa membujuk Jordan. Dia tidak tahu niatku setuju menikah dengan Jordan agar mudah membujuknya melakukan operasi. Tapi cara itu gagal. Aku akan lebih malu jika Dokter era tahu.

Langkah kuayun cepat untuk menuju kelas Dania karena sudah terlambat menjemputnya. Kelas Dania sudah kosong. Aku bergegas menuju ruang guru untuk menanyakan keberadaan Dania. Dugaanku benar, Dania sudah pulang dijemput Nathan. Deringan ponsel membuyarkan pikiranku. Aku mraih benda itu dari dalam tas. Nama Jordan tertera di layar ponselku. Aku menggeser layar, lalu menempelkan ponsel pada telinga.

“Iya,” sapaku padanya di seberang sana.

“Kamu di mana?” tanyanya.

“Di sekolah Dania. Aku akan pulang sekarang.”

Sambungan telepon kumatikan sepihak. Tak ingin terlalu lama berbasa-basi dengannya. Aku segera keluar gerbang, lalu menghentikan taksi yang lewat untuk segera pulang. Semua orang pasti khawatir padaku.

Aku turun dari taksi setelah memberikan uang pada supir. Napas kuhela sebelum memasuki gerbang. Suara klakson membuat jantungku seakan ingin lepas dari tempatnya. Aku bergegas masuk ke dalam gerbang tanpa ingin tahu siapa yang datang.

“Mbak Sabrina."

Langkahku terhenti saat tiba di teras rumah dan mendengar namaku dipanggil. Pandangan kualihkan pada sumber suara. Terlihat Alex turun dari mobil. Senyum kusungging.

“Hai, Lex.” Aku menyapanya.

“Tuan ada?” tanyanya ketika tiba di hadapanku.

“Sepertinya ada. Masuk saja.” Aku membuka pintu agar Alex lebih dulu masuk.

“Aku masuk dulu sambil panggilkan Kak Jordan,” pamitku padanya.

Alex hanya mengangguk. Aku beranjak meninggalkan ruang tamu untuk masuk ke dalam.

“Kamu dari mana?”

Langkahku terhenti. Saat akan menuju kamarnya, tapi dia sudah ada di ruang keluarga. Aku tak menatapnya. “Ada Alex mencarimu. Sekarang dia di ruang tamu.” Aku melanjutkan langkah setelah mengatakan hal itu.

“Aku bertanya padamu.”

Aku tak menjawab, memilih melanjutkan langkah menuju kamar. Sengaja menjaga jarak dengannya. Berharap Jordan peka dengan apa yang aku lakukan. Setelah berganti pakaian, aku beranjak keluar dari kamar untuk menemui Dania. Dia pasti mencariku karena tak menjemputnya di sekolah. Langkahku terhenti saat melihat Alex berdiri tak jauh dari posisiku menghadap jendela kaca. Dia sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Aku akan kembali melangkah, tapi langkahku terhenti karena mendengar dia menyebut nama Damian. Tubuh kurapatkan pada dinding karena merasa curiga dengan obrolan mereka.

“Maaf Tuan Damian. Aku gagal membujuk Tuan Jordan untuk membantu Anda. Tuan Jordan tidak ingin ikut campur kembali dengan bisnis Anda.”

Ada apa dengan Damian? Apa bisnisnya bermasalah? Kenapa dia meminta bantuan pada Jordan? Bukankah bisnisnya sudah membaik?

Pikiranku buyar saat mendengar langkah sepatu. alex terlihat beranjak dari posisinya. Aku bergegas menghampirinya.

“Alex,” panggilku.

Langkah Alex terhenti, lalu menoleh ke arahku. "Iya, Mbak.” Dia menatapku.

“Aku ingin berbicara denganmu.”

Alex berjalan menghampiriku. Wajahnya terlihat seperti tak biasa.

“Masalah apa, Mbak?” tanyanya.

“Ikut aku.” Aku melangkah menuju dapur. Sengaja mengajaknya ke dapur karena Jordan jarang sekali ke sana. Khawatir Jordan akan curiga pada mereka.

“Ira. Tolong siapkan makan siang untuk Dania. Aku mau bicara dengan Alex,” kataku pada Ira. Aku duduk di kursi yang ada di meja bar. Alex pun duduk di kursi sampingku.

“Apa ada hal penting?” tanya Alex. Dia seperti penasaran dengan apa yang ingin kusampaikan.

“Iya. Ini mengenai Damian dan kakaknya. Apa hubungan mereka masih memburuk?" tanyaku.

“Seperti yang Anda pikirkan,” balasnya tak semangat. Dia kemudian menghela napas.

Aku ikut menghela napas. Sekarang pilihanku hanya ada dua. Meninggalkan Jordan atau menikah dengannya. Pilihan itu yang ada di pikiranku saat ini.

“Aku akan membuat semuanya kembali seperti sebelum aku ke sini. Maaf, tadi aku tak sengaja mendengar obrolanmu dengan Damian, maka dari itu aku mengajakmu untuk diskusi.”

“Mbak mau meninggalkan Tuan Jordan dan Nona Dania?” tebaknya.

“Mungkin itu cara satu-satunya. Aku tidak punya pilihan lain, Lex. Semoga apa yang kulakukan dapat mengubah keadaan menjadi semula. Dan lagipula, aku sudah tidak lagi berguna di rumah ini,” ungkapku.

“Bagaimana dengan Nona Dania?”

“Aku rasa Kak Jordan bisa menanganinya.”

“Apa tidak sebaiknya Mbak memikirkannya kembali?”

“Lex. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya orang lain yang sedang menumpang di rumah ini. Aku tidak mau berharap lebih atau memanfaatkan kebaikan Kak Jordan.”

Alex terdiam.

“Aku hanya ingin membantunya untuk merawat Dania. Tugasku di sini sudah selesai.”

“Bunda!”

“Aku temui Dania dulu. Maaf jika sudah menambah beban pikiranmu.” Aku beranjak dari kursi.

“Aku harap, Anda mau memikirkan ulang apa yang akan Anda lakukan.” Alex menimpali.

“Semoga pilihanku yang terbaik untuk semuanya.” Aku berlalu pergi dari dapur.

Langkahku terhenti ketika mendapati Jordan bersembunyi di balik dinding antara ruang makan dan dapur. Sejak kapan dia di sini? Apa dia mendengar obrolanku dengan Alex? Semoga saja tidak.

Aku berlalu dari hadapannya. Tak peduli dia mendengar obrolanku dengan Alex atau tidak.

“Sabrina.”

Langkah masih kuayun untuk menghampiri Dania tanpa peduli dengan panggilan Jordan.

“Dania makan sama Ayah. Bunda mau ke kamar dulu. Nanti Bunda ke sini lagi.” Aku mengusap kepala Dania, lalu beranjak meninggalkan ruang makan.

“Sabrina. Aku ingin bicara denganmu.”

Langkahku terhenti ketika hampir keluar dari ruang makan. “Aku rasa sudah tidak ada yang perlu dibahas antara kita.” Aku meninggalkan ruang makan.

Aku masuk ke dalam kamar Dania, menyiapkan pakaian untuk Dania berenang. Terdengar pintu kamar ini diketuk. Tanganku masih bergerak memilah pakaian di dalam lemari tanpa peduli pada seseorang yang mengetuk pintu kamar ini.

“Sabrina!”

Napas kuhela. Aku berjalaan meninggalkan tempat pakaian Dania untuk membuka pintu. Terlihat Jordan duduk di kursi rodanya sedang menantiku.

“Ada yang ingin kubicarakan padamu.”

Aku berlalu dari hadapannya untuk menuju kolam renang. Terdengar Jordan mengikutiku. Aku harap cara ini berhasil. Hanya ada dua pilihan untukku dan Jordan. Aku pergi dari sini atau menikah dengannya. Jordan pun hanya memiliki dua pilihan: menikahi aku atau dia harus merelakan aku pergi dari sini.

Dania dan Nathan sudah ada di area kolam renang. Aku bergegas mengganti pakaiannya. Setelah Dania rapi dengan pakaian renangnya, aku pun duduk di gazebo untuk memantau. Dania mulai belajar berenang.

“Aku harap, kamu mau membatalkan rencana untuk pergi dari sini.” Jordan memulai obrolan ketika tiba di sampingku.

“Aku tidak ada pilihan lain,” balasku tenang tanpa menatapnya.

“Aku akan menggajimu sesuai keinginanmu.”

“Maaf. Saya tidak butuh uang Anda. Jika saya mau, mungkin sejak awal saya sudah memintanya.”

“Sabrina. Apa kamu tidak memikirkan Dania?”

Tatapan kualihkan padanya. “Dan apakah Anda tidak memikirkan Dania?”

“Aku selalu memikirkan apa yang terbaik untuknya.”

“Apa menikah denganku bukan untuk kebaikan Dania? Seharusnya Anda bisa berpikir sampai ke situ. Kita sama-sama ingin yang terbaik untuk Dania.”

“Memberikan yang terbaik untuk Dania bukan dengan cara kita menikah. Masih banyak cara memberikan yang terbaik untuk Dania.”

“Baik. Aku tidak akan ikut campur lagi dengan masalah pribadi Anda. Aku bukan siapa-siapa di sini, jadi aku sadar diri batasanku. Maaf atas kelancanganku selama ini. Dan aku tetap pada keputusanku untuk pulang ke Jakarta. Aku datang ke sini dengan cara baik-baik, maka aku akan pulang ke Jakarta dengan cara baik-baik. Nanti malam setelah Dania tidur, aku akan pergi. Terima kasih untuk semua kebaikanmu. Semoga kamu dan Dania bahagia tanpa adanya aku.” Aku menyerah.

“Apa kamu yakin?” Jordan memastikan.

Kepalaku mengangguk lemah.

“Kamu tidak memikirkan kembali mengenai Dania?"

“Dania memiliki Ayah yang bisa mengurusnya. Aku hanya pengasuh sementaranya. Untuk apa aku memikirkan Dania. Aku tidak punya hak atasnya.”

Jordan terdiam. Sepertinya kata-kataku menguncinya. Aku beranjak dari Gazebo. Setidaknya aku sudah berusaha untuk meyakinkannya. Masuk ke dalam kehidupan Jordan dan membantu menyelesaikan masalahnya, atau tidak sama sekali masuk ke dalam kehidupannya dan melanjutkan masa depanku bersama orang lain.

“Di mana Jordan?”

Langkahku terhenti saat mendengar pertanyaan itu. Suara yang tak asing. Damian. Dia datang ke sini untuk mencari Jordan.

“Ada di area kolam,” balasku tanpa menatapnya.

Dia berlalu dari posisinya untuk menemui Jordan.

Ada apa dengannya? Tidak biasanya dia terlihat murung seperti itu. Apa masih terkait dengan ucapan Alex? Aku terlalu ikut campur dengan masalah mereka. Lebih baik aku fokus pada tujuan utama.

Setibanya di kamar, aku bergegas merapikan pakaian untuk dibawa ke Jakarta. Tak terasa aku sudah tinggal di Bali selama beberapa bulan. Apa keputusanku meninggalkan mereka sudah bulat? Tentu berat. Tapi semua ini kulakukan demi kebaikan mereka.

Tak terasa malam yang kutunggu tiba. Aku bukan tidak menyayangi Dania, tapi aku hanya tak ingin semakin jauh terlibat dalam kehidupan Jordan dan Damian. Aku tak ingin jadi penyebab keretakan hubungan mereka. Mungkin ini keputusan terbaik. Ada rasa penyesalan hadir dalam hati karena aku mengambil keputusan ini. Dania terpaksa harus menjadi korban dalam masalah ini.

Maafin Bunda, Sayang. Bunda terpaksa melakukan semua ini demi Dania, Ayah, dan Om Damian. Dania suatau saat nanti akan mengerti. Aku mencium pipi kedua pipi Dania bergantian.

Aku mengusap air mata yang hampir jatuh. Langkah kuayun untuk keluar dari kamar Dania. Rasa sedih mengiringiku dalam setiap langkah. Aku meraih tas yang sudah siap, lalu bergegas keluar dari kamar untuk menuju mobil. Nathan sudah siap untuk mengantarku menuju bandara. Sesaat, aku menatapi bangunan yang baru kutinggali beberapa pekan ini.

Semoga orang-orang yang ada di dalamnya selalu diberikan kebahagiaan. Selamat tinggal semua. Selamat tinggal Dania. Bunda akan selalu merindukanmu.

   Tangis tak bisa kutahan saat memasuki mobil. Nathan melajukan mobil yang kami naiki setelah barang-barangku masuk ke dalam bagasi. Aku bergegas mengusap air mata.

“Tolong jaga Kak Jordan dan Dania. Aku tidak bisa mengawasi mereka lagi,” kataku pada Nathan.

“Iya, Mbak.” Nathan menjawab singkat.

Setelah itu, aku hanya diam, menikmati perjalanan menuju bandara. Ingatanku kembali ketika bersama Dania dan Jordan saat pertama tiba di kota ini sampai sekarang. Banyak kenangan yang tercipta di antara kami.

Selamat tinggal Bali. Aku akan merindukan pulau ini. Semoga suatu saat aku masih bisa kembali menginjakkan kaki di kota ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro