9 - AM I TINKERBELL?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Am i broken?

Intensitas kebersamaan Audy dan Alaska semakin sering terlihat. Keyandra sendiri semakin tahu diri sekarang, sesekali pergi menjauh saat melihat Alaska menghampiri kelasnya untuk membawakan sebungkus coklat untuk Audy atau sekedar memberi tahu lagu baru untuk koreo saat latihan nanti.

Key sudah tahu perihal Audy yang memutuskan untuk ikut klub dance milik Alaska. Audy sebenarnya hanya menceritakan itu kepada Mama dan Key, tapi entah kenapa tiba-tiba nayri anak-anak sekelasnya tahu tentang dirinya yang ikut latihan di tempat Alaska. Terlebih tentang kebersamaan mereka yang mulai tidak wajar disebut teman.

Sebenarnya, berat badan Audy sudah turun drastis hanya dengan tiga bulan ruti latihan dance setiap sore sepulang sekolah dan pagi hingga jam dua siang saat hari libur.

Belum lagi sekarang ia sering mengikuti pola makan sehat Alaska. Tanpa paksaan sebenarnya, hanya Audy saja yang mau. Sesekali ikut lari pagi dan berenang saat sore hari ketika tak ada jadwal latihan. Audy benar-benar menerapkan pola hidup barunya.

Selancar itu? Tentu tidak.

Awal-awal Audy mencoba kegiatan barunya, ia sempat jatuh sakit dan dirawat selama seminggu. Biasa makan banyak tiba-tiba waktu makannya di batasi, biasa diam saja di atas kasur ataupun sofa tiba-tiba banya bergerak. Memang selemah itu, tapi ternyata hasilnya juga tak mengkhianati usaha.

Beratnya yang delapan puluh kilogram kini turun. Tinggal enam puluh lima kilogram. Sedikit lagi mencapai berat badan ideal yang ia inginkan.

Selama perubahannya itu pula, selalu ada Alaska yang senantiasa menemani.

Audy sungguh bersyukur karena Tuhan masih menakdirkan orang-orang berjiwa malaikat di sisinya.

Mendorongnya dan memberikan semangat setiap saat. Selalu ada tiap Audy membutuhkan dirinya. Memang benar ia sempat bercerita soal perubahannya yang dilandaskan karena Tristan, tapi rasanya tidak lagi. Karena Audy merasa sudah memiliki Alaska sebagai pelengkapnya.

Mungkin baru sebatas sahabat, seperti Peter Pan dan pantaskah Audy menyebut dirinya adalah Tinkerbell?

Hari-harinya mulai bahagia. Audy menemukan rumah keduanya. Tempatnya bercerita akan lelahnya setiap kali ia ingin pulang, dan Alaska selalu disana untuk menjadi rumah yang mulai dicintainya.

Tapi dibalik kebahagiaan seseorang, ingat saja masih ada biang keladi yang belum puas untuk merusak kebahagiaan itu.

Maka saat bel pulang sekolah berbunyi, Audy yang tadinya sudah bersiap pulang—setelah sahabat sebangkunya melarikan diri duluan—batal keluar gerbang sekolah karena Yura dan kawanannya segera memojokkan Audy kedalam toilet perempuan.

Tenaganya untuk melawan sudah berkurang seiring berat badannya yang menurun. Saat tubuhnya dihantam ke dinding salah satu bilik toilet pun Audy hanya bisa diam.Yura mengunci Audy dari balik kamar mandi, lalu menyiramnya dengan seember air dingin dari atas toilet.

"Sadar diri, babi. Lo bukan siapa-siapanya Alaska!"

Lalu bersiap berlalu keluar sebelum suara bedebum yang menandakan tubrukan tubuh seseorang memecahkan keheningan diantara keputusasaan Audy.

"Mana Audy?"

Suara baritone tersebut cukup terdengar familiar saat masuk ke telinga si gadis. Reflek saja Audy menendang pintu bilik toilet tempatnya berada. Tanpa butuh jawaban pun, Alaska sudah tau dimana ia berada.

"Sekali lagi gue tau lo macem-macem, gue jamin lo dikeluarin dari sini, dapet blacklist dari seluruh sekolah swasta di Jakarta. Gue gak main-main. Berlaku buat lo berempat."

Lalu segera pergi meninggalkan keempat gadis yang mendadak diam membisu ditengah keheningan.

Belum lagi ditambah saat senja ketika tubuhnya setengah kering, di depan gerbang sekolah Audy dikagetkan dengan kehadiran Tristan secara tiba-tiba.

"Masih segini aja? Udah dikasih obat sama macem-macem tips tetep gak mempan?"

Dengan tanpa rasa bersalah, menatap Audy seolah meremehkan. Membuat amarah pemuda yang sedari tadi ada di belakang Audy mulai terbakar. Namun Audy masih bisa menahan Alaska agar tak berbuat lebih jauh.

"Mau pergi ke New York. Jangan dicari, balik ke gue kalo udah ngerasa pantes."

***

Alasannya sih ingin mandi sebelum berangkat ke tempat latihan. Jadi Alaska hanya menunggu di ruang tamu, sekaligus menjaga amanah Mama Audy karena beliau ingin pergi sebenar ke minimarket depan komplek.

Tanpa ia tahu, di dalam kamar mandi, ada seonggok manusia renta yang tengah meringis dalam diam. Membisu dalam pekat yang membelenggu. Sakit, semuanya menyakitkan. Segalanya terlihat sama, tak ada bahagia, pun juga sedih.

Hanya ada sakit yang menusuk separuh hati, lalu menghujam resah sepanjang nadi. Bahkan ketika benda itu berkilat cantik dengan ujung tajamnya yang tergenggam erat kembali menggores cacat di tubuhnya. Menyayat dalam kelu, menekannya agar lebih dalam hingga rasa sakit itu benar-benar berpendar dalam kebisuan. Hilang hingga membuatnya mati rasa.

Terfigur jelas merah yang gamang, tampak begitu mempesona mengalir dibawah rintik air yang perlahan membasuh kulit serta menodai seragam putihnya. Membuat merah itu berpendar diantara samar riak air yang membisu.

Hingga seluruhnya menggelap, sebelum akhirnya tubuhnya menyatu dalam merah yang menenggelamkan. Hening, segalanya menjadi tenang.

***

Alaska mengacak surainya frustasi. Berdiri dengan begitu resahnya saat menunggu kabar dari ruang gawat darurat rumah sakit.

Tadi, saat menyadari Audy terlalu lama di kamar mandi, Alaska segera saja mendobrak pintu kamar mandi miliknya.

Tak peduli di cap tidak sopan atau apa, karena nyatanya ia menemukan Audy disana, dengan keadaan terlentang di dalam bak mandi masih dengan seragam lengkap. Bedanya, air dalam bak mandi tersebut berwarna merah.

Saat dokter keluar, syukurlah membawa kabar gembira. Tak butuh waktu lama menunggu Audy kembali sadar, Alaska segera menerobos masuk untuk mengecek keadaan gadis yang beberapa waktu belakangan mewarnai hidupnya.

Menarik kursi kecil untuk duduk di dekat Audy. Mama sebenarnya ada, tampak panik juga, tapi tak sepanik Alaska yang jelas-jelas menemukan keadaan Audy bersimbah darah seperti tadi.

"Bangun, Ody ...."

"Katanya mau latihan lagi, kan?"

"Katanya mau nunjukin ke orang-orang kalo Ody hebat ...."

"Bangun ...."

Suaranya terdengar parau.

Merasa kembali gagal menjaga kesayangannya untuk yang kedua kalinya.

Terus mengguncangkan tubuh Audy beberapa kali, berharap gadis itu mampu bangkit dari keterpurukannya, berharap gadis yang mulai dicintainya membuka mata sekedar untuk menunjukkan bahwa ia tidak sesakit itu.

Alaska terlalu baik untuk diabaikan, maka Tuhan mengabulkan doa anak adm yang satu itu dengan menampilkan senyum tipis dari pipi Audy. Pipi yang belakangan ini mulai menirus, lengan yang juga tak segempal dulu, sungguh perubahan yang amat jauh berbeda.

Membuat senyuman Sang Peter Pan kembali merekah, disertai senyuman malaikat tanpa sayapnya yang perlahan bisa membedakan mana cinta yang tumbuh dengan sewajarnya, mana cinta yang tumbuh karena dipaksakan.

Beliau tahu laki-laki yang dulu dikenalkannya pada Audy tidak sebaik yang ada di dalam pikirannya. Terlalu buruk, malah. Jangan sangka beliau tak tahu apa saja yang diterima Audy dari Tristan, Mama pasti tahu dan semakin tidak suka. Maka saat Mama tahu Tristan pindah ke luar negeri, beliau begitu lega karena merasa anaknya juga punya jalan sendiri

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro